“The design process, at its best, integrates the aspirations of art, science, and culture.”
—Jeff Smith
Di era yang serba kilat, masihkah desain yang penuh dengan proses yang padat dipandang relevan untuk diterapkan? Di era yang giat menawarkan kepraktisan, masihkah desain sebagai solusi dikelola dengan istimewa? Jika kerja desain menjadi perkara remeh temeh, masihkah desain grafis di Indonesia dapat mencapai pijakan-pijakan standar kualitas dalam upaya membangun jati diri “desain grafis Indonesia”?
Ketika memasuki usia sewindu pada Maret 2015 lalu, DGI dimantapkan akan tegasnya keterkaitan yang tak mungkin terlepas antara masa lalu dengan masa kini. Setiap mereka yang tak melepaskan sejarah adalah mereka yang berani melihat ke belakang untuk dapat melesat lebih jauh ke depan. Negara-negara yang maju desain grafisnya hingga menjadi panutan dalam pendidikan desain grafis di Indonesia telah membuktikan. Desain grafis Amerika Serikat, misalnya, atau di negara-negara Eropa maupun di Asia Timur, seperti Jepang, dapat melangkah dengan mantap oleh karena sejarahnya yang ‘mapan’.
Hal ini turut mendorong DGI untuk ambil bagian dalam memupuk pondasi bagi sejarah desain grafis di tanah air. Jika kemajuan desain grafis Indonesia yang ingin kita tuju, tentunya interaksi yang sinergis antara praktik dan wawasan yang harus menjadi bekal utamanya. Kesadaran ini menjadi suatu kegentingan tersendiri seiring gencarnya serbuan teknologi dan informasi hingga turut mengubah pula pola tingkah dan laku hingga pola berkarya para desainer grafis generasi kini. Ketika kecepatan dijadikan satu-satunya panutan, desain grafis sebagai hasil cipta manusia pun kehilangan nyawa: ia indah namun tak punya makna, kilat namun plagiat. Proses yang sejatinya adalah esensi dari rangkaian kerja desain pun ditanggalkan.
Sebagai respon, dalam FGDexpo 2015 DGI hadir dengan mempertanyakan kembali pada diri sendiri—segenap pelaku desain grafis Indonesia—tentang pola mendesain kita di era saat ini. Good design-kah yang kita kerjakan? Atau hanya cantikkah desain yang kita buat? Adakah fungsi masih menjadi prioritas? Masihkah kita anggap bermartabat desain dengan otentisitas? Apa itu good design dan masih pentingkah ia?
Ketika penerus desain grafis kini memiliki kecenderungan untuk menjadi generasi “Yaelah-gampang-isme”, desain pun menjadi kosong, instan, seragam, hanya sebatas cantik, dan tak berkomunikasi. Sebuah kampanye pun hadir dengan kolaborasi DGI bersama FullFill Artplication yang menjadi sebuah sentilan dan pengingat untuk terus melakukan hal yang semestinya dilakukan oleh setiap desainer: proses.
Dan senafas dengan gagasan besar yang diangkat serta sejalan dengan cita-cita utama DGI untuk mendirikan Museum Desain Grafis Indonesia, DGI pun mempertemukan para hadirin dengan arsip-arsip fisik desain grafis di Indonesia lewat Mini Museum DGI. Mini Museum ini dapat dikunjungi di booth B-46, FGDexpo 2015. Selengkapnya: Mini Museum DGI di FGDexpo 2015.
Selain itu, DGI juga akan hadir dengan bincang-bincang bertajuk “Yaelah, Gak Segampang Itu: Membangun Kembali Budaya Proses dalam Desain Grafis” pada Minggu, 9 Agustus 2015 pukul 13.00-17.30 WIB di Open Space Plenary Hall B Ruang 3D Printing Expo Jakarta Convention Center, Senayan. Dalam kesempatan ini, DGI akan berbincang bersama para nominator IGDA 2010 (Yasser Rizky, Ritchie Ned Hansel, Gissella, dan Mendiola Wiryawan) dalam Sesi “#menujuIGDA2”, sebagai rangkaian dari kegiatan menuju Indonesian Graphic Design Award 2016. Selain itu, akan kita telusuri pula lebih mendalam mengenai pentingnya proses sebagai nyawa dalam kerja desain dalam Sesi “Ketika Proses Membangun Desain” bersama Eric Widjaja, Teddy Aang dan FullFill Artplication, Thrive Motorcycle, dan POLA Artistry. Selengkapnya: Bincang-Bincang DGI di FGDexpo 2015.
FGDexpo 2015 ini berlangsung sejak Kamis, 6 Agustus 2015 hingga Minggu, 9 Agustus 2015. Mari hadir mengunjungi Mini Museum DGI dan berbincang mengenai proses dalam desain grafis!
When you do what you like, you won’t get sick of it too long, if ever.