Home > Read > News >
Perginya “Pipa Penghubung”, Gendut Riyanto (1955-2003)

Perupa yang pernah terlibat dalam sejumlah pameran gerakan “Kepribadian Apa” (“Pipa”) dan “Gerakan Seni Rupa Baru” (GSRB), Gendut Riyanto (48), meninggal dunia di kediamannya, Cikunir, Bekasi, Jawa Barat, pada Senin, 29 Desember 2003 lalu.

Kepergian Gendut menenggelamkan kemungkinan kembalinya seorang perupa yang menekuni ide-ide seni yang pluralistis ke panggung seni rupa Indonesia. Memang, belakangan perupa ini justru tengah berupaya merintis jalan kembali ke wacana seni rupa yang pernah ditelusurinya. Di salah satu dinding ruangan di mana jenazahnya terbaring, sejumlah kerabat dan sahabat yang datang tak cuma menyaksikan raut pucat beku wajahnya yang tirus untuk terakhir kalinya, tetapi juga sebuah tanda berupa lukisan berwarna gemilang karyanya yang belum usai dikerjakan.

Pada September 1977 ia terlibat dalam sebuah pameran yang merepotkan banyak orang tua dan kaum establishment pada umumnya di Yogyakarta. Pameran ini adalah “Pergelaran Seni Kepribadian Apa” yang diselenggarakan di Gedung Senisono Art Gallery, Yogyakarta. Ronald Manulang, perupa yang agaknya menjadi juru bicara dalam pameran ini, menuliskan pengantar tentang pameran itu antara lain, “…. Telah terlalu lama kesenian kita berbasa-basi dengan konsep loakan yang tak pernah mengenal kesegaran, tak mengenal lingkungan, tak mengenal dinamika sosial…. Lingkaran dialektik begitu tertutup dari kesenian. Salah satu dari sekian kekeliruan yang meradang kesenian itu adalah konsep psikologi yang meneorikan sistem kepribadian gaya; seni-kesenian-seniman yang harus punya syarat kekhasan, atau gampangnya saja: satu jenis bentuk dalam satu jalur corak yang menjadi tujuan final….”

Sekarang tentunya kita paham, melalui pameran ini pulalah manifesto realisme fotografis Dede Eri Supria yang mengguncang untuk pertama kalinya dituliskan. Dengan tajam Dede-perupa termuda dalam gerombolan itu-menulis “buat kaum realisme” yang berada di ujung kematian, menyerukan mereka agar “mencari segala kemungkinan yang ada pada seni realisme kita, yang semakin pudar kebersamaannya lantaran merasa terjepit ruang lingkupnya oleh rasa kerendahdirian sendiri terhadap seni rupa lainnya”. Dede menyebut para pelukis realis yang ngotot menantang kehadiran representasi obyektif dari seni fotografi tak ubahnya “kaum Gareng”.

Tetapi, para perupa “Pipa” hakikatnya memang “kaum Gareng” yang piawai menggocoh-dengan sindiran dan ironi tajam-pseudowacana identitas dalam seni lukis yang dibayangi oleh hantu konsensus kebudayaan nasional. Moelyono, salah seorang perupa yang terlibat dalam pameran “Pipa” dua tahun berikutnya (1979), menulis bahwa tema “kepribadian” yang menjadi bulan-bulanan para perupa muda itu sesungguhnya datang dari salah seorang pengajar seni lukis di STSRI ASRI yang menilai karya anak-anak muda yang ngepop itu tak menunjukkan bahwa mereka memiliki “kepribadian”. Melawan “teror” kepribadian itu, Ronald Manulang menuliskan “mahakonsep” yang disebutnya sebagai GAM (Gerakan Anti Mapan), antikonsensus yang tak mudah diukur atau “tanpa dosis”.

Pada masa itu, Gendut tercatat sebagai mahasiswa seni rupa STSRI ASRI tahun ke-2. Dengan negative capability-nya yang khas, ia pun menulis bahwa “gombal, gombal, gombal (yang) disusun bukan gombal lagi”. Budayawan Umar Kayam mengomentari pameran anak-anak muda itu dengan istilah yang dalam waktu lama agaknya akan tetap dikenang: pameran kaum WTS (waton suloyo atau asal heboh). Melewati saat-saat penuh ketidakpastian karena tekanan interogasi dan ancaman sensor oleh pihak keamanan, di hari ketiga pameran “Pipa” akhirnya resmi ditutup polisi.

Dua puluh tahun kemudian ia mengenangkan lagi peristiwa penutupan pameran itu, yang menyulut reaksi peserta pameran untuk menunjukkan keganasan di balik format “kepribadian” itu sendiri: memperdengarkan lagu Indonesia Raya seraya menyaksikan karya-karya mereka melorot perlahan-lahan dari dinding. Ia yakin bahwa pameran “Pipa” adalah pameran paling heboh sepanjang sejarah pergelaran seni di Yogyakarta yang melibatkan berbagai seniman dari bermacam disiplin (musik, seni rupa, dan teater). “Kepribadian Apa”, tulisnya, tak lebih dari “upaya agar keanekaragaman pandangan seni tetap terjaga” (Kompas, 12 Oktober 1997).

Seni rupa dan lingkungan

Gerakan “Pipa” di Yogyakarta hakikatnya menunjukkan kaitan dengan apa yang telah diawali oleh GSRB di Jakarta sejak tahun 1975, yaitu penentangan terhadap prinsip-prinsip universalitas atau meta-narrative estetika fine art yang datang dari Barat sekaligus berpaling terhadap khazanah pandangan dan idiom lokal yang lebih grounded.

Terbukti, sejumlah perupa yang terlibat dalam gerakan “Pipa” muncul dalam pameran GSRB yang terakhir di Jakarta (Desember 1979). Gendut Riyanto adalah salah seorang di antaranya yang bergabung dalam gerakan ini. FX Harsono menafsirkan “Pipa” semacam pipa penghubung antara ide-ide seni pluralis-kontekstual GSRB dengan perkembangan seni rupa yang lebih majemuk di Yogyakarta.

Tema lingkungan kemudian menarik perhatian Gendut. Seraya mengagumi ide-ide para seniman seni bumi di Barat yang mendukung gerakan lingkungan, seperti Nancy Holt dan Michael Singer, Gendut membuat percobaan sepele: mengalirkan susunan ranting-ranting kayu di sungai dan akhirnya merancang sebuah aksi seni lingkungan pengusir burung-burung di sawah dalam “Aku dan Sawah” (1980), di desa Tegalrejo, Yogyakarta. Ketertarikannya pada wacana seni ini berkembang lebih lanjut dalam peristiwa seni rupa lingkungan di Pantai Parangtritis, Yogyakarta (1982). Pada tahun itulah ia-tampak paradoks dengan gagasan mendasar seni bumi-memutuskan untuk menjadi seorang urban di Jakarta, meninggalkan proposal studi akhirnya di STSRI ASRI.

Namun, jejak kepedulian terhadap lingkungan alam muncul lebih kentara pada pameran “Proses ’85” di Galeri Pasar Seni, Ancol, Jakarta (1985) bersama sejumlah kawan eks GSRB dan “Pipa” (Bonyong Munniardhi, Harsono, Harris Purnama, dan Moelyono). Ia menyebut seni rupanya sebagai suatu upaya untuk berkomunikasi dengan khalayak luas perihal problem-problem yang mereka hadapi. Ia mengagumi Kasim, seorang insinyur maupun Sardono W Kusumo yang masuk keluar hutan dengan semangat trans-disiplin demi menggali dan mengomunikasikan problem-problem masyarakat yang wigati. Baginya, kegiatan seni rupa bukanlah mirip mesin industri yang memproduksi benda-benda artistik.

FX Harsono, seorang kawan diskusi dan rekan bekerjanya dalam sebuah griya grafis pada tahun ’80-an, pernah menuturkan bagaimana Gendut menitikkan air mata saat mereka melakukan kunjungan ke sebuah keluarga nelayan di Kampung Luar Batang, Jakarta Utara, dalam rangka pengumpulan bahan untuk pameran mereka. Mereka menemui sejumlah anak yang cacat atau tak mampu berbicara, diduga merupakan mata rantai dari pola konsumsi makanan yang selama bertahun-tahun sudah tercemar metil-merkuri dan logam berat lainnya di Teluk Jakarta.

Para perupa ini bersepakat, karya seni rupa adalah pemecah problem dari sisi kultural, bukan alternatif politis. Dalam kaitannya dengan pokok yang mereka amati, mereka menggeser sikap keagenan-ontologis kaum seniman yang eksklusif (“kami”) menjadi deontologis-inklusif (“kita”).

Ekspresi yang majemuk

Revolusi dalam seni dan dalam politik memang berbeda, tulis kritikus Harold Rosenberg. Sementara revolusi dalam politik berarti sebuah pilihan untuk menggulingkan jalan-jalan reformasi maupun reaksi, revolusi di dalam seni tidaklah terletak pada hasrat untuk menghancurkan, tetapi menyingkapkan apa yang sudah dihancurkan. Di dalam politik, alternatif terhadap revolusi adalah posisi politik yang lain; di dalam seni pilihan itu adalah “akademi”, yang bukan merupakan suatu posisi di dalam seni. Demikianlah, seni menikam hanya yang sudah mati.

Pada 1987, Gendut terlibat lebih intens dengan para perupa di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta (termasuk kritikus Sanento Yuliman almarhum) dalam pameran “Pasaraya Dunia Fantasi” di Taman Ismail Marzuki, Jakarta (15-30 Juni 1987). Pameran ini tampak seperti suatu upaya menyingkapkan lagi apa yang sudah “mati”, yakni GSRB. Tema “Seni Rupa dan Kehidupan Sehari-hari” klop dengan apa yang dihadapinya sehari-hari, merancang pesan-pesan kreatif untuk pemasaran barang dan jasa. Selama 19821985 ia memang bekerja sebagai pengarah seni di kantor periklanan.

Bersama Jim Supangkat, Nyoman Nuarta, dan Sri Malela, Gendut terlibat dalam pameran “Seni Rupa Baru Proyek II” dua tahun berikutnya yang mengangkat tema tentang penyakit yang mendunia, AIDS. Pameran ini kemudian dibawa ke forum ARX (Australia and Region Artist Exchange) di Perth, Australia, (1-14 Oktober 1989). Tulis Sanento Yuliman, “inilah salah satu terobosan seni rupa kita ke dunia internasional, bukan sekadar dalam arti pergi ke luar negeri, tetapi juga dalam arti memasuki gelanggang dan turut bermain….”

Namun, Gendut tak cuma berkarya seni rupa. Tatkala ia seakan menghilang dari dunia ini selama beberapa lama, ia mengaitkan diri dengan puisi dan menulis cerita pendek. Salah sebuah cerita pendeknya pernah muncul dalam antologi cerita pendek Kompas Minggu, dan belakangan Gendut mulai mengembangkan lagi kemampuannya menggubah citra dalam gambar melalui sejumlah ilustrasi untuk beberapa cerita pendek di harian ini.

Kepekaannya terhadap dunia sastra sebenarnya tumbuh sejak lama. Hasil dari sejumlah kepekaan yang melahirkan ekspresi jamak itu muncul pada karya-karya puisi-rupa Gendut. Pada tahun 1994, ia menerbitkan sebuah buku bertajuk Habis Gelap Terbitlah Gelap, yang disebutnya sebagai “seri puisi rupa”. Puisi rupa ini baginya bukan “puisi baru”, karena sumber-sumber puisi rupa yang dikerjakannya adalah “lekuk-liku seni huruf, grafiti di gang-gang becek, gambar hias di pojok sebuah koran atau majalah”. Sesungguhnya, ia berada dalam suatu era di mana pesan dan makna tipografis melalui medium cetak agaknya sudah berakhir dijelajahi oleh para perancangnya, mengubahnya menjadi gelombang citra yang tak terbatas (the end of print).

Gendut menulis bahwa “puisi rupa” adalah “suara, rupa kata, konsep, ide, gerak, kata rupa yang dicabik”. Sebenarnya tak cuma perkara rupa, puisi-puisi dalam kumpulan ini juga mengandung unsur bunyi (sound-poem) yang mengingatkan puisi-puisi penyair Dada pada dekade 20-an.

Menurut Jim Supangkat, puisi rupa adalah sebuah “manifestasi jelas dari era seni rupa baru”, bahkan perbaikan yang akurat dari festival Puisi Konkret yang pernah diikuti oleh sejumlah penyair di Taman Ismail Marzuki beberapa puluh tahun silam.

Suatu kali ia memang pernah mengatakan bahwa hanya sastrawan-perupa sekaliber Danarto-lah yang berhasil menghubungkan dua bidang itu sekaligus: kata dan gambar, bahasa dan rupa. Tak cuma mengagumi cerita pendek Cak-ngung… Danarto yang hebat itu, agaknya ia juga tergila-gila dengan idiom-idiom dan citra yang liris dan sureal dalam album konsep Pink Floyd, The Wall yang monumental dan berkali-kali diulang tonton serta tak bosan diceriterakan kepada kawan-kawannya.

Sesungguhnya, kawan-kawannya masih menunggu apa yang ingin ditampilkannya dalam pameran tunggal yang selalu dibayangkannya. Kemungkinan itu sebenarnya makin mendekat karena belakangan Gendut mulai rajin melukis setelah berhasil bangkit dari penyakit lever yang menyerangnya. Tampaknya “pipa penghubung” ini memang memerlukan waktu menyambungkan kembali ide-ide dekonstruktifnya yang lebih tajam untuk menimbang wacana seni rupa yang logosentris. Namun, perupa yang lahir di Solo, Jawa Tengah, 1 Desember 1955, ini rupanya harus pergi lebih cepat untuk bersua dengan Sang Logos yang Kekal. Selamat jalan, Gendut.

 

Kompas, Minggu, 04 Januari 2004

Sumber: agepe


Hendro Wiyanto
Kritikus seni rupa

Quoted

Makin banyak manfaat, makin sedikit dampak, makin baiklah desain itu

Arief Adityawan S.