Prinka: Perancang, Penggambar, Guru

In Memoriam: S. Prinka (1947-2004)

Nama S. Prinka mulai menonjol melalui karya-karyanya di majalah Tempo sejak 1980an, baik sebagai perancang grafis maupun sebagai ilustrator yang membawa arah baru dalam editorial art & design masa itu. Tahun 1977 Prinka mulai bekerja sebagai kepala tata muka di Majalah Tempo atas tawaran Goenawan Mohammad, yang kagum pada infografis yang dibuatnya untuk redaksi Tempo. Setelah lima tahun bekerja dan menghayati sistem kerja majalah, baru tahun 1982 Prinka menampilkan karya desain majalah yang kemudian akan jadi dasar perkembangan desain majalah berita di Indonesia. Tempo mengawinkan antara jurnalisme dan seni rupa dalam wajah yang “enak dibaca dan perlu” karena juga enak dilihat!

Syahrinur Prinka menempuh pendidikan grafisnya di Seni Rupa ITB pada tahun 1968. Pada saat itu di studio grafis dipelajari baik desain grafis (ilustrasi, fotografi, desain untuk penerbitan, desain pameran) maupun seni grafis (woodcut, etching, lithography, silkscreen) sekaligus. Suasana seni rupa masa itu memberi peluang baginya untuk bermain dengan pikiran dan imajinasi bebas. Tugas akhir Prinka adalah karya grafis ilustrasi eksploratif untuk karya-karya sastra Iwan Simatupang.

Karya tersebut seakan hendak menentang ilustrasi di majalah “Horison” yang sering abstrak dan sulit dicerna. Bagi Prinka, ilustrasi merupakan jembatan komunikasi antar pelihat dengan teks, hingga tetap diperlukan imaji yang dikenal agar dapat merangsang imajinasi pelihat. Karena itu karya gambar Prinka selalu representatif, tidak abstrak, meski imajinasi yang ditimbulkannya bisa sangat liar dan dalam.

 

Prinka Sebagai Perancang

Dari awal terbitnya di tahun 1971, Tempo meletakkan konsep bahwa sebuah artikel tampil utuh, tak disambung ke halaman belakang, menghindari bagian belakang majalah jadi semacam tong sampah. Sistem tak terputus jadi pekerjaan berat bagi editor dan pracetak dalam mengedit panjang teks artikel, apalagi masa mesin ketik manual. Biasanya tata letak jadi tak terpelihara, karena fokus redaksi selalu pada isi tulisan, bukan pada perwajahan.

Prinka kemudian memperkenalkan sitem “partitur”, garis besar distribusi artikel dalam seluruh halaman majalah. Partitur yang disepakati bersama pada rapat redaksi mendistribusikan urutan artikel, jatah panjang naskah, alokasi iklan. Melalui partitur ini diatur irama suasana dari halaman ke halaman; di depan yang tenang (surat pembaca, opini, kartun), halaman utama yang serius, hingga halaman akhir yang menarik (pokok-tokoh, berita ringan dan catatan pinggir). Dengan demikian pembaca menikmati majalah dengan puas hingga halaman terakhir. Karena itulah gagasannya disebut partitur, mengatur penampilan musikal.

Prinka memperkenalkan sistem alokasi jumlah karakter (panjang teks) yang dibagikan pada tiap penulis naskah. Pada masa itu hanya di Tempo seorang perancang bisa ikut mengatur panjang naskah. Tapi cara demikian memberi peluang mengatur halaman bukan hanya sebagai teks saja, tapi juga mengalokasikan tata letak halaman, blocking naskah, dan besaran foto/ gambar / infografis. Wartawan dan redaksi menulis lebih pasti, karena sudah tahu dari awal berapa karakter yang disediakan untuk artikelnya. Dengan demikian tulisan bisa ringkas, padat dan bernas, tata letak seluruh majalah terpelihara baik.

Prioritas perancangan halaman pun diatur sedemikian rupa hingga majalah bisa tampil apik. Untuk rubrik yang rutin dibuatkan semacam “template” dengan aturan yang baku, hingga perancang tak perlu membuang banyak waktu merancangnya. Kebakuan ini juga membina tradisi visual pembaca dalam menikmati majalah. Hanya laporan utama dan laporan istimewa dirancang secara khusus dan beda tampilan tiap minggu. Dengan demikian kreasi perancang dapat terfokus pada bagian tertentu, yang merupakan tampilan segar tiap minggu.

Dengan masuknya komputerisasi di Tempo pada tahun 1985, sistem kerja ini makin dipermudah karena senafas dengan logika kerja komputer. Sejak itu perkembangan pekerjaan bisa diawasi bersama secara “online” di monitor redaksi. Sejak majalah Tempo dibreidel tahun 1994 para alumninya (bekas karyawan Tempo) menyebarkan sistem kerja tersebut pada lingkungannya yang baru.

Prinka, menurut Goenawan, merupakan pionir dalam desain infografis pada media berita di Indonesia. Data statistik yang kering dapat ditampilkan jadi menarik untuk dibaca. Infografis yang baik dapat menjelaskan lebih ringkas dan jelas daripada teks verbal. Pada gambaran peristiwa, misalnya kerusuhan, infografis dapat menjelaskan secara ringkas diagram situasi dan proses kejadiannya lewat gambar. Karena itu Prinka sangat mendorong perancang grafis mempelajari infografis. Prinka pula yang mewajibkan mata kuliah infografis di DKV-IKJ.

Prinka sangat sadar mengenai tampilan huruf dan gambar. Sebetulnya untuk pembaca Tempo yang rata-rata SMA ke atas, intelektualitasnya sering mementingkan huruf dari gambar. Karena itu gambar, baik foto maupun ilustrasi, harus ditampilkan sesuai dengan intelektualitas pembaca. Tapi ada kalanya gambar atau foto yang baik sulit diperoleh. Dalam kasus demikian Prinka akan memutuskan untuk membesarkan huruf daripada gambar, karena masyarakat pembaca Tempo juga masyarakat baca. Kasus demikian sering dijumpai pada kulit muka Tempo. Sebagai konsultan desain penerbit Grafiti, Prinka malah menyarankan kulit muka yang didominasi huruf untuk buku-buku terbitan Grafiti. Menurutnya tampilan sifat sebuah jenis huruf saja sudah bisa memberi kesan tentang isi bukunya.

Kulit muka Tempo pun jadi perhatian khusus Prinka, karena merupakan bagian penting dalam keputusan membeli. Baginya kulit muka bukan hanya menerangkan berita utama, tapi juga menggoda pelihat untuk ingin tahu lebih jauh isi majalahnya. Karena itu kulit muka Tempo dibuat bukan hanya menampilkan fakta fotografis, tapi juga berkias secara cerdik untuk menggoda pelihat tentang apa yang akan diungkap dalam majalah. Kecerdikan tersebut sekaligus memberi warna puitik dan berbudaya pada citra majalah Tempo.

Dalam menampilkan “permainan visual” kulit muka, Prinka sangat mempercayai bahwa gambar tangan seringkali dapat menampilkan eksplorasi imajinasi yang lebih baik dari fotografi. Gambar dapat leluasa mengkiaskan dan memberi komentar tentang apa yang ada di balik sebuah issue. Patut diingat, masa itu semua dikerjakan secara manual. Dengan masuknya digitalisasi gambar (foto maupun ilustrasi) kemungkinan permainan visual menjadi lebih kaya. Kebebasan “copy & paste” dan “retouchee & render” memberi kesan ikonik yang lebih seakan realistis. Tetapi bagi Prinka yang utama adalah memilih tampilan yang tetap menawarkan daya puitik tinggi, agar menyiratkan citra Tempo sebagai media yang berkelas.

Prinka di lingkungan kerjanya dikenal sebagai teman yang tak suka bicara rumit, ahli bercanda dan menjaili sesama teman. Kebiasaan itu menghidupkan suasana kantor jadi lebih hangat. Meskipun sebagai dirigen tata muka harus mengatur ketertiban perwajahan, tapi Prinka selalu tak betah dengan sesuatu yang rutin. Kulit Muka dan halaman berita utama menjadi tempat untuk mengolah gagasan baru dari minggu ke minggu. Bahkan logotype “Tempo beberapa kali diubah untuk mendapatkan karakter huruf yang paling cocok dengan citra Tempo. Edi RM sebagai wakilnya sempat ditugasi memperbaiki logotype Tempo. Edi bertanya pada Prinka “Emangnya kenapa harus diubah lagi, Mas?”. Jawabnya enteng dan tak berbelit-belit “Udah bosen!”

 

Prinka Sebagai Penggambar

Kata “penggambar” digunakan untuk memperhalus kata “tukang gambar” yang biasa dipakai Prinka yang menghindari kata seniman dan pelukis yang baginya berkesan terlalu hebat.

Meski kesukaan bermain dengan gambar sudah dilakukan sejak mahasiswa, tapi kepiawaiannya makin menonjol sejak membuat ilustrasi kolom dan Catatan Pinggir di majalah Tempo. Prinka sebagai pendesain bekerja sangat logis, tertib dan terukur seperti terlihat pada sistem partitur yang diperkenalkannya. Tapi dalam gambarnya Prinka tampil berbeda dengan karya yang janggal, “tak nyambung”, kontemplatif dan merangsang imajinasi pelihat. Berpijak pada prinsipnya, gambar harus mengajak pelihat berimajinasi, apa yang ditampilkan selalu dapat kita kenali segera. Tapi bagaimana konfigurasi obyek yang digambar mengundang pertanyaan dan interpretasi yang dalam.

Garis Prinka selalu halus dan rapih, dengan teknik gambar dan kepekaan terhadap ruang yang tinggi. Melalui kehalusan itu Prinka lebih sering menampilkan gambar dalam suasana yang tenang cenderung sepi, obyek-obyek terpampang di ruang hampa. Obyeknya sendiri muncul dalam konfigurasi yang janggal, baik cara gambar, skala, peranan, maupun relasi antar obyeknya. Secara keseluruhan gambar tersebut seperti di alam mimpi, dimana berbagai ikon berbaur dan berinteraksi bebas dari kungkungan makna obyek tersebut di alam nyata. Interaksi itulah yang membawa kita pada imajinasi yang tak terbatas, liar. Goenawan menyebutnya dekonstruksi.

Gambar ilustrasi Prinka tak bisa segera dihubungkan dengan isi teks, karena bagi Prinka gambar bukan hanya berfungsi menerangkan isi teks. Lebih jauh, gambar merupakan komentar terhadap teks untuk memberi pelihat kesempatan merambah imajinasi seluas mungkin. Karena itu bagi Jim Supangkat gambar Prinka dapat berdiri sendiri sebagai karya seni gambar yang dilepaskan dari teks. Dalam karya Prinka, pelihat diajak mengenali obyek sesuai perbendaharaan pengalamannya. Hanya saja obyek tersebut kemudian diolah dan digabung dengan unsur lain hingga muncul kejanggalan yang mengundang pertanyaan. Dalam situasi yang gamang itulah pelihat dapat ikut bermain menebak makna gambar. Kejutan dan interpretasi bebas membuat gambar Prinka selalu menarik untuk dinikmati.

Gambar khas Prinka ini kemudian menjadi semacam “trade mark” majalah Tempo. Olahan ilustrasi demikian diturunkan kepada para penerusnya. Pada Tempo yang baru – 1998 – gambar kolom demikian dipercayakan pada Edi RM, wakilnya yang juga bekas muridnya di IKJ. Saat Tempo dibreidel bekas perancang dan ilustrator Tempo mengembangkan gambar gaya Prinka ke berbagai media, gaya semacam itu sekarang jadi sangat umum muncul di media majalah maupun koran. Kalau kita menemukan ilustrasi editorial dengan pendekatan visual demikian, tahulah kita siapa yang dulu memulainya.

S Prinka 1999: Kartun untuk demokrasi.

S Prinka 1999: Kartun untuk demokrasi.

 

Prinka Sebagai Guru

Prinka mendirikan Studio Desain Grafis di Institut Kesenian Jakarta pada tahun 1976. Sekolah desain grafis lain pada masa itu ada di ITB (1973) dan di Trisakti (1979) yang merupakan jenjang sarjana (S1). Pendidikan yang dirintis Prinka mengikuti arah pendidikan IKJ yang mengutamakan keprofesian (Diploma 3). Calon lulusan diarahkan menjadi ahli grafis mengisi kekurangan tenaga di lapangan pekerjaan. Sebagai pekerja grafis Prinka melihat kelangkaan praktisi desain terdidik di bidang desain grafis. Saat itu yang mengajar barulah beberapa saja, karena muridnya pun di bawah sepuluh orang. Desain Grafis merupakan istilah yang belum populer di Indonesia.

Rapat kerja IKJ 2002. Ki-ka: Priyanto Sunarto, Dolorosa Sinaga, Citradewi, S Prinka, Alim Zaman.

Rapat kerja IKJ 2002. Ki-ka: Priyanto Sunarto, Dolorosa Sinaga, Citradewi, S Prinka, Alim Zaman.

Karena itulah Prinka bergiat sebagai salah satu pendiri IPGI (Ikatan Perancang Grafis Indonesia) pada tahun 1980. Pada awal “masa perjuangan” IPGI berfokus pada memasyarakatkan bidang profesi ini melalui pameran dan workshop desain grafis di berbagai kota di Indonesia. Prinka masa itu banyak menyokong kegiatan IPGI. Melalui kampanye itu dan ditunjang situasi ekonomi yang membaik di Indonesia, akhir tahun delapanpuluhan profesi ini mulai dikenal. Makin banyak orang yang bisa menyebut dirinya “graphic designer”. Hari ini bidang profesi tersebut jadi minat utama calon mahasiswa seni rupa. Sekolah desain grafis merupakan tambang emas pengelolanya.

IPGI tahun 1980. Berdiri di bagian belakang, sebagian dari para pendiri IPGI: Hanny Kardinata, S Prinka, Wagiono Sunarto, Karnadi Mardio, FX Harsono dan Tjahjono Abdi (jongkok). Duduk jongkok di depan Karnadi Mardio adalah Suyadi ‘Pak Raden’.

IPGI tahun 1980. Berdiri di bagian belakang, sebagian dari para pendiri IPGI: Hanny Kardinata, S Prinka, Wagiono Sunarto, Karnadi Mardio, FX Harsono dan Tjahjono Abdi (jongkok). Duduk jongkok di depan Karnadi Mardio adalah Suyadi ‘Pak Raden’.

Dengan makin rumitnya masalah komputererisasi di Tempo, Prinka harus konsentrasi pada tugas di kantornya. Tahun 1989 kegiatan di dunia pendidikan dipercayakan kepada beberapa teman dan alumni IKJ sendiri. Prinka hanya datang sesekali untuk memberi beberapa bahan penting. Baru pada awal tahun sembilanpuluhan Prinka mulai bisa lebih banyak bergiat di sekolah yang didirikannya: mengajar, membimbing tugas akhir, mengawasi jalannya pendidikan. Kurikulum dibenahi lagi untuk menyelaraskan pendidikan dengan kebutuhan tenaga kerja di lapangan. Pada masa akhir hidupnya Prinka mencurahkan perhatiannya pada pendidikan di IKJ.

Umumnya mahasiswa mengenang Prinka sebagai guru yang selalu bisa mengocok pikiran dan sekaligus mendorong penemuan gagasan segar, motivator. Sesuai kebiasannya, orang tak segera dapat menangkap apakah Prinka sedang bercanda atau serius. Prinka sering membuka pertemuan dengan pernyataan yang membingungkan, yang bisa berujung canda yang membuka gagasan baru. Di depan kelas Prinka mengatakan “Jangan percaya sama kata dosen, belum tentu benar”, pernyataan yang membingungkan kelas. Selang sebentar Prinka menyambung “dan jangan membantah dengan argumentasi yang lemah…”

Banyak alumni IKJ yang merasa beruntung karena beberapa kiat yang diberikan Prinka pada masa kuliah. Infografis merupakan salah satu materi yang baru disadari manfaatnya setelah mahasiswa lulus dan terjun di lapangan pekerjaan. Kiat menggali gagasan pun merupakan kiat yang dikenang alumni. Dalam suatu ceramah seorang perancang alumni IKJ menjawab pertanyaan forum tentang caranya mendapat ide yang terbaik. Jawabnya “Saya dulu ingat pesan guru saya Pak Prinka, buat sketsa sebanyak mungkin dengan pikiran segila mungkin. Kalau sudah dapat seratus sketsa barulah pilih mana yang paling cocok”. Kedengaran seperti bercanda, tapi kalau dijalankan menghasilkan gagasan yang bagus.

Sebagai pendidik, Prinka selalu berpikir sederhana memberi solusi pada masalah nyata. Saat umumnya pendidikan tinggi seni rupa menyelenggarakan program sarjana S1, Prinka tetap terobsesi untuk pendidikan yang lebih ke arah profesi. Salah satu cita-citanya yang belum terlaksana adalah menyelenggarakan pendidikan D3 Ilustrasi. Dengan melihat pentingnya tenaga ahli gambar di dunia komunikasi visual, ditunjang banyaknya para ilustrator yang bagus di Jakarta sebagai calon pengajar, sekolah ilustrasi akan menghasilkan alumni bermutu yang tidak takut hidup tanpa embel-embel gelar. Baginya, pengakuan terhadap seorang ahli grafis dilihat gagasan yang ditawarkan melalui karyanya.

Sampai sehari sebelum serangan “stroke” terakhirnya Prinka masih membimbing mahasiswa (selama hampir sepuluh tahun Prinka mengalami berapa kali serangan, dan selalu sehat kembali). Sebelum masuk rumah sakit Prinka minta beberapa mahasiswa ke rumahnya untuk bimbingan skripsi. Bercandanya tetap segar begitu para mahasiswa muncul di depan pintu “Kalian siapa ya? Perasaan pernah kenal”. Suasana demikian selalu menjadi bumbu menyenangkan dalam berhubungan dengan Prinka.

Itu ternyata saat terakhir Prinka membimbing mahasiswa, serangan stroke membuatnya lumpuh dan sulit bicara. Seorang mahasiswa yang mengangkat ilustrasi Prinka untuk skriupsinya terpaksa membuat pertanyaan yang harus dijawab dengan “ya” dan “tidak” karena Prinka sudah sulit bicara. Tapi dalam situasi demikian pikirannya tetap jernih dan bersemangat. Hingga tak seorang pun mengira akhirnya Prinka pulang lebih cepat, menemani Tjahjono Abdi yang pulang lebih dulu.

Quoted

The fate of a designer is not determined by the public system, but by the way he sees his own life

Surianto Rustan