Dari Pasar Beringharjo ke arakan ondel-ondel Jakarta, dari Sungai Kapuas hingga ke Gang Potlot: Joko Widodo blusukan ke penjuru Indonesia. Dengan balutan kemeja putih lengan panjang dan celana hitamnya, Joko Widodo dihadirkan dalam ilustrasi bergaya khas komik ciptaan Hergé yang penuh aksi, Tintin. Seri ilustrasi ‘Kisah Blusukan Jokowi’ itu dengan segera menyebar di beragam perangkat sosial media.
Masa Kampanye Pemilu 2014 lalu merupakan sebuah momentum tersendiri buat Indonesia dengan serangkaian gerakan masyarakat sipil yang secara masif dan signifikan ambil bagian di dalamnya. Demokreatif, sebuah identitas kreatif di balik penciptaan seri ‘Kisah Blusukan Jokowi’, merupakan salah satunya. Dengan mendayakan pendekatan kreatif dan pemanfaatan media sosial menjadi corong utama, Demokreatif menyebarkan semangat kampanye yang kreatif, damai, dan positif.
Pada 23 Maret 2015 kemarin, ‘Kisah Blusukan Jokowi’ dinobatkan sebagai pemenang dalam penghargaan Shorty Award 2015 untuk kategori “Best in Government and Politics”, bersanding dengan NASA (National Aeronautics and Space Administration). Oleh karenanya, Desain Grafis Indonesia mengajak Hari Prast (H) dan Yoga Adhitrisna (Y) dari Demokreatif untuk berbincang-bincang; tidak hanya tentang kreativitas, namun juga perihal demokrasi dan berbangsa.
Apa yang mendorong Demokreatif akhirnya dibentuk dan ambil bagian dalam kampanye pada Pemilu 2014? Apa yang mendorong eksekusi gaya visual yang digunakan pada masa kampanye tersebut?
Y: Pada masa kampanye Pemilu 2014, nama Demokreatif belum kami cetuskan. Kami berkampanye kemarin sebagai orang-orang iklan yang bekerja di Berakar Komunikasi. Awalnya adalah saat salah seorang teman kuliah saya, Ikravany Hilman, yang menjadi relawan di Jokowimania (Jo-Man) menghubungi saya. Ia mengajak kami berkampanye untuk Jokowi (pada waktu itu belum diketahui cawapresnya) dengan membuatkan desain-desain komunikasi sesuai kemampuan kami di bidang iklan secara pro-bono. Saya langsung mengiyakan. Teman-teman di Berakar yang kemudian saya ajak, yaitu Hari Prast, Eko Harsoselanto, dan Satrio Wibowo, juga langsung bersedia. Akhirnya, dari Berakar, kami berempatlah yang paling sibuk mengurusi Kampanye Kisah Blusukan Jokowi. Teman-teman lain kami mintakan kesediaannya untuk mengurusi pekerjaan kantor yang tetap harus berjalan.
Kenapa kami memutuskan bersedia untuk menjadi bagian dari relawan untuk berkampanye? Saya pribadi merasa pada Pemilu ini terjadi dua kutub yang sangat berbeda dan saya tahu saya [harus] ada di kutub yang mana. Di sisi lain, saya resah melihat perilaku orang-orang di sosial media yang dengan mudahnya menyebarkan info-info dari sumber yang tidak bisa dipertanggungjawabkan dan mencederai rasa persatuan untuk kepentingan sesaat. Saya tahu, saya ada di mana.
Hari mempunyai alasan yang sedikit berbeda soal kreativitas dan soal sampah visual. Lebih baik dia menjelaskan dengan kata-katanya sendiri.
Gaya ilustrasi ala Tintin adalah ide Hari Prast. Dipilih dengan berbagai alasan. Pemilihan menggunakan ilustrasi karena: 1. Tidak membutuhkan biaya karena Hari sendiri memiliki kemampuan membuat ilustrasinya. Kita bisa membuat versi keliling Indonesia tanpa harus benar-benar keliling Indonesia; 2. Relatif cepat secara eksekusi karena di masa kampanye dengan teknologi internet seperti sekarang ini, waktu dan momentum begitu berharga; 3. Sebagai “Stempel”, dengan mengandalkan skill pribadi dan crafting dari Hari, maka kampanye ini tidak akan mudah ditiru atau diplesetkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab—mengingat sekarang kan jamannya “Sotosop”; 4. Memancing relawan kreatif lainnya untuk membuat versi mereka masing-masing.
Khusus untuk pemilihan Ilustrasi ala Tintin: Karena kami ingin menonjolkan kesamaan karakter Jokowi dengan Tintin yang sama-sama action-oriented: blusukan ke mana-mana, kepedulian sosial, cinta keberagaman, memberi solusi, rendah hati. Kalau istilah dari Hari, “Bukan superhero, tapi mau bekerja keras.” Selain itu, warna-warna cerah ilustrasi komik gaya Eropa menggambarkan suasana yang optimis, harmonis, dan indah. Sangat cocok untuk menggambarkan indahnya keberagaman budaya dan alam di Indonesia.
H: Setiap kali saya melintas di jalanan kok banyak materi-materi kampanye yang terpasang kurang enak dilihat. Cukup mengganggu visual mata sih. Menurut saya yang istilahnya ’sampah visual’ tadi. Dari alasan tersebut, ketika ada tawaran dari Yoga untuk bikin materi kampanye, saya meyakini bahwa inilah kesempatan saya untuk berbuat sesuatu dengan ilmu yang saya punya. Sampai pada akhirnya, muncullah kampanye-kampanye yang kita buat semasa pemilu kemarin. Kalau kenapa pada akhirnya kita memilih gaya visual (ala Tintin), Yoga sudah cukup banyak menjelaskan.
Tentunya ada kegentingan yang demikian mendesak hingga timbul gerakan masyarakat sipil yang masif untuk ambil bagian dalam kampanye Pilpres saat itu. Apa pandangan Mas Hari dan Mas Yoga terhadap kondisi Indonesia pada waktu itu? Adakah faktor ‘kegentingan’ tersebut mendorong terbentuknya Demokreatif?
Y: Ya, seperti jawaban di atas. Pada Pemilu 2014, dua kutub berlomba memenangkan Pemilu dan tampaknya persaingan begitu ketat. Inilah yang menciptakan perasaan genting waktu itu. Yang menambah perasaan genting adalah maraknya Smear Campaign yang dengan mudah diamplifikasi oleh masyarakat umum melalui media sosial.
Bagi saya, orang-orang seperti melupakan bahwa Pemilu ini hanya sebulan dan setelah Pemilu itu usai, bangsa Indonesia harus tetap bersatu dan berjalan bersama.
Banyak hal yang diamplifikasi hanya akan menjadi pembodohan, penyebaran kecurigaan, sesat pikir, namun banyak orang beramai-ramai menyetujuinya. Saya cukup kaget melihat apa yang diucapkan dan disebarkan oleh teman-teman ataupun saudara sendiri di media sosial. Fallacy merajalela. Pada masa-masa itu (beberapa minggu sebelum masa kampanye), saya melihat orang-orang yang lebih benar cara berpikirnya (paling tidak yang saya kenal dan ada di sekitar saya), kok lebih banyak diam? Kita semua tergagap-gagap dengan suasana yang belum pernah dialami sebelumnya. Banyak hal membuat saya de javu dengan cara berpikir di masa-masa Orde Baru. Beberapa hal lain membuat saya makin resah karena saya anggap ini cara berpikir yang lebih parah. Terlebih lagi, lewat media sosial, ini semua berlalu lalang di wilayah publik tanpa katup.
Sepertinya, kita sebagai bangsa sedang menghadapi tantangan baru dalam berdemokrasi. Pemilu hanya pemicunya. Dua kubu hanya penandanya.
H: Benar kata Yoga. Setiap ada pertanyaan yang serupa, saya memiliki jawaban yang sama. Pemilu itu hanya berjalan kurang lebih 2 bulan dan kita lihat banyak pembodohan terhadap masyarakat di berbagai media. Tanggung jawab moralnya mana? Ini mesti diluruskan karena setelah pemilu usai kita mesti hidup rukun dan berdampingan lagi.
Ini semua yang antara lain membuat kami ingin turut berkampanye sebagai relawan. Untung sekali Ikra mengajak kami sehingga kami memiliki titik awal untuk mulai berkarya.
Seperti apa sistem kerja, proses penciptaan, dan distribusi materi karya Demokreatif pada periode jelang Pemilu 2014 tersebut? Bagaimana keterlibatan Berakar (sebagai sebuah agensi) dalam proses keberkaryaan Demokreatif (sebagai sebuah gerakan sosial)?
Y: Kebutuhan utama dari Ikra dan teman-teman di Jokowimania sebetulnya adalah untuk desain-desain materi konvensional; sebut saja poster, kaos, stiker, pin, topi, dan lain-lain. Masih terngiang ucapan Ikra, “Kita butuh materi kampanye dengan desain-desain yang bagus. Sehingga kalau menjadi kaos, orang mau memakainya ke mal. Kalau menjadi stiker, orang mau memasangnya di mobil atau motornya. Kalau dijual orang, mau membelinya. Bahkan, kalau sampai dibajak dan dijual di Blok M, misalnya, gue malah seneng. Gue pengennya para pendukung Jokowi muncul semua. Mimpi gue, pada akhirnya akan muncul Jokowimania: kegemaran pada Jokowi karena Jokowinya, seperti Beatlesmania pada Beatles.”
Setelah desain-desain awal selesai dan materi beresolusi tingga kita serahkan ke teman-teman Jo-Man untuk mereka produksi menjadi materi kampanye, justru inisiatif untuk menyebarkan di sosial media datang dari kami sendiri. Hal ini dipicu oleh kunjungan Jokowi ke Yogyakarta dan berjalan di Pasar Beringharjo—persis sekali dengan Kisah Blusukan Jokowi ke Jogja yang sudah digambar oleh Hari untuk teman-teman Jo-Man. Malam itu juga, di saat banyak pemberitaan tentang Jokowi di Jogja, kami sebarkan melalui akun-akun pribadi kami yang sesungguhnya tidak banyak pengikut kecuali teman-teman atau saudara. Untuk mengakalinya, kami mention teman-teman kami yang pengikutnya banyak dan sepertinya juga mendukung jokowi. Sebut saja antara lain @sheque dan @motulz. Untungnya jadi orang iklan, banyak temen sendiri jadi buzzer terkemuka (tertawa).
Dampaknya sungguh di atas ekspektasi kami. Gambar versi Jogja yang kita sebar pertama, diikuti dengan versi Spotlight, malam itu juga beredar ke mana-mana. Dari teman ke teman, ke mantan, ke teman tapi mesra, ke kakak adik aja dulu—ke mana-mana, deh. Justru, dampak penyebarannya kita tahu dari orang lain, atau bahkan dari orang yang baru kenal seperti Mbak Nonce Yulia, admin Facebook page Dukung Jokowi-Ahok (Sebuah admin relawan yang sudah ada saat Jokowi-Ahok maju di Pilgub Jakarta). Ia yang mengenalkan kami pada Mas Yoyok, admin Facebook page Kenapa Jokowi, yang kemudian secara rutin mengamplifikasi karya-karya kami ke audiens yang lebih luas.
Satu hal yang kita temukan pada hari-hari itu: ternyata begitu banyak orang yang berbagi keresahan yang sama. Meme dari karya kami menjawab keresahan itu. Kampanye kreatif, damai, dan positif [hadir] sebagai antitesis kampanye hitam, fitnah, dan negatif. Orang secara antusias menyebarkannya.
Melihat antusiasme orang, mengingat omongan Ikra, “Kalau sampai dibajak gue malah seneng,” kami berpikir untuk mencari cara agar penyebaran materi menjadi lebih luas lagi. Maka, kami memutuskan untuk membuat situs gulunglenganbajumu.com agar orang dengan mudah mengunduhnya. Kami sediakan semua, mulai dari yang resolusi rendah untuk jadi avatar dan meme; medium untuk jadi stiker, pin, dan notebook. Juga yang beresolusi tinggi; cukup besar untuk dijadikan kaos, poster, banner, bahkan billboard. Kami pun jadi tidak kerepotan dengan orang-orang yang menghubungi lewat sosial media atau telepon langsung yang meminta file ini atau file itu. Semua tinggal kami arahkan ke situs kami. Kami bisa fokus untuk membuat versi-versi seri berikutnya. Selanjutnya, semua berjalan secara organik, apalagi setelah media massa mulai gencar mewawancarai kami.
Posisi antara Berakar dan Demokreatif? Nama demokreatif masih belum ada. Kami masih berkarya sebagai anak Berakar Komunikasi yang mendukung relawan Jokowimania. Itu identitas yang kami bawa saat diwawancara media atau bertemu pihak luar.
Nama Demokreatif tercetus seusai masa kampanye pada saat kami membuat buku tentang proses kreatif dan pengalaman menjadi “jurkam dadakan”. Ketika menemukan judul buku tersebut “Demokreatif: Kisah Blusukan Jokowi” dan buku kedua “Demokreatif: Seni Merdeka” (sebuah buku poster berisi kumpulan karya kami selama masa kampanye), saat itulah kami rasa perlu dibuat sebuah entitas “Demokreatif” untuk terus berkarya.
Sebagai sebuah entitas, Berakar Komunikasi sudah mapan sebagai agensi periklanan dengan hubungan profesionalitas yang perlu dipertahankan. Sementara, Demokreatif kami siapkan untuk karya-karya komunikasi atau seni yang berada di luar itu. Art Project atau Social Communication, kami mendefinisikannya. Maka, jika kami ingin berpartisipasi dalam isu sosial tertentu, kami akan hadir sebagai Demokreatif. Jika kami ingin berkarya seni—bukan atas brief advertising dari klien tertentu—maka kami akan hadir sebagai Demokreatif.
Saya pribadi melihat Demokreatif sebagai CSR dari Berakar dan sarana borgatory anak-anak Berakar; sebuah pematangan dalam ide, berkreasi, berkesenian, dan berbangsa. Yang pada akhirnya manfaat ke dalam akan kembali menjadi ketajaman kreatif saat Berakar mengerjakan brief-brief profesionalnya, sementara ke luar kami bisa menyumbangkan sesuatu bagi bangsa ini sesuai dengan skill dan kemampuan kami yang utamanya adalah dalam bidang komunikasi kreatif.
Apakah tepat jika Demokreatif disebut sebagai sebuah gerakan sosial?
H: Demokreatif bisa disebut sebuat wadah dimana kita bisa berkarya apa saja dan hasilnya mesti bisa di pertanggungjawabkan ke publik.
Potensi apa yang Demokreatif lihat dari penggunaan media sosial saat ini?
Y: Potensi itu semua tertuang di media sosial. Di situ simulasi kita berdemokrasi. Di situ semua orang memiliki media. Di situ pertukaran, negosiasi, tesis-antitesis bertemu setiap hari. Ide, gagasan, paham, fallacy, ajaran, pencitraan, jualan, curhatan, becandaan, hingga berebut panggung setiap detik. Kalau mau menggunakannya untuk kepentingan yang lebih besar, sekali lagi, ya harus kreatif.
H: Pesan yang digulirkan via media sosial bisa menjangkau segala lapisan masyarakat dengan penyebaran yang sangat cepat dan seringkali penyebaran tersebut tidak bisa kita kontrol. Sehingga, apapun yang kita sampaikan lewat media sosial harus dapat dipertanggungjawabkan.
Pada halaman Facebook Fanpage Demokreatif, tertulis deskripsi, “Dibuat untuk merayakan demokrasi dengan gembira dan kreatif.” Apa makna demokrasi buat Demokreatif?
Y: Demokreatif sendiri berasal dari dua kata: ‘demokrasi’ dan ‘kreatif’ (bukan ‘demonstrasi’ dan ‘kreatif’). Pemilu kemarin memberikan kesadaran bagi kami bahwa perlu kreativitas dan kecerdasan tersendiri dalam menghidupi alam demokrasi seperti sekarang ini. Orde Baru punya rumusan “Bebas Bertanggung Jawab” walaupun pada realitanya pada masa itu tidak bebas; dan kalau salah-salah kata bisa-bisa seumur hidup harus mempertanggungjawabkannya. Sampai sekarang, kita semua masih belajar berdemokrasi. Kami menawarkan berdemokrasi secara kreatif. Kalau kita lihat ke belakang, ke akar bangsa ini, itulah kearifan lokal yang sesungguhnya sudah kita miliki sejak dulu. Pantun, Simbolisasi, Crafting, dan banyak lainnya. Sunan Kalijaga menyebarkan ajaran bukan dengan trolling atau pedang, namun dengan tembang dan wayang. Soekarno membangkitkan semangat bangsa dengan orasi yang indah, kesenian, pemilihan kata yang cerdas. Ada kreativitas di semua itu. Inilah yang kita butuhkan dalam berdemokrasi. Demokrasi sendiri bagi saya adalah kebebasan mengeluarkan pendapat, tentu diiringi dengan niat yang baik.
H: Jaman sudah berubah. Sudah banyak orang pintar di negara ini dan kita sebagai bangsa sudah bisa di bilang dewasa. Sudah saatnya kita melihat semua dengan bijak, cerdas, dan kreatif. Dari awal (semasa kampanye), saya sempat bilang kalau kita harus berbuat sesuatu yang cedas dan kreatif untuk negera ini. Jadi, demokrasi bagi saya adalah: yuk, mengeluarkan pendapat yang cerdas, kreatif, dan bisa di pertanggungjawabkan.
Sebenarnya, apa sih yang Demokreatif maksudkan dengan “Merayakan demokrasi dengan gembira”? Harapan apa yang Demokreatif punya terhadap pelaksanaan demokrasi di Indonesia dan peran para pelaku bidang kreatif pada khususnya?
Y: Merayakan demokrasi dengan gembira dan kreatif sedikit banyak diilhami ajakan Jokowi pada saat Pemilu kemarin. Kurang lebih ajakannya adalah, “Saya ingin pemilu ini menjadi pesta demokrasi yang riang dan gembira.” Sungguh sangat pas. Ia berbicara di tengah-tengah Pemilu yang panas; seakan mengingatkan semua pendukungnya untuk berkampanye dalam koridor persatuan.
Tak ada kemenangan yang cukup berharga kalau harus dibayar dengan perpecahan bangsa.
Tapi, kalau kita melihat lebih luas dari itu, setelah Orde Baru, kita semua masih belajar tentang demokrasi. Ketika kita bebas berpendapat, bukan berarti kita bebas melukai perasaan orang yang berbeda dengan kita. Ketika kita bebas berbicara, bukan berarti kita bebas berbohong atau memfitnah. Ketika kita bebas berbicara, bukan berarti bebas mengkategorikan halal-haram seenak selera dalam tataran yang paling cemen. Ketika kita bebas berbicara, bukan berarti kita melulu ngomel, ngeluh, galau, curhat, sinis, curcol, di timeline. Capek deh. Makin bebas kita, maka makin dibutuhkan kedewasaan dan kejujuran.
Tapi, kita juga tidak boleh paranoid dengan demokrasi. Ini sudah menjadi semangat jaman. Maka, pendekatan yang paling tepat untuk berdemokrasi adalah dengan positif; dengan gembira. Cara yang paling tepat adalah dengan cara kreatif yang akan membuka berbagai potensi yang bisa memajukan kita bersama. Untuk apa itu semua? Untuk merayakan bahwa kita menjadi bangsa yang raya, bangsa yang besar. Demokrasi yang raya dengan huruf ‘D’ kapital. Ini tidak khusus hanya bagi pelaku bidang kreatif saja. Ini ajakan bagi semua orang Indonesia.
H: Sudah saatnya pelaku kreatif di Indonesia tidak lagi menjadi penonton dan antipati terhadap demokrasi di Indonesia. Sadarlah bahwa kita memiliki kemampuan untuk membentuk opini publik. Maka, manfaatkanlah itu dengan bertanggung jawab dan ambillah bagian dalam proses demokrasi di negeri ini. Ini yang saya sebut dengan merayakan demokrasi dengan gembira dan kreatif.
Dapatkah diceritakan latar belakang keikutsertaan Demokreatif dalam Shorty Awards 2015yang baru saja kalian menangkan?
Y: Pada waktu berkampanye, kami sangat ingin calon kami menang Pemilu. Semua energi dan daya kami curahkan untuk membuat materi kampanye yang efektif. Tiba-tiba setelah masa kampanye usai, kami memiliki portofolio dan kalau dibuat sebagai case study bisa cukup menarik. Satu per satu di ajang lomba kreatif yang ada di tanah air, case study kampanye tersebut kami ikut sertakan dan hasilnya cukup memuaskan. Di ajang lomba iklan bagi agensi periklanan independen di Yogyakarta, Pinasthika Creativestifal 2014, kami merebut 10 penghargaan termasuk 2 Best of Medium dan 2 Emas untuk kategori Social Movement dan Kampanye Terintegrasi, bahkan kami merebut Agency of The Year. Di Citra Pariwara di Jakarta, dengan peserta seluruh agensi periklanan Indonesia, kampanye tersebut merebut 9 penghargaan termasuk Best of Medium dan Emas untuk kategori Kampanye Terintegrasi. Di sini, kami masuk di urutan 3 Agency of The Year, Runner Up Digital Agency of The Year, dan urutan 5 Media Agency of The Year. Cukup membanggakan.
Dengan hasil yang lumayan di ajang-ajang nasional, maka kami mulai mengirimkannya ke ajang internasional, salah satunya Shorty Awards. Yang menarik di Shorty Awards adalah ajang tersebut mengkhususkan diri pada media sosial. Panel jurinya tidak melulu orang iklan atau seorang Creative Director agensi periklanan, dan entry-entry-nya bisa diakses secara transparan, bahkan dari sebelum pengumuman sehingga bisa langsung sebagai sarana pembelajaran. Kalau buat seru-seruan, kita juga bisa langsung membandingkan entry kita dengan entry lainnya di kategori yang sama.
Dengan terpilihnya Demokreatif sebagai pemenang untuk kategori Government and Politics, adakah penghargaan tersebut membuktikan sesuatu (misi dan spekulasi-spekulasi dari keberkaryaan Demokreatif pada awalnya)?
Y: Adanya kategori Government and Politics di Shorty Awards salah satu yang membuat kami ikut serta. Itu kategori yang sangat pas buat kampanye kami. Di beberapa ajang festival kreatif lainnya belum tentu ada, mungkin menyatu dengan kategori Iklan Layanan Masyarakat. Tapi, kalau mau lebih spesifik lagi, ya Government and Politics. Yang kami baru ketahui belakangan adalah di Shorty Awards yang lalu-lalu, kategori Government and Politics, NASA langganan jadi pemenang. Saya sendiri melihat case study NASA sempet berkerut jidat. Apa bisa kampanye kami bersaing dengan meme-meme foto luar angkasa, interaksi dengan astronot tanpa gravitasi, data-data dari Bima Sakti? Syukurlah bisa. Itu semua bisa dihadapi berbekal doa ibu. Atau, seperti kata Kapten Haddock di Perjalanan Ke Bulan, “Sejauh-jauhnya manusia ke luar angkasa, tempatnya tetap di bumi.” Dan Berakar di bumi (tertawa).
Apakah Demokreatif percaya bahwa design thinking dapat melakukan perubahan sosial? Mengapa?
Y: Jawabannya begini: saat ini kita hidup di masa yang bising. Dalam sehari, berapa pesan yang kita terima? Dalam satu momen, berapa pesan berusaha berebut perhatian kita? Banyak sekali. Jauh lebih banyak dibandingkan umat manusia 10 tahun lalu, misalnya. Waktu kita untuk melakukan perenungan, pendalaman, dan penghayatan sudah sangat berkurang. Maka, design thinking makin diperlukan untuk memanusiakan kita, untuk “menyampaikan pesan” pada kita. Tentu saja untuk mengubah kita menjadi lebih baik atau mempertahankan yang baik dari kita.
H: Jelas bisa, perubahan sosial dilakukan dengan menyampaikan pesan. Pesan bisa diterima dengan baik apabila kita mengerti dan mengetahui insight dari target yang kita ajak berkomunikasi. Nah, sama saja kan dengan design thinking? Pesan sebuah desain sukses kalo kita bisa dapat insight-nya.
Apakah Demokreatif melihat adanya potensi untuk bidang kreatif berperan aktif dalam perubahan sosial? Menurut Demokreatif, seberapa jauh pendekatan kreatif dapat mendorong adanya sebuah perubahan sosial?
Y: Seperti yang selalu saya ucapkan di hari pertama mata kuliah pemikiran kreatif: Dunia makin sempit, teknologi makin maju, informasi makin muda diakses, dan pendidikan makin tinggi. Namun sebaliknya, sumber daya alam makin habis dan populasi makin padat. Maka, yang membedakan keunggulan antara manusia satu dan lainnya adalah kreativitas—tentu dengan asumsi ibadahnya sama-sama beres. Tentu juga dalam melakukan perubahan sosial. Tanpa kreativitas, perubahan sosial mau dicapai dengan apa? Koersivitas? Silakan periksa semua nama dalam sejarah yang melakukan perubahan. Tentu ada kreativitas di sana. Kalau tidak, ya, koersivitas. Saya pilih yang pertama.
H: Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, justru untuk melakukan perubahan sosial kita perlu cara-cara yang beda dari biasanya: dengan cara-cara yang kreatif. Inilah keahlian orang-orang kreatif!
Bagaimana dengan keterlibatan Demokreatif dalam Seni Lawan Korupsi? Harapan apa yang dibawa di dalamnya?
Y: Saya pikir kesadaran bahwa korupsi itu perilaku yang salah harus disosialisasikan seluas-luasnya. Bagaimana kita mau memberantas korupsi kalau perilaku korupsi dianggap wajar oleh masyarakat? Seni adalah sarana yang efektif untuk menyosialisasikan pesan moral tersebut ke khalayak yang luas tanpa membuat khalayak tersebut merasa diajari, dipaksa, dan sebagainya.
H: Kalo kata mas Arswendo Atmowiloto pada acara Seni Lawan Korupsi di sebuah acara TV, “Jika para pekerja seni sudah bergerak, maka ada yang genting dan gawat yang harus kita lawan.”
Setelah masa kampanye berlalu dan calon presiden yang dikampanyekan terpilih, bagaimana Demokreatif memposisikan dirinya saat ini sebagai warga negara untuk terus aktif terlibat dalam demokrasi itu sendiri?
Y: Demokreatif memposisikan diri sebagai relawan yang banyak deadline (tertawa). Maksudnya, kami tidak termasuk sebagai relawan yang fanatik membela habis-habisan, ataupun relawan yang penuh kritik. Karena kami, sekali lagi, penuh deadline (tertawa).
Di satu sisi, kami punya tingkat kepercayaan tertentu kepada calon yang kami pilih dan kami pikir ia harus dibiarkan bekerja. Di sisi lain, kalau kami rasa memang perlu maka kami akan mengkritik, dengan cara kami, tentunya. Mungkin salah satu contohnya adalah keterlibatan kami dalam Gerakan #SeniLawanKorupsi bersama berbagai komunitas yang lain. Gerakan ini, secara isu, timing, dan caranya, kami rasa pas untuk memanggil keterlibatan Demokreatif.
Secara alamiah kami bukan politikus, kritikus, ataupun fanatikus, walaupun shio saya tikus (tertawa).
Kami hanya pekerja kreatif yang peduli pada bumi pertiwi. Kami akan mencari cara sendiri, sesuai keterbatasan atau kelebihan kami. Kritik bisa menyehatkan alam demokrasi, namun kembali lagi, tergantung niat dan substansi dari kritik tersebut.
Apa makna dari menjadi bagian dari bangsa Indonesia buat Demokreatif?
Menjadi bagian dari Bangsa Indonesia berarti bersama-sama berusaha mewujudkan cita-cita bangsa, yakni cita-cita bangsa yang sudah ditentukan oleh para founding fathers ketika Indonesia merdeka. Jangan dibelok-belokkan untuk kepentingan kelompok atau pribadi.
Apa rencana Demokreatif ke depannya?
Y: Kami tidak punya macam-macam rencana. Tapi, ada mimpi-mimpi, keinginan-keinginan, dan ide-ide yang kami ingin kejar. Saya ingin kami berpameran dengan konsep tertentu dengan karya-karya dari Hari Prast. Saya bermimpi kami mengeluarkan produk-produk lagi; entah buku, film, atau komik. K=Kami punya beberapa ide dengan berbagai tingkat kesiapan, baik sudah menjadi proposal, baru oret-oretan, atau sampai keynote.
Pesan Demokreatif untuk para pelaku kreatif di Indonesia secara umum maupun desainer grafis pada khususnya?
Y: Karya adalah doa, jangan berhenti berdoa.
H: Berkarya, berkarya, dan berkarya.
***
Sekolah membuat desainer menjadi pintar, bekerja membuat desainer menjadi paham, pengalaman panjang membuat desainer menjadi arif