Tiba-tiba, seorang peserta workshop bersin-bersin ketika Yasser Rizky baru saja memulai presentasinya. Distraksi ini rupanya “menggelitik” Yasser. “Hihihi, alergi ya diterangin lagi soal basic?” ucap Yasser yang kemudian disambut tawa kecil juga oleh 24 peserta workshop lainnya.
Ya, sebelum akhirnya jauh membahas soal bagaimana proses kreatif pribadinya dalam merancang visual, Yasser terlebih dahulu mengingatkan para peserta workshop tentang pentingnya memahami lagi jawaban dari pertanyaan sederhana ini; “What is Design?”
Desainer grafis yang juga berprofesi sebagai dosen jurusan Desain Komunikasi Visual di sebuah universitas swasta di Jakarta ini mulai mengemukakan subjektivitasnya dengan menjawab bahwa desain grafis tak ubahnya sebuah bahasa yang berbentuk visual. Lebih spesifik soal tipografi, sebagai salah satu aspek pembentuk sebuah karya desain grafis. Ia menjelaskan bagaimana ilmu merancang, menata, dan memodifikasi huruf ini evolving dari masa ke masa; yang fungsi awalnya tak lebih dari sebagai penanda, kini juga menjadi sarana eksplorasi visual yang luas sekaligus responsif terhadap zaman dan kebudayaan di sekitarnya.
Workshop “Poetry of Typography”, yang merupakan salah satu agenda dari rangkaian gelaran konferensi desain tahunan Surabaya “Design It Yourself: Mix2Make”, adalah ajakan Yasser Rizky untuk mengungkap posibilitas-posibilitas visual baru lewat eksplorasi tipografi tanpa batas melalui bait-bait puisi (concrete poetry), namun dengan tetap respectful terhadap struktur dan anatomi huruf itu sendiri. Beberapa contoh form eksplorasi seperti symmetrical, curvilinear, positive-negative, type mixing, hingga shadowing lebih dulu ia sajikan sebagai panduan sebelum para peserta workshop mulai mengartikulasikan bait-bait puisi ini ke bentuk visual.
Selain puisi, Yasser juga mempersilahkan para peserta workshop untuk bermain-main dengan penggalan-penggalan asemic writing yang sudah ia siapkan. Asemic writing sendiri merupakan tulisan yang sama sekali tak mengandung konten semantik tertentu (abstrak), namun dari keabstrakan tersebut, pembaca diharapkan dapat menginterpretasikan sendiri emosi serta pesan di dalamnya.
Tak lama kemudian, lembaran kertas A3 mulai dibagikan ke seluruh peserta workshop yang nampaknya sudah tak sabar segera bermain-main dengan materi dan proyek yang telah disampaikan. Di hari pertama (16/10), Yasser berharap peserta workshop lebih dulu dapat mengartikulasikan kutipan puisi-puisi yang sudah ia siapkan itu dan mengolah komposisi visualnya secara manual. Yasser menghimbau untuk menjauhi komputer terlebih dahulu supaya eksplorasi yang dihasilkan dapat makin maksimal.
Awalnya, suasana workshop sedikit kaku. Tak banyak interaksi di antara peserta workshop yang terjadi. Semua kepala tertunduk di atas bidang kertasnya masing-masing. Ada yang terlihat masih berusaha mencari-cari ide dengan hanya diam, ada juga yang sudah terlihat sangat luwes menggoreskan pensil dan penanya di atas kertas. Kendati demikian, semua peserta nampak menikmati proses kreatifnya masing-masing.
Suasana di Ruang 504 lantai 5 Gedung P Universitas Kristen Petra cukup hening, sampai akhirnya Yasser mencoba mencairkan suasana dengan berjalan mengelilingi tempat duduk para peserta sambil meninjau proses pengerjaan mereka. Sesekali diskusi dan canda-canda ringan terjadi di antara mereka. Hal ini nampaknya efektif membuat suasana kelas menjadi lebih interaktif.
Selama kurang lebih lima jam berlangsung, Yasser akhirnya mengakhiri workshop Poetry of Typography hari pertama. Pekerjaan rumah para peserta workshop adalah mengeksekusi hasil sketching yang sudah mereka selesaikan ke dalam bentuk digital untuk dipresentasikan di depan kelas, di hari kedua keesokan harinya.
Di hari kedua (17/7), workshop berjalan lebih santai. Wajah-wajah serius dan suasana kelas yang hening di hari pertama tak lagi terlihat. Kendati demikian keseriusan mereka berkarya tak terlihat berkurang.
Tepat 11 siang workshop kembali dibuka. Para peserta terlihat tengah sibuk menyiapkan file PDF-nya masing-masing yang akan dipresentasikan di depan Yasser dan peserta workshop yang lain. Bahkan salah satu dari mereka mengaku telah hadir satu jam sebelumnya di kelas.
Satu per satu dari mereka maju ke depan kelas dan mulai menyampaikan penjelasan tentang karya yang telah dirancangnya. Beberapa peserta terlihat sedikit malu-malu, sementara beberapa yang lain terlihat sangat confidence dengan hasil pekerjaannya. Diskusi pun terbangun ketika Yasser mulai mengomentari satu per satu karya mereka. Apalagi para peserta workshop yang lain juga diperbolehkan mengomentari karya temannya yang sedang berdiri di hadapan mereka.
Tak ingin suasana menjadi berkesan kompetitif dan sedikit sengit-sengitan, Yasser menjelaskan bahwa workshopnya bukan tentang mencari mana yang bagus, mana yang kurang bagus. Ini adalah soal mengolah rasa dan sensitivitas mereka sebagai desainer grafis, merespon sesuatu dengan karya tipografi. Jadi tentu, masing-masing peserta punya interpretasinya sendiri-sendiri.
“Jadi di workshop ini kita nggak lagi saling membedakan ya mana yang bagus, mana yang jelek. Dari kalian masing-masing pasti punya pemikiran dan interpretasi masing-masing. Jadi santai aja, kita diskusi bareng”, terang Yasser.
Setelah kurang lebih dua jam, selesailah sesi presentasi yang cukup seru dan intense itu. Para peserta kemudian mulai merevisi pekerjaannya masing-masing setelah mendapat masukan-masukan dari Yasser dan peserta lain.
Sembari menunggu hasil revisi para peserta workshop, Yasser terlihat keluar kelas dan meladeni beberapa orang dari media yang ingin mewawancarainya. Terlihat dari gestur dan tutur katanya, Yasser adalah orang yang sangat terbuka, ramah, murah senyum, namun tak cengengesan. Pengalamannya bergelut di bidang desain grafis selama kurang lebih satu dekade, tak lantas menjadikannya pribadi yang angkuh. Apalagi salah satu pencapaiannya yang paling banyak diketahui orang adalah ia termasuk salah satu dari dua desainer grafis asal Indonesia yang pernah bekerja bareng Stefan Sagmeister, desainer grafis dan seniman kelas dunia berdarah Austria, di Bali beberapa tahun yang lalu.
Setelah selesai, Yasser kembali menuju kelas. Nampaknya beberapa peserta sudah menanti kedatangan sang mentor dan tak sabar segera menunjukkan hasil revisinya. Namun tak terlalu formal seperti sesi presentasi di awal workshop, kali ini Yasser hanya akan melihat karya mereka lewat laptopnya dan kembali mengomentari karya-karya peserta.
Suasana menjadi lebih intim antara Yasser dan peserta workshop. Terlihat para peserta menggerombol berdiri di belakang tempat duduk Yasser sambil melihat dan mendengarkan komentar-komentarnya. Diskusi ringan kembali terjadi di antara mereka. Pertanyaan dari para peserta lebih banyak terlontar di hari kedua ini. Yasser pun meresponnya dengan excited dan berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Menjelang akhir workshop, Yasser meminta satu per satu file karya dari masing-masing peserta. Nampaknya ada hal lain yang Yasser telah rencanakan dengan hasil workshopnya ini. Benar saja, ketika ia berkata akan membuat sebuah booklet dengan isi dari karya-karya mereka, para peserta workshop tak mampu menahan sumringah dan senyum malu-malunya.
“Makanya di awal saya minta nama panjang kalian, gunanya ya untuk credit di booklet-nya nanti,” tutur Yasser.
Tak terasa, langit Kota Surabaya makin menjingga. Hawa panasnya kian jinak menghangat. Jam telah menunjukkan pukul empat sore. Artinya workshop ini harus disudahi. Yasser berpamitan dengan mengucapkan terima kasih kepada para peserta yang telah mengikuti workshop pertamanya di Kota Pahlawan ini. Tak menunggu lama, suasana kelas mendadak tak terkontrol. Para peserta berebut untuk bisa berfoto bersama sang mentor. Sesi foto ini akhirnya diakhiri dengan foto bareng Yasser Rizky bersama seluruh peserta workshop, segenap panitia, dan beberapa dosen Universitas Kristen Petra.
Limitations and distractions are hidden blessings