Home > Read > News >
Dialog Lintas Sektoral Industri Kreatif Indonesia

Dear All,
Informasi penting bagi kawan-kawan yang begerak di Industri Kreatif untuk berdialog memberikan masukan dalam rangka pengembangan Industri Kreatif di Indonesia. Masukan berharga dari Anda akan dirumuskan dalam suatu rekomendasi yang akan dibawa ke pemerintah R.I.

DIALOG LINTAS SEKTORAL INDUSTRI KREATIF INDONESIA

Lingkup Industri Kreatif:
1. Penelitian dan Pengembangan
2. Penerbitan
3. Perangkat Lunak
4. TV & Radio
5. Desain
6. Musik
7. Film
8. Mainan & Games
9. Jasa Periklanan
10. Arsitektur
11. Seni Pertunjukan
12. Kerajinan
13. Video Games
14. Fesyen
15. Seni Rupa

WAKTU & TEMPAT:
Jum’at, 13 Juli 2007 jam 10.00 – 12.00 WIB
Ruang Merak 2 Jakarta Convention Center – Senayan

MODERATOR:
Ardian Elkana (Avigra Group)

KONFIRMASI KEHADIRAN:
Datang langsung ke lokasi kegiatan dan free of charge

Kehadiran Anda sangat kami harapkan untuk lebih memberdayakan semua potensi yang ada di Industri Kreatif.

MOHON DAPAT DITERUSKAN KE PIHAK-PIHAK YANG BERKEPENTINGAN

Salam,

Hastjarjo B. WIbowo


Gelombang Ekonomi Kreatif
Oleh Dr. TOGAR M. SIMATUPANG

DENYUT ekonomi kreatif mulai dikumandangkan oleh Presiden SBY saat memberikan kata sambutan pada pembukaan Pekan Produk Budaya Indonesia yang berlangsung tanggal 11-15 Juli 2007 di Jakarta. Ekonomi kreatif, menurut Presiden, bersumber dari ide, seni, dan teknologi yang dikelola untuk menciptakan kemakmuran (“PR”, 12/7-2007).

Dunia sudah memasuki peradaban keempat dengan sebutan era kreatif yang menempatkan kreativitas dan inovasi sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi. Seiring dengan pandangan futuris Alvin Toffler dalam Future Shock (1970) bahwa peradaban manusia terdiri dari tiga gelombang; era pertanian, era industri, dan era informasi, Presiden berpendapat bahwa gelombang peradaban keempat ini adalah era kreatif sebagai kelanjutan dari gelombang ekonomi informasi.

Presiden mengamati bahwa ekonomi kreatif di dunia banyak memberikan kontribusi bagi perekonomian negara-negara yang mengembangkannya. Melihat potensi yang begitu besar ini, Presiden secara khusus menyampaikan empat imbauan untuk bersama-sama bangsa Indonesia mengembangkan (1) ekonomi kreatif dengan memadukan ide, seni, dan teknologi, (2) keunggulan produk ekonomi yang berbasiskan seni budaya, dan kerajinan, (3) ekonomi warisan, dan (4) ekonomi kepariwisataan yang berbasis keindahan alam. Sudah saatnya Indonesia bangkit dan mempersiapkan diri untuk menyambut gelombang ekonomi kreatif dengan orientasi pada kreativitas, kekayaan dan warisan budaya, dan lingkungan.

Salah satu persiapan menghadapi ekonomi kreatif ini adalah digelarnya Seminar Pemetaan Industri Kreatif di ITB hasil kerja sama antara Forum Grafika Digital FSRD ITB, Universitas Bina Nusantara, dan British Council pada tanggal 18 Juli yang lalu (“PR”, 19/7-2007). Salah satu kesan yang mendalam dalam seminar ini adalah bahwa Indonesia merupakan pemain baru dalam ekonomi kreatif dan kegiatan kreatif di Kota Bandung masih berjalan sendiri-sendiri dan belum mendapat perhatian yang memadai dari pemerintah kota.

Konsep ekonomi kreatif masih baru bagi masyarakat Indonesia. Istilah untuk peradaban gelombang keempat bukan saja dimonopoli oleh ekonomi kreatif, tetapi sering disebut sebagai ekonomi budaya, ekonomi seni, ekonomi desain, ekonomi pengetahuan, dan ekonomi konseptual. Walaupun semuanya mempunyai kesamaan pandangan bahwa kreativitas dan inovasi individu serta kekayaan budaya menjadi inti peningkatan produktivitas ekonomi dan daya saing, timbul beragam pertanyaan, antara lain tentang asal-usul ekonomi kreatif, industri apa saja yang tercakup di dalamnya, dan hambatan apa saja bagi bangsa Indonesia untuk berkembang dalam era kreatif ini.

Ekonomi kreatif

Ekonomi kreatif dapat didefinisikan sebagai sistem kegiatan manusia yang berkaitan dengan produksi, distribusi, pertukaran, serta konsumsi barang dan jasa yang bernilai kultural, artistik, dan hiburan. Ekonomi kreatif bersumber pada kegiatan ekonomi dari industri kreatif. Secara umum, industri kreatif dalam Wikipedia didefinisikan sebagai industri yang berfokus pada kreasi dan eksploitasi karya kepemilikan intelektual seperti seni, film, permainan, atau desain fashion, dan termasuk layanan kreatif antarperusahaan seperti iklan.

Pemerintah Inggris melalui Kementerian Budaya, Media, dan Olah Raga memberikan lingkup industri kreatif sebagai kegiatan yang bersumber dari kreativitas, keahlian, dan talenta individu yang berpeluang meningkatkan kesejahteraan dan lapangan kerja melalui penciptaan dan komersialisasi kekayaan intelektual. Kementerian ini menetapkan bahwa industri kreatif terdiri dari 13 sektor usaha, yakni periklanan, arsitektur, seni murni dan barang antik, kerajinan, desain, fashion, film dan video, hiburan interaktif dan permainan komputer, musik, seni pertunjukan, penerbitan, perangkat lunak dan animasi, serta televisi dan radio.

Mengapa perhatian terhadap ekonomi kreatif semakin tinggi? Alasan pertama adalah besarnya nilai ekonomi kreatif dan pertumbuhannya. Menteri Perdagangan Mari Pangestu menilai sektor ekonomi kreatif di dunia saat ini tumbuh dengan pesat seperti tercermin dari nilai ekonomi kreatif global yang diperkirakan dengan tingkat pertumbuhan lima persen per tahun akan berkembang dari 2,2 triliun dolar AS pada Januari 2000 menjadi 6,1 triliun dolar AS tahun 2020.

John Howkins dalam The Creative Economy (2001) menemukan kehadiran gelombang ekonomi kreatif setelah menyadari untuk pertama kalinya pada tahun 1996 karya hak cipta Amerika Serikat mempunyai nilai penjualan ekspor sebesar 60,18 miliar dolar (sekitar Rp 600 triliun) yang jauh melampaui ekspor sektor lainnya seperti otomotif, pertanian, dan pesawat. Howkins berargumentasi bahwa ekonomi baru sudah muncul seputar industri kreatif yang dikendalikan oleh hukum kekayaan intelektual seperti paten, hak cipta, merek, royalti, dan desain.

Masukan utama ekonomi kreatif adalah gagasan yang diolah menjadi produk atau jasa yang bernilai ekonomi. Nilai ekonomi dari suatu produk atau jasa di era kreatif bukan lagi ditentukan oleh bahan bakunya atau sistem produksi seperti pada era industri, tetapi pada pemanfaatan kreativitas dan inovasi. Harga secangkir kopi sebagai komoditas tidak lebih dari Rp 5.000,00 di warung kopi. Harga kopi ini akan berlipat ganda pada saat diberi sentuhan seni dan inovasi seperti yang disajikan oleh Starbucks.

Daniel H. Pink dalam A Whole New Mind (2005) menjelaskan bahwa ekonomi bergerak dari era informasi ke era konseptual atau desain. Dia menggambarkan bahwa ekonomi saat ini yang ditandai dengan kelimpangan produksi (oversupply), sumber luar (outsourcing) ke negara-negara Asia, dan otomasi sistem produksi, perusahaan perlu memerhatikan aset kreatif atau kognitif seperti desain, empati, permainan, dan makna untuk dapat meningkatkan nilai ekonomi yang lebih tinggi. Industri tidak dapat lagi bersaing dalam pasar global semata-mata berdasarkan harga atau mutu produk saja, tetapi bersaing berbasiskan inovasi, kreativitas, dan imajinasi.

Organisasi Pendidikan, Sains, dan Budaya Persatuan Bangsa-Bangsa (UNESCO) juga memberikan mandat kepada para negara anggotanya untuk mengembangkan ekonomi kreatif dalam rangka mencapai Sasaran Pembangunan Milenium. Ekonomi kreatif dapat membantu penciptaan lapangan kerja, pengentasan kemiskinan, pelestarian keanekaragaman budaya, dan pembangunan manusia. Sektor yang termasuk industri kreatif menurut UNESCO mencakup warisan budaya, sastra, musik, pertunjukan, seni visual, sinema dan fotografi, radio dan televisi, kegiatan sosial budaya, olah raga dan permainan, serta lingkungan dan alam.

Pekerjaan rumah

Indonesia masih jauh ketinggalan dibandingkan dengan negara-negara tetangganya dalam mengembangkan industri kreatif. Tetangga terdekat Singapura, misalnya, telah menugaskan Kementerian Informasi, Komunikasi, dan Seni untuk mengembangkan ekonomi kreatif dalam rangka membangun daya saing Singapura melalui pemaduan seni, bisnis, dan teknologi. Visi pengembangan industri kreatif adalah menjadi kluster kreatif yang menggentarkan dan berkelanjutan untuk menunjang ekonomi kreatif Singapura.

Indikator pencapaian visi ini adalah kontribusi kluster kreatif 3,2% di tahun 2007 berlipat dua menjadi 6% di tahun 2012. Tiga cetak biru strategi pengembangan industri kreatif dalam mewujudkan visi ini adalah Kota Renaisans (kota global multitelenta dan inovatif dalam bidang seni dan budaya), Singapura Desain (pusat Asia dalam keunggulan desain sebagai pemicu utama peningkatan daya saing dan kreativitas nasional), dan Media 21 (ekosistem media yang berakar di Singapura dengan jangkauan global). Pemerintah singapura juga meluncurkan inisiatif komunitas kreatif Singapura dan Ekspo Kegiatan Kreatif.

Bagaimana dengan Indonesia?

Peluang tetap ada karena semua daerah atau kota di Indonesia mempunyai keanekaragaman seni, budaya, dan warisan budaya. Tetapi masalahnya adalah tidak semua daerah mampu mengubahnya menjadi industri yang membuka lapangan kerja, melakukan ekspor karya kreatif, dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Perkembangan industri kreatif seperti di Jakarta, Bali, Yogyakarta, dan Bandung lebih banyak karena reaksi pelaku terhadap permintaan belum ada sentuhan perencanaan jangka panjang. Karena kreativitas dan inovasi lebih berharga dari sumber ekonomi lainnya, pemerintah (regulator) dan perusahaan (operator) memerlukan paradigma baru dalam kebijakan dan manajemen yang lebih cocok dengan kondisi ekonomi kreatif.

Kepemimpinan adalah masalah yang utama. Kementerian mana yang menjadi lokomotif pengembangan ekonomi kreatif? Pemerintah Inggris menugaskan Kementerian Budaya, Media, dan Olah Raga. Saat ini Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian baru berbicara tentang pentingnya ekonomi kreatif. Belum ada mandat khusus yang diberikan pemerintah kepada suatu lembaga atau kementerian dengan kewenangan penuh dalam menetapkan kebijakan pengembangan ekonomi kreatif yang mampu bersaing dengan negara-negara Asia lainnya.

Selain berkoordinasi dengan kementerian lain seperti Pendidikan Nasional, Kebudayaan dan Pariwisata, dan Tenaga Kerja, lembaga ini juga berfungsi mendorong pemerintah kota di Indonesia untuk turut mengembangkan ekonomi kreatif sesuai dengan potensinya masing-masing.

Masalah perlindungan juga perlu dicarikan solusinya. Alasan perlindungan kekayaan intelektual adalah memberikan insentif kepada para pengarang dan penemu untuk menciptakan karya intelektual dan menyediakannya kepada publik. Perlindungan bukan hanya kepada individu, tetapi juga domain publik dan kolektif. Setiap pemerintah kota seharusnya aktif melakukan inventarisasi dan perlindungan warisan budaya dan kearifan lokal.

Rantai nilai ekonomi kreatif juga memerlukan kebijakan agar tidak hanya menjadi tukang jahit, tetapi menjadi desainer atau seniman dengan keterampilan artistik yang diakui profesinya. Perusahaan harus mampu mengelola pekerja sebagai artis atau seniman sekaligus sebagai profesi. Pemerintah daerah perlu mengakui profesi ini di dalam tatanan struktur ketenagakerjaan. Masyarakat kreatif diupayakan tidak terlena pada nostalgia warisan budaya masa lalu, tetapi turut melestarikan dan menjadikan warisan budaya sebagai sumber inspirasi untuk dapat menciptakan karya yang bernilai ekonomi.

Konsumen industri kreatif belum banyak yang dapat menghargai nilai dari karya kreatif terutama desain. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi yang lebih luas untuk mendidik pelanggan. Inisiatif ini termasuk menumbuhkan sahabat-sahabat budaya dan seni (para dermawan dan kolektor) dan membantu akses ke pasar global.

Masalah kebijakan pengembangan prasarana dan sarana ekonomi kreatif berbeda dari era industri yang dapat dilakukan dalam rentang waktu yang singkat. Hampir semua sarana dan prasarana seperti akses terhadap pendidikan, teknologi, perpustakaan, perizinan, statistik dan hasil riset, kontes, pelatihan, modal, informasi tentang standar teknis dan kesehatan, bantuan teknis, pajak, regulasi persaingan, dan lain-lain harus dibangun dari nol dalam rentang waktu yang panjang.

Statistik industri kreatif tidak mungkin diperoleh tanpa ada standardisasi definisi, sistem klasifikasi umum, prosedur pengumpulan data, metode analisis, dan penyebaran informasi. Statistik diperlukan untuk melakukan kaji banding, perumusan kebijakan, dan analisis peluang investasi. Tugas yang lebih penting lagi adalah bagaimana memahami perkembangan organisasi dan pekerjaan kreatif dan apa yang perlu dilakukan untuk mendorong ekonomi kreatif yang mandiri dan berkontribusi.

Kalau konsep ekonomi kreatif diyakini mendorong persaingan ekonomi global di masa depan, apakah tantangan untuk mewujudkan Bandung sebagai ikon industri kreatif nasional mau dan mampu dijawab oleh Pemerintah Kota Bandung dan komunitasnya? ***

Penulis, dosen Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB.

Sumber: “Pikiran Rakyat”. Rabu, 01 Agustus 2007 (http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/082007/01/0902.htm#atas)

Quoted

“Imajinasi yang liar lebih kuat dari lirik yang sok mau jelas.”

Slamet A. Sjukur