Home > Read > News >
Desain Grafis Indonesia: Sewindu dan Akan Terus Melaju

Sewindu sudah Desain Grafis Indonesia mencatat dan berbagi mengenai perjalanan desain grafis di Indonesia. Sepanjang usia delapan tahun ini DGI terus memegang komitmennya untuk membangun dan membimbing pemahaman di antara desainer grafis Indonesia beserta persinggungannya dengan seni, desain, budaya, dan masyarakat. Usia yang ke-8 ini dirayakan pada Rabu, 18 Maret 2015. Bertempat di Dia.Lo.Gue Artspace, Kemang, segenap keluarga Desain Grafis Indonesia berkumpul, bersyukur, dan beretrospeksi.

Sewindu DGI diawali dengan sambutan dan presentasi program kerja oleh Bureau Chief DGI, Ismiaji Cahyono. Bentuk ucapan syukur atas usia yang ke-8 diwakili dengan pemotongan tumpeng oleh Hanny Kardinata, selaku pendiri Desain Grafis Indonesia. Pada usia sewindu ini, DGI beritikad untuk semakin memantapkan langkah agar terus menjadi bagian dari perkembangan desain grafis di Indonesia.

 

DSC_1132

 

MENJADI DESAINER GRAFIS, MENJADI BAGIAN DARI KEBUDAYAAN

Mengusung semangat interaksi yang tak kenal putus dengan sejarah, Sewindu DGI diwarnai dengan sesi istimewa dengan hadirnya para pendiri IPGI (Ikatan Perancang Grafis Indonesia) dalam temu wicara bertajuk “Retrospeksi Desain Grafis Indonesia”.

Menghadirkan FX Harsono, Wagiono Sunarto, dan Gauri Nasution, temu wicara ini meruang interaksi antara praktisi, akademisi, dan pelajar desain grafis yang hadir dengan para sosok yang telah mula-mula mengawali apa yang kini kita kenal sebagai profesi desainer grafis. Dengan dimoderasi oleh Zinnia Nizar-Sompie, ketua ADGI (Asosiasi Desainer Grafis Indonesia) Pusat, sesi ini mempertemukan kondisi pada awal pembentukan IPGI dengan tantangan-tantangan yang harus dijawab oleh para desainer grafis di masa sekarang ini.

IPGI (Ikatan Perancang Grafis Indonesia) sendiri lahir pada 1980 dari gagasan beberapa desainer grafis yang merasa perlu adanya sebuah wadah untuk menggalang kekuatan untuk menyatakan eksistensi mereka, agar masyarakat menjadi lebih apresiatif terhadap karya-karya desain grafis. Kala itu, profesi desainer grafis hanya lekat sebagai artisan perusahaan percetakan. IPGI berdiri dengan misi memperkenalkan profesi desainer grafis yang telah independen.

DSCF3255

Pada masa kini, menarik untuk melihat balik kemunculan desainer grafis sebagai sebuah bidang baru di luar seni rupa murni pada saat itu dan menyandingkannya dengan kecenderungan yang terjadi. Perkembangan teknologi dan hibridisasi kebudayaan saat ini telah menenggelamkan individualitas dalam setiap proses penciptaan karya. Pola penciptaan yang awalnya mengisolasi individu dalam studio kemudian tergantikan dengan pola penciptaan berbasis interaksi. Hal ini yang kemudian meleburkan kembali independensi desainer grafis itu: tak ada (atau tak perlu) lagi batasan yang jelas antara seni dan desain grafis. Praktik seni rupa kontemporer sendiri misalnya, ujar FX Harsono, sudah menjadi media yang lumrah digunakan oleh para pengiklan. Karenanya, perspektif desainer dalam merancang tidak boleh lagi sempit. Penarikan garis profesi desainer grafis dari ranah seni rupa kini telah melebur oleh karena kompleksitas kebudayaan dalam kehidupan.

Hal ini pula yang menjadi sebuah tantangan untuk dijawab oleh para desainer grafis generasi sekarang. Seorang desainer, menurut FX Harsono, desainer harus mampu membaca perkembangan kebudayaan dan mampu menciptakan karya dari pembacaannya itu. Sebuah kondisi yang menyedihkan tengah terjadi di Indonesia saat ini: para pelaku desain dan seni terlalu alpa untuk dapat membaca kebudayaan; alpa untuk merespon masyarakatnya.

Perbincangan mengenai hal ini kemudian membawa balik pada pertanyaan tentang apa yang sebenarnya tengah dicari: desain grafis Indonesia atau desain grafis di Indonesia? Tanpa kepekaan terhadap kebudayaan maupun kemampuan untuk meresponnya, upaya pencarian itu tak akan dapat berprogres. Dalam hal ini, pendidikanlah yang harus dapat berperan dalam membangkitkan kemampuan untuk membaca gejala-gejala dalam kebudayaan yang kompleks itu. Pendidikan harus mampu mendorong kembali tugasnya untuk meningkatkan nilai budaya dalam ranah pendidikan hingga dapat menjadi ilmu terapan dalam praktik desain grafis.

Terpaan teknologi, sebagai contohnya. Sebagai sebuah gejala baru yang dengan segera membentuk ulang pola-pola berkehidupan, menjadikannya tantangan terkini yang harus dijawab. Gejala baru ini yang harus dipahami dalam penciptaan apapun: seni maupun desain grafis. Akan tetapi, meski membawa praktik tersebut pada tuntutan penyesuaian terhadap era digitalisasi, akan selalu ada rasa yang tertuang dalam berkarya dan berbuat. Intuisi dalam berkarya tak akan dapat digantikan oleh apapun. Dan dengan meluruhnya batasan jarak, desainer grafis Indonesia pun diajak berbekal untuk menempatkan diri dalam forum internasional.

Temu wicara ini mengajak desainer untuk menjawab tantangan berkarya—meski infrastruktur pembentuk benchmark desain grafis Indonesia belum optimal—untuk dapat bersumbangsih bagi kebudayaan.

DSCF3264 copy

DSCF3262

DSCF32722

 

MENCATAT JEJAK UNTUK MELANGKAH KE DEPAN

Sekiranya, akan selalu relevan apa yang pernah disampaikan oleh almarhum Priyanto Sunarto, ”Jika tak dicatat, kita kehilangan jejak apa yang sudah dilakukan dan apa prospek ke depan; buta akan riwayat sendiri.” Oleh karena itu, pada perayaan ulang tahunnya yang ke-8 ini, Desain Grafis Indonesia meneguhkan komitmennya untuk mencatat perjalanan desain grafis di Indonesia. Hal ini diwujudkan dengan diluncurkannya wajah baru situs resmi Desain Grafis Indonesia, yakni DGI v.3.0, yang kini berumah di dgi.or.id. Menawarkan pengalaman menjelajah yang lebih ramah pengguna, situs ini hadir untuk mengoptimalkan perannya sebagai wadah informasi, literasi, dan diskusi mengenai desain grafis di Indonesia dengan lebih komprehensif. Melalui situs barunya ini juga, diharapkan ada lebih banyak kolaborasi yang terwujud. Desain Grafis Indonesia mengajak setiap entitas untuk berkolaborasi dalam wujud kontribusi tulisan, karya, maupun advertorial.

Upaya pencatatan jejak ini juga dilakukan dengan penghargaan bermartabat, Indonesian Graphic Design Award, yang dihidupkan kembali pada tahun 2015 ini. Melalui presentasi singkatnya di Sewindu DGI, Isworo Ramadhani selaku Managing Director memperkenalkan IGDA 2015 sekaligus mengajak para pelaku desain grafis untuk turut serta dalam ajang ini. Submisi karya dimulai per April 2015.

DSCF3217

DSCF3283copy

DSCF3227

DSCF3265

Perayaan Sewindu DGI ini pun menjadi momentum untuk melangkah ke depan bersama kawan-kawan dan keluarga besar Desain Grafis Indonesia. Dari Sewindu Desain Grafis Indonesia, bahu-membahu untuk desain grafis di Indonesia, seperti semangat yang pernah disampaikan alm. Prof. Yongky Safanayong, “Begitu banyak potensi-potensi yang dapat diangkat untuk mengkaji kembali semua yang terkait dengan desain komunikasi visual. Bangsa kita ini bangsa kreatif. Harus membuka kerangka berpikir atas pilihannya sendiri; punya identitas yang independen dan inovatif.”

 

https://youtu.be/5Pe2pTTa4Lc&w=570&rel=0&showinfo=0

 

Quoted

The fate of a designer is not determined by the public system, but by the way he sees his own life

Surianto Rustan