Nilai yang Harus Diperjuangkan Mahasiswa Desain Grafis

Sebuah opini pribadi Rouzell Waworuntu Saad, disunting oleh Ibrahim Soetomo.

 

Kita langsung saja memaknai kembali. Apa benar ada esensi dalam sekolah desain grafis? Bagaimana mahasiswa desain grafis dapat memenuhi hak, kewajiban, tanggungan serta suaranya? Dan apa yang diperjuangkan?

 

Saya membuka esai ini dengan sebuah pandangan dari Fransisco Laranjo, yang saya terjemahkan secara bebas: “Desain grafis kritis adalah istilah yang kabur dan subjektif.” Pandangan ini mempertanyakan makna ‘kritis’ dari istilah ‘desain grafis kritis’ (Critical Graphic Design) yang mulai menjadi tren sejak 2007-an. Bagi Laranjo, istilah ini ambigu, namun ia hadir dimana-mana termasuk sistem pendidikan desain grafis di Eropa. Dengan label ini, desainer grafis seakan menggeser perannya —yang tadinya seorang praktisi desain menjadi seorang peneliti yang harus membedah satu isu dengan ragam pendekatan ilmu dan metodologi with the help of our site. Sehingga, alih-alih seorang desainer grafis dapat berkontribusi di bidangnya sendiri, ia malah menjadi ketergantungan oleh metodologi dari disiplin-disiplin lain, sebut saja social science. Wacana ini mengantarkan saya pada satu pertanyaan: Apa sebenarnya yang kita cari dari sekolah desain grafis?

Dari segi keilmuannya saja, desain grafis masih dipandang sebagai ilmu yang rumit karena ia terpatok pada keahlian-keahlian praktis. Menurut American Institute of Graphic Arts (AIGA), selain kompetensi dasar (pengetahuan seni rupa dan desain, konsep komunikasi visual hingga penggunaan perangkat desain), seorang desainer grafis harus mengelola dua area tambahan, yaitu keahlian domain (mengetahui wacana sektor bisnis tertentu), serta hubungan antar-pihak seperti manajemen tim atau komunikasi dengan klien.

Kompetensi-kompetensi ini benar adanya. Seorang desainer grafis tidak saja harus piawai dalam segi praktis, melainkan juga harus sadar akan posisinya dalam suatu ekosistem industri desain yang lebih besar. Namun, apakah kampus-kampus sudah menerapkan modul akademis yang menyiapkan para praktisinya ke arah ini?

Esai ini tidak bertujuan untuk mengkritik metode maupun kurikulum perkuliahan desain yang entah telah terimplementasikan secara mumpuni. Ya, tapi lagi-lagi, kita harus menelaah rasionalitas pendidikan desain grafis untuk kemudian memaknai esensi ini, salah satunya tentu dengan mengalaminya secara langsung: menjadi mahasiswa desain grafis.

Ini pun bukan persoalan antara ‘apa yang hendak didapat’ dengan ‘apa yang ternyata didapat’ saat bersekolah, tapi lebih pada ‘apa yang dapat dimaknai dan diperjuangkan.’ Setidaknya, sebuah contoh mengenai peran mahasiswa dalam memperjuangkan sebuah nilai dapat kita lihat di 1998, ketika mahasiswa menjadi salah satu faktor pengguling tirani Orde Baru dengan problematika yang sengit. Dari situ kita kembali mengingat bahwa satu diantara banyak potensi mahasiswa ialah memperjuangkan sebuah nilai. Ada sebuah relasi antara subjek dan objek, dimana subjeknya adalah mahasiswa, lalu objeknya adalah nilai-nilai yang diperjuangkan. Di kalangan desain grafis, apakah ‘nilai’ dan ‘perjuangan’ itu?

Saya mengumpulkan data berupa cerita mengenai pandangan empiris teman-teman saya yang sedang maupun telah menamatkan sekolah desainnya. Kemudian, saya menabulasi data-data tersebut ke dalam sebuah tabel agar terlihat polanya. Saya berangkat dari pertanyaan personal: “Menurutmu, bagaimanakah kehidupan mahasiswa desain grafis saat ini?” Nyatanya, pertanyaan ini membuahkan klaster-klaster respons. Namun, dari sekian banyak klaster ada benang merahnya. Mereka setuju bahwa menjadi desainer grafis adalah upaya untuk mencapai suatu statement (seperti halnya fashion). Desain grafis dijadikan sebagai alat cerminan diri. Inilah ‘nilai yang harus diperjuangkan’ itu. Upaya untuk menghasilkan karya dengan kompetensi tinggi mungkin hadir di nomor sekian.

Esensi dari desain grafis ini nyatanya harus berbenturan dengan realita. Saya mengalami dan merangkum beberapa keluh-kesah mengenai perihnya kehidupan mahasiswa desain. Keluh-kesah seperti sulitnya membangun jejaring di lautan industri kreatif; skena desain grafis yang didominasi oleh beberapa pelaku saja; desainer yang tidak paham akan sejarah desain; hingga lainnya, akan terus hadir. Banyak aspek yang ternyata menyelimuti kegelisahan untuk mencapai nilai tersebut, karena ternyata nilai berupa prinsip tidak sebanding dengan perjuangan yang dicari. Kemudian, di banyak kasus, hal ini menjadi kabur ketika desainer grafis justru tidak memahami nilai yang diperjuangkan, seperti halnya barometer harga jasa desain yang acap kali tidak pernah jelas aturannya.

Begitupun dengan stereotipe-stereotipe mahasiswa desain. Kita kerap mendapat label sebagai seorang yang kurang tidur; pitching tak dibayar; revisi berkali-kali, dan seterusnya. Anehnya, label-label ini justru lebih sering disebarluaskan oleh desainernya sendiri, seakan kita bangga mengonfirmasi dan memerkosa diri atas stereotipe negatif itu. Menjadi semakin romantis ketika fenomena ini kemudian terbentuk ke dalam gerakan-gerakan di media sosial dengan perwujudan meme-meme. Saya pikir, fenomena ini kian mengaburkan nilai-nilai atau prinsip-prinsip yang harus diperjuangkan. Jelas ini adalah sebuah logical fallacy yang justru diciptakan oleh praktisinya sendiri.

Terkait data dari PDDIKTI, angka mahasiswa prodi desain komunikasi visual laporan 2017/2018 dari 101 perguruan tinggi mencapai 24.873 mahasiswa. Sedangkan menurut Bekraf, desain grafis menjadi sub-sektor kreatif terkecil yang menyumbangkan 0,06% dari total keseluruhan PDB sektor kreatif (data 2016; belum ada pembaharuan). Persentase yang terbilang sedikit untuk jumlah mahasiswa yang mencapai puluhan ribu. Mengapa ada kejanggalan seperti ini? Saya cukup yakin ini bukan permasalahan literasi-visual semata. Problem ini hadir karena rapuhnya relasi antara institusi pendidikan dan industri desain, serta pandangan pelakunya yang tidak memandang profesi ini secara kritis.

Kita kembali ke Laranjo. Mengacu pada kritiknya, peneliti desain Ramia Mazé menyarankan tiga kemungkinan bentuk kekritisan pada desain grafis, yaitu: sikap kritis terhadap praktik desainer, dimana ada usaha memunculkan pertanyaan reflektif tentang apa dan mengapa ia mendesain; kemudian membangun wacana disiplin dengan mengubah paradigma karya desain; dan terakhir, desainer menangani masalah-masalah mendesak di masyarakat yang ditargetkan pada fenomena sosial dan politik. Pada praktiknya, ketiga bentuk kekritisan ini seringkali tumpang tindih, berpotongan dan saling memengaruhi. Sikap kritis ini yang harusnya dilampaui oleh mahasiswa maupun desainer di generasi berikutnya.

Pada akhirnya, esensi bersekolah desain grafis masih dimaknai oleh dinamika pembelajaran dan produksi pengetahuan berupa produk desain saja. Pemaknaannya masih terlalu mentah dan cenderung ringan. Hal ini juga tidak bisa dititikberatkan pada mahasiswanya, karena mereka justru hadir di bawah sistem yang menyebabkan terhambatnya sistem desain kritis ini.

Satu hal terdekat yang bisa kita lakukan adalah dengan membuka platform kritik produk desain. Jika desain grafis merupakan disiplin yang bertujuan untuk berkontribusi bagi tujuan-tujuan teknologi, sosial dan politik, mari tidak membuatnya sia-sia dengan hanya merancang suatu produk belaka karena desain grafis bukanlah sebuah objek. Saya pikir, itulah nilai yang harus diperjuangkan.

 

Hubungi penulis bila ingin berkomentar, berdiskusi, atau menyanggah opini ini melalui rouzelwawos@gmail.com. Atau mari berdiskusi melalui  https://www.instagram.com/p/B7Sy4SlFjlY/

Quoted

“Seorang desainer harus memiliki keberpihakan pada konteks membangun manusia Indonesia. Peka, tanggap, berwawasan, komunikatif adalah modal menjadikan desainnya sebagai alat perubahan”

Arif 'Ayib' Budiman