Apa gunanya kuping? Banyak. Selain sebagai centelan anting-anting, juga dapat dipakai untuk mendengarkan musik. Namun, kuping juga bisa menjadi simbol terlantarnya seniman andal, kalau itu kupingnya van Gogh.
Karena sewaktu hidup van Gogh butuh duit dan lukisannya tidak laku, dia menjadi gila dan memotong kupingnya sendiri sebelum akhirnya bunuh diri. Tapi sesudah wafatnya, barulah orang sadar akan kejeniusan lukisan-lukisannya. Bahkan, baru-baru ini, sebuah lukisan van Gogh dapat terjual dengan harga lebih dari US$50 juta. Dan lukisan-lukisannya jadi rebutan orang-orang kaya karena dapat menjadi investasi yang amat sangat menguntungkan. Namun, pelukisnya sendiri sudah mati dengan merana dan tak dapat menikmati hasil kesuksesan lukisannya.
Memang, banyak seniman andal yang baru dikenal setelah mereka wafat, karena seniman tersebut seringkali mendahului zamannya. Hal yang serupa terjadi pada Johann Sebastian Bach. Tokoh yang disegani sekarang sempat pula dijauhi masyarakatnya. Penduduk di kota tempat Bach bermukim, memilih untuk tidak datang ke misa dimana Bach bermain orgel. Mungkin hal ini disebabkan oleh budaya “nunut” selera kebanyakan orang, sehingga para kuping menjadi malas dan enggan menerima sesuatu yang baru.
Nah, belum lama ini beberapa kuping dipasang baik-baik. Bukan untuk dipenggal, tapi untuk menyeleksi musik. Penyeleksian ini dinamakan Anugerah Musik Indonesia (AMI). Penghargaan ini diberikan kepada musisi-musisi berkualitas tinggi, bukan yang paling komersial. Itu katanya. Hal ini, untuk meningkatkan mutu musik di Indonesia dan semangat para musisi. Sekali lagi: itu katanya.
Namun, penerima penghargaan tersebut rata-rata adalah pemusik kondang yang telah banyak nampang di media masa dan bahkan sering dipakai untuk bintang iklan. Siapa yang tidak kenal Krisdayanti, ataupun Agnes Monica? Tanpa embel-embel penghargaan-pun nama-nama ini sudah populer, seperti kacang goreng. Kacang goreng yang amat sangat jauh lebih mahal, maksud saya.
Dan rata-rata kedudukan mereka sudah cukup mapan sebagai selebriti yang berduit. Memberi penghargaan kepada mereka mungkin seperti menambah segelas air dalam lautan. Dengan kata lain, hal ini tidak akan berpengaruh banyak pada mutu dan percaturan musik di Indonesia. Tanpa penghargaan-pun kepopuleran dan kelarisan mereka sudah merupakan imbalan tersendiri. Mengapa mereka harus mendapat imbalan lagi?
Memang, memberi penghargaan kepada orang-orang seperti ini lebih mudah. Karena mereka sudah “ngetop”, jadi panitia tidak perlu repot-repot meneliti dan menentang ridha masyarakat. Lalu, bagaimana nasib para komponis alternatif, yang musiknya diproduksi berdasarkan keyakinan mereka, bukan untuk melayani selera pasar supaya laris?
Rupanya, mereka masih harus bernapas “Senin-Kemis”. Komponis Slamet Abdul Sjukur, misalnya. Dia harus menjadi komponis asongan yang mencari nafkah dengan berpindah-pindah. Karya-karyanya yang dahsyat dan banyak dipuji kritikus Perancis, Jerman, Belanda, Swiss dan Jepang ternyata tidak begitu digubris di negeri sendiri.
Ada juga Michael Asmara. Seperti Slamet, dana bagi komponis ini masih alot. Namanya tenggelam di antara jagoan-jagoan pilihan AMI. Kedua komponis yang tetap bertahan dari godaan budaya “asal ngetop dan laris” ini harus merana. Kuping para juri ternyata belum cukup tajam untuk menghargai para seniman seperti itu.
Badan-badan yang memberi penghargaan musik di Indonesia lebih memilih seniman yang terlihat seksi di permukaan walaupun dalamnya mungkin keropos. Rupanya, untuk berhasil meraih penghargaan seperti ini, orang harus “ngetop” dulu, perkara mutu yang sesungguhnya adalah urusan lain.
Untungnya, masih ada wadah yang menampung seniman alternatif seperti AKI (Asosiasi Komponis Indonesia). AKI mungkin satu-satunya organisasi di Indonesia yang menghimpun musisi seperti Ben Pasaribu, Otto Sidharta, Toni Prabowo (yang sudah mendapat hadiah tinggal di New York untuk menyelesaikan sebuah opera yang liriknya digarap oleh Goenawan Mohamad), dan lain-lain. Beranggotakan 221 komponis dari Padang Panjang sampai Palu, AKI harus bekerja keras, kalau perlu sedikit megap-megap. Tak jarang untuk menghidupi organisasi tersebut, para anggotanya harus merogoh kocek sendiri yang sudah amat tipis.
Lalu, dari mereka ini, lahirlah berita berkala “SVARA” yang terbit 4 kali setahun. Majalah ini harus mengemis kesana-sini demi kelangsungan hidupnya.
Musisi-musisi lain yang tampaknya diterlantarkan juga adalah musisi tradisional. Pada Festival Gamelan di Yogyakarta pada bulan Juli 2012 yang lalu, terdapat seniman tradisional yang memukau tapi tak punya nama. Diantara mereka terdapat vokalis yang amat memukau, Muriah Budiarti, yang namanya tentu saja tidak sepopuler Dewi Persik ataupun Iis Dahlia.
Juga terdapat seorang pemain suling dari Sumatera Utara yang mampu memainkan nada halus dengan indahnya selama satu jam lebih tanpa putus. Tehnik bermain suling yang dikenal sebagai “pernapasan melingkar” ini, yaitu meniup suling sambil menarik napas dari hidung, adalah jurus yang cukup lihai. Tidak mudah menemukan pemain yang betul-betul mampu melakukannya.
Andaikan saja tokoh-tokoh yang berwewenang memberi penghargaan musik tersebut lebih jeli, tentu musisi-musisi yang membanggakan seperti ini tidak akan terlewatkan ataupun terlantar begitu saja. Yang mungkin bisa saya lakukan saat ini adalah berharap: Semoga saja, kuping para komponis ini tidak akan senasib dengan kuping Van Gogh.
Soe Tjen Marching
Komponis
Staff pengajar di SOAS, University of London
“Cheating the system is very gratifying”