Pendahuluan
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Farida Hatta Swasono menghimbau agar masyarakat menjadikan iklan rokok sebagai musuh bersama, karena berdampak pada kesehatan dan menyebabkan kematian. Tidak hanya itu, iklan rokok juga meningkatkan prevalensi perokok usia dini dan ini mengancam sumber daya manusia Indonesia pada masa mendatang.
“Kita tidak boleh toleran terhadap sponsorship industri rokok. Kita harus menyadarkan masyarakat dan mengubah pola pikir, bahwa merokok adalah proses pemiskinan. Jangan populerkan lagi pandangan agama bahwa merokok itu makruh, karena mudaratnya lebih banyak daripada manfaat,” kata Meutia ketika membuka workshop Perlindungan Anak dari Dampak Iklan, Promosi, dan Sponsor Rokok yang diadakan Komisi Nasional Perlindungan Anak (KNPA), Senin (28/1/2008) di Jakarta.
Menurut Meutia, seperti dikutip harian Kompas (29/1/2008), Indonesia berada di urutan ke-5 di antara negara-negara dengan konsumsi tembakau tertinggi di dunia. Jumlah perokok aktif dewasa di Indonesia 34,4 persen dari total penduduk 234 juta jiwa. Perokok pada kelompok anak berumur 13-15 tahun pada tahun 2007 mencapai 24,5 persen. Menurut dia, besarnya angka merokok ini diperparah dengan kecenderungan meningkatnya prevalensi perokok pemula di usia 5-9 tahun dari 0,4 persen (2001) menjadi 1,8 persen (2004).
Kontroversi Efek Iklan
Sebenarnya, kontroversi sekitar persoalan efek iklan kian flamboyan sejak diproklamirkannya hasil penelitian ‘’Pengaruh Iklan TV Swasta terhadap Pola Konsumsi Anak’’ oleh LP2K Semarang (Kompas, 10 Februari 1995). Sehari kemudian, harian Kompas (11 Februari 1995) menayangkan opini bertajuk ‘’Cara Penayangan Iklan yang Etis’’. Benang kusut seputar dampak iklan pada masyarakat dan kebudayaan, didasarkan pada kenyataan bahwa iklan memiliki pengaruh pada perilaku individu, sosial bahkan kesenjangan sosial. Kekhawatiran umum terutama bersendi pada pendapat bahwa motivasi memperoleh keuntungan merupakan motif utama dari aktivitas periklanan yang dengan sendirinya akan menyebabkan manipulasi-manipulasi informasi dan menimbulkan kultur konsumtif.
Selain itu, tampilan iklan tidak sekadar berupaya menarik perhatian masyarakat untuk menonton. Yang lebih penting, menggiring mereka untuk memiliki produk-produk yang ditawarkan. Iklan tidak menghimbau calon konsumen, tetapi konsumen diposisikan sebagai massa.
Terlepas pro dan kontra dari fenomena tersebut, yang pasti, para psikolog sosial dan peneliti komunikasi massa sudah lama mengetahui bahwa secara kejiwaan iklan dapat memotivasi perilaku dan mengubah apa yang sebelumnya hanya sekadar keinginan (wants) menjadi kebutuhan (needs). Bahkan lebih jauh lagi, iklan dapat menciptakan keinginan-keinginan baru dengan terus menerus mengarahkan hirarki kebutuhan konsumen. Kenyataan semacam itu dipertegas lagi lewat kritiknya Guy Debord yang dikemas dalam Society of the Spectacle. Menurut pemikir Perancis seperti disitir Yasraf Amir Piliang (1998:300) mengatakan, iklan, televisi, media cetak dan pameran dagang, kini tidak lagi sekadar wacana untuk mengkomunikasikan produk dan trend baru. Tetapi lebih berkembang menjadi sebentuk tontonan massa. Maka, wacana produksi dan konsumsi di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Bandung, adalah sebuah teater konsumerisme. Dengan mal sebagai panggung katedralnya, iklan sebagai media komunikasinya, konsumen sebagai aktornya dan gaya hidup sebagai temanya.
Pada gilirannya, perang melawan iklan pun meletus. Masing-masing kubu berseteru untuk mempertahankan kepentingannya sendiri. Lalu para pemasang iklan dituduh sebagai creator of dissatisfaction. Karena iklan yang dirancang membentuk unreal picture terhadap kehidupan sehari-hari. Tetapi menurut Tika Bisono seperti dikutip harian Media Indonesia (18 April 1994), pihak pengiklan berkilah perihal tuduhan tersebut. Mereka (pengiklan) berkeyakinan bahwa nilai-nilai seperti materialistis, individualistis, dan konsumtif bukanlah hasil dari pengaruh iklan. Melainkan sederet nilai yang menyatu dengan konsumen. Atas dasar itulah menurut para pengiklan, iklan harus dibuat dan disajikan pada audience.
Pertanyaannya kemudian, haruskah iklan dilenyapkan? Jika melihat prosentase secara acak antara yang pro dan kontra terhadap keberadaan iklan, maka jawaban emosionalnya, iklan harus dilenyapkan di muka bumi ini! Sebab dosa sosial iklan sudah tidak bisa dimaafkan lagi. Tetapi jika kita kaji lebih dalam carut marut perihal periklanan tersebut, kita bisa melakukan negoisasi sekaligus introspeksi antarpara pihak. Mengapa demikian, karena pada dasarnya, iklan apabila diamati secara sadar dari kaca mata konsumen, sebenarnya berupa informasi belaka. Informasi yang menyampaikan gagasan visual, audio maupun audio visual bahwa produk yang ditawarkan itu representatif dan cocok bagi konsumen dengan status ekonomi sosial (SES) A, B, C ataupun D. Atau produk X itu selaras dengan konsumen berselera muda, aktif dan dinamis. Cocok untuk ibu rumah tangga, eksekutif, pria dan perempuan. Atau barang dengan merek Y pas untuk konsumen secara heterogen, dikemas secara praktis dan sederhana sehingga memudahkan pemakaiannya, dan sebagainya, dan seterusnya. Dengan demikian, konsumen dihadapkan pada berbagai kemudahan dan alternatif pilihan melalui iklan yang saling berperan merebut simpati calon pembelinya.
Masalahnya kemudian, bagaimanakah sikap dan perangai konsumen dalam menanggapi iklan tersebut. Apakah ia akan membeli setiap barang yang ditawarkan tanpa dipertimbangkan lebih dulu. Ataukah ia akan menimbang-nimbang apakah produk yang dibelinya itu benar-benar bertolak dari real need (kebutuhan karena memang dibutuhkan) ataukah hanya sekadar felt need (kebutuhan yang ditimbulkan sebagai akibat ‘’hasutan’’ sebuah iklan). Apabila perilaku konsumen lebih cenderung bertolak pada felt need dalam membeli suatu produk yang ditawarkan ketimbang bertolak dari real need, maka bisa dikatakan, iklan menggalakkan konsumerisme. Karena menjerumuskan konsumen untuk membeli produk yang sesungguhnya lebih indah ‘nama’ (merek) daripada ‘rupa’. Analoginya, konsumen lebih banyak mengkonsumsi barang-barang yang sebetulnya tidak (kurang) diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.
Sebenarnya, penyataan semacam itu masih bersifat sepihak. Pasalnya, iklan bukanlah variabel tunggal dalam kasus ini. Harga diri, gengsi, status sosial, ekonomi, jor-joran (persaingan antarteman) atau mungkin tinggi rendahnya pendidikan, merupakan sederet variabel yang sebaiknya diperhitungkan apakah iklan benar-benar mempengaruhi pola hidup konsumtif. Berdasarkan fenomena di atas, jawaban paling arif untuk dikemukakan: seyogianya, iklan tidak dilenyapkan! Melainkan iklan harus diperbaharui. Artinya, menghilangkan kecurigaan terhadap iklan tentu saja tidak dapat dilakukan dengan pemberian janji-janji oleh mereka yang terlibat dalam proses beriklan dan kemudian organisasi-organisasi konsumen serta merta menganjurkan konsumen untuk mulai percaya (lagi) pada iklan.
Terkait dengan itu, menurut paparan Zumrotin K. Susilo seperti dikutip harian Media Indonesia (28 Juni 1997), kecurigaan itu hanya dapat hilang bila pengusaha pemasang iklan, biro iklan, dan media massa secara konkrit dan terpadu mengubah perilaku. Sikap bertanggung jawab pada setiap tayangan iklan menunjukkan bukti apa yang mereka janjikan pada iklan. Dan sudah selayaknyalah upaya mengubah sikap harus dimulai oleh semua praktisi periklanan bila ingin mengangkat citra dunia periklanan Indonesia.
Periklanan Fenomena Bisnis Modern
Periklanan adalah fenomena bisnis modern. Tidak ada perusahaan yang ingin maju dan memenangkan kompetisi bisnis tanpa mengandalkan iklan. Demikian pentingnya peran iklan dalam bisnis modern sehingga salah satu parameter bonafiditas perusahaan terletak pada berapa dana yang dialokasikan untuk iklan tersebut. Di samping itu, iklan merupakan jendela kamar dari sebuah perusahaan, keberadaannya menghubungkan produsen dengan masyarakat, khususnya konsumen.
Periklanan selain merupakan kegiatan pemasaran juga merupakan kegiatan komunikasi. Dari segi komunikasi, rekayasa unsur pesan sangat tergantung dari siapa khalayak sasaran yang dituju, dan melalui media apa iklan tersebut sebaiknya disampaikan. Karena itu, untuk membuat komunikasi menjadi efektif, kita harus memahami betul khalayak sasaran, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Pemahaman secara kuantitatif akan menjamin bahwa jumlah pembeli dan frekuensi pembelian yang diperoleh, akan sejalan dengan target penjualan yang telah ditetapkan. Sedangkan pemahaman secara kualitatif akan menjamin bahwa pesan iklan yang kita sampaikan akan sejalan dengan tujuan pemasaran yang telah ditetapkan bersama.
Iklan sebagai salah satu perwujudan kebudayaan massa tidak hanya bertujuan menawarkan dan mempengaruhi calon konsumen untuk membeli barang atau jasa, tetapi juga turut mendedahkan nilai tertentu yang secara terpendam terdapat di dalamnya. Oleh karena itulah, iklan yang sehari-hari kita temukan di berbagai media massa cetak dan elektronik dapat dikatakan bersifat simbolik. Artinya, iklan dapat menjadi simbol sejauh imaji yang ditampilkannya membentuk dan merefleksikan nilai hakiki.
Periklanan merupakan suatu usaha untuk mempengaruhi kelompok atau masyarakat terhadap suatu produk dengan menonjolkan kelebihannya untuk proyeksi jangka panjang. Artinya, bila produsen mengiklankan produk tertentu, misalnya obat flu, maka diperlukan waktu yang cukup lama untuk meyakinkan konsumen bahwa produk tersebut memang baik. Bila produk sudah dikenal maka diperlukan suatu masa atau periode tertentu untuk menjaga kepercayaan itu agar tetap unggul dibandingkan dengan produk lain yang sejenis. Oleh karenanya, hasil yang dipetik oleh produsen tidak langsung dapat dinikmati dengan seketika, tetapi memerlukan tempo waktu tertentu.
Karena itulah, maka produsen tidak bisa menuntut banyak dari iklan. Masyarakat pun tidak boleh menuduh secara membabi buta. Iklan hanya sekadar alat untuk memberikan informasi, melakukan persuasi atau menstimuli orang agar bertindak. Terjadinya pembelian oleh konsumen masih ditentukan oleh faktor-faktor lain. Di antaranya: mutu produk, harga, kemampuan daya beli sasaran, persaingan, bahkan situasi politik, akan menentukan terjadinya kontak penjualan produk.
Terlepas dari itu, atas nama target waktu, maka rancangan iklan selalu menggunakan teknik tertentu untuk mencapai tujuannya. Di antaranya, pertama, penjualan suatu ide yang merupakan garansi andalan terkait dengan masa berlakunya suatu barang atau jasa untuk jangka waktu panjang. Kedua, penyebaran ide perihal keuntungan pihak komunikan bila menerima ide sebagaimana dianjurkan oleh komunikator, berupa penggunaan barang atau jasa yang disarankan, serta kenikmatan yang diperoleh dari penggunaan barang atau jasa itu sendiri.
Karena itulah, bertitik tolak dari penjualan suatu ide, maka karakter dari produk yang hendak dijual harus benar-benar ditemukenali oleh perancang iklan. Selain itu, kelompok sasaran yang hendak dibidik seyogianya jelas latar belakangnya, baik dari segi usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, budaya pendukung maupun tingkat sosial ekonomi yang melingkupinya.
Beda Persepsi Bakar Polemik
Sialnya sering terjadi – meski pun sudah direncanakan dan dipersiapkan secara matang – kenyataannya pesan yang dikirim tetap tidak atau belum bisa dicerna oleh penerima secara mutlak ketepatannya.
Repotnya lagi, manakala pesan yang dikirim itu menyangkut suatu produk yang ditujukan kepada publik, maka perbedaan persepsi tadi mempunyai potensi membakar polemik. Kecelakaan semacam itu baru-baru ini menimpa produk produk mobil merek Suzuki Swift (Kompas, November 2005). Iklan tersebut mendapat rekasi keras dari Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan karena secara visual. Pasalnya, iklan Suzuki Swift menampilkan kaki perempuan secara seronok dan vulgar. Pihak Kementerian Pemberdayaan Perempuan menilai, antara kaki perempuan dan mobil tersebut tidak ada kaitannya sama sekali.
Hal yang sama menyeret iklan televisi produk otomotif merek Kijang Innova yang ditayangkan di berbagai televisi swasta Mei 2005 dianggap melanggar karena menggunakan model anak-anak. Dosa dari iklan ini disebabkan oleh penampilan pemeran anak-anak tanpa didampingi oleh orang tua. Padahal produk tersebut bukan untuk konsumsi anak-anak.
Iklan televisi produk multivitamin merek Protecal yang ditayangkan di berbagai televisi swasta ini dinilai oleh parapihak melanggar tata susila, adat istiadat dan budaya bangsa karena menampilkan adegan kaki pemeran perempuan diletakkan di bagian kepala pemeran pria. Adegan tersebut bertentangan dengan adat istiadat bangsa Indonesia yang menganggap tabu jika posisi kaki diletakkan di daerah kepala orang lain.
Kecelakaan yang sama menimpa produsen rokok A Mild. Seperti ditulis Media Indonesia Minggu dalam Rubrik Komunikasi Bisnis (23 Desember 2001), kini, iklan rokok A Mild dengan versi kartun binatang tinggal kenangan. Orang tidak bisa lagi menikmati tayangan animasi yang melukiskan sekelompok binatang, mulai kerbau hingga burung, harus susah payah berjalan dan menari menyamping meniru gerakan seekor kepiting merah.
Iklan yang tergolong sukses dan digemari pemirsa televisi itu, diluncurkan Oktober 2001. Tidak lama kemudian, datang protes dari kalangan psikolog sampai anggota DPR. Mereka menilai, iklan rokok dengan menggunakan animasi atau kartun dapat secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi anak-anak. Bahkan ada yang mendesak untuk segera melakukan pencabutan izin penayangan iklan rokok tadi karena menyesatkan dan bisa menarik anak untuk merokok sejak dini.
Terlepas dari pro dan kontra keberadaan iklan tersebut, ternyata proses kreatif pembuatan iklan A Mild tidaklah mudah. Seperti dituturkan Teguh Handoko selaku Senior Account Director Ogilvy & Mather Advertising yang memproduksi iklan A Mild, proses pembuatan berjalan sejak enam bulan. A Mild mulai dengan memberi brief untuk mengomunikasikan karakter merek kepada konsumen sasaran yang berusia 20-25 tahun, dinamis, memiliki sense of humour tinggi dan menjadi panutan di kelompoknya. “Di sini kami ingin membuat parodi yang eksekusinya paling tepat memakai kartun. Kartun juga paling bisa mengimplementasikan konsep kreatif kami,” ujar Teguh.
Menurut Teguh, awal pemikiran ide kreatif berasal dari kesimpulan hasil riset A Mild bahwa konsumennya senantiasa menjadi ‘pemimpin’ di kelompok karena kreativitas dan karakternya yang menonjol. Tapi tidak semua pengikutnya berhasil mengikuti dengan benar.
Ditambah lagi fakta, kata Teguh, belakangan ini banyak orang dewasa sedang keranjingan dansa Poco-Poco. Dansa ini kemudian diparodikan menjadi animasi “Side Walking Dance” kepiting merah yang diikuti binatang lain tapi tidak sukses mengikutinya.
Soal alasan animasi yang dipilih, menurut Lita P Soenardi sebagai Vice President Ogilvy Public Relations Worldwide, sebenarnya A Mild memang selalu memakai animasi sejak dulu. “Mungkin yang kali ini lebih fun dan berwarna implementasinya,” katanya.
Sebelum itu, terjadi pula protes keras yang dilakukan masyarakat ketika pemerintah sedang gencar-gencarnya menayangkan iklan layanan masyarakat (ILM) di televisi tentang pentingnya pencabutan/pengurangan subsidi BBM atau tarif listrik. Iklan ini menurut versi pemerintah mengandung misi utama: rakyat harus menerima rencana pencabutan/pengurangan subsidi tarif listrik atau subsidi BBM, karena subsidi itu tidak tepat sasaran. Juga, subsidi yang dicabut itu, kata iklan tersebut, akan dialihkan untuk memberi subsidi ke sektor lainnya, seperti pendidikan dan kesehatan. Dan dalam konteks ini, Pelawak-pelawak terkenal – yang konon direpresentasikan sebagai rakyat – dikerahkan untuk memuluskan misi iklan itu.
Pertanyaannya, muluskah tayangan iklan tersebut? Ternyata tidak. Kerikil tajam dan jalanan berliku menghadang perjalanan ILM tersebut. Hal ini terlihat, setidaknya dari berbagai opini pembaca Koran Tempo. Adian Husaini (Sekjan KISDI) mempertanyakan iklan tersebut lewat tulisannya berjudul Iklan “Pencabutan Subsidi” Menipu Rakyat? (29 Desember 2001). Sementara itu, Shinta Laksmi ikut tergerak untuk menuliskan opini pembaca berjuluk ‘’Iklan Kenaikan BBM Menyesatkan’’ (7 Januari 2002).
Para penulis opini pembaca tersebut mempermasalahkan dua hal yang menyebabkan ILM BBM produksi Pertamina tersebut dinilai menyesatkan, pertama, saat Bolot membandingkan harga air kemasan yang lebih mahal ketimbang BBM. Air kemasan dan BBM adalah dua hal yang berbeda. Air kemasan memang berasal dari sebuah industri yang bebas menentukan harga. Aqua, misalnya, bisa menghargai satu kemasan gelasnya Rp 1.500, sementara Evian harga satu botolnya sekitar Rp 10 ribu. Kalau BBM? BBM adalah sebuah hasil produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Masyarakat Indonesia bisa saja tidak membeli air kemasan, tapi harus tetap membeli BBM.
Kedua, saat perempuan, yang mempresentasi TKI, mengatakan, “Di Singapura, tempat saya bekerja, harga solar lebih mahal Rp 3.000″ Hal itu menjadi wajar karena Singapura bukan negara penghasil minyak. Sementara itu, Indonesia adalah salah satu penghasil minyak terbesar di dunia. Sudah seharusnya dan sangat wajar bila harga solar di Indonesia jauh lebih murah. ’’Saya tahu, Pertamina harus menjaga citranya sebagai perusahaan negara yang memikirkan dengan sungguh-sungguh alasan kenaikan harga. Tapi, tolong, jangan membuat iklan apologi yang memberi logika kacau pada masyarakat’’, tandas Shinta Laksmi.
Hal senada juga ditulis Baridul Islam Pr (Republika online, 11 Jnuari 2002). Dalam catatannya berjudul ‘’Marginalisasi Publik Dalam Iklan Pengurangan Subsidi’’ Baridul Islam menyoroti perihal Tarif Dasar Listrik (TDL). Dalam iklan tersebut digambarkan terjadi hiruk-pikuk seputar kenaikan TDL dan hiruk pikuk itu ”terpotong” sebab serta merta ada penjelasan bahwa posisi publik memang harus mengalah terhadap kenyataan. Dalam iklan tersebut nampak jelas bahwa publik kembali harus menjadi obyek yang disalahkan, publik dianggap bahwa selama ini telah melakukan pemborosan dan karenanya perlu untuk menghemat listrik. Benarkah demikian? Bukankah PLN-lah yang dulu sering tidak berhemat dengan kasus mark up mereka?
Jauh sebelumnya, kecelakaan yang sama terjadi pada rokok Bentoel Mild yang mengeksekusi visualisasi iklan tayangan televisi dengan menampilkan pria bercelana dalam yang dibentuk dari gumpalan busa sabun mandi. Iklan semacam itu divonis sebagai iklan berkonotasi cabul. Dampaknya sejumlah masyarakat merasa risih melihat tayangan iklan tersebut.
Yang mendapat protes dari masyarakat bukan hanya iklan Bentoel Mild saja, tetapi masih ada beberapa iklan lainnya. Menurut catatan Media Ramah Lingkungan (Marka) seperti dikutip Media Indonesia (24 April 2000), masih ada beberapa iklan yang dianjurkan untuk diperbaiki, direvisi, atau tidak ditayangkan lagi.
Iklan-iklan tersebut antara lain, iklan Hers Protex Higienis yang menampilkan sosok perempuan public figure berpakaian ketat dengan rok berpotongan dada rendah, sehingga diasumsikan mengganggu nilai susila. Iklan kondom sutera dan kondom Artika, karena dianggap menyodorkan tampilan visual yang menjerumuskan orang untuk berfantasi seks. Iklan kartu Simpati versi mengintip tetangga dan iklan minuman instant Finto yang menggambarkan seorang ayah bohong kepada sang ibu di depan anaknya. Iklan biskuit Hollanda yang memvisualkan anak perempuan dengan gaya centilnya menunjukkan pipinya untuk dicium, sebagai syarat jika ingin mendapatkan biskuit merek tersebut.
Sebelumnya deretan dosa iklan kontroversial juga telah dicatat oleh masyarakat. Jika kita buka catatannya, tertulis iklan produk televisi merek Soundmax yang salah satu copytextnya dinilai melecehkan musik keroncong. Kita tentu ingat kasus sabun deterjen seri anak nakal. Tayangan iklan itu menimbulkan kontroversi karena menampilkan seorang bocah yang ekstra nakal, sehingga dianggap berlebihan. Iklan AMPS Komselindo dan iklan layanan masyarakat bertema rok mini yang mendapat kritikan keras dari kelompok perempuan dan menimbulkan polemik karena terlalu dianggap seksis.
Kasus yang lain terjadi pada iklan radio panggil yang dianggap melecehkan budaya Bali, khususnya wanita Bali. Visualisasinya seorang model penari Bali. Ketika ia sedang menari, tiba-tiba suara radio panggil berbunyi dan secara otomatis sang penari menghentikan gerakan gemulainya. Pesan yang tertulis di radio panggil itu berbunyi: ‘’Sampai ketemu di diskotek, Daniel’’.
Contoh kasus iklan kontroversial ini membuktikan bahwa masyarakat semakin kritis dan sensitif. Sampai-sampai sebuah tajuk rencana yang ditulis harian Bernas edisi 11 September 2000 menyorot secara khusus perihal iklan berbau porno. Tulisan itu sebenarnya berawal dari pernyataan Menteri Pendidikan Nasional yang merasa prihatin melihat perkembangan tayangan film iklan di televisi swasta yang dinilainya tidak etis.
Penyataan senada datang dari Drs H Mursidin, yang menghendaki agar iklan-iklan yang berbau porno sudah selayaknya dan secepatnya ditertibkan. Menurut tokoh agama dari Sulawesi Tenggara ini, tayangan iklan di televisi akhir-akhir ini sering menampilkan gambar yang berperilaku kurang relevan, baik dari segi agama maupun budaya timur yang merupakan ciri khas masyarakat Indonesia. Ia kemudian menunjukkan bukti tayangan iklan produk permen dan sabun mandi. Bagi Mursidin, kedua iklan tersebut tampak sekali mengambarkan pornografi. Dan sayangnya perusahaan media massa dan produsen barang yang mengiklankan produknya sepertinya tidak mempunyai beban ketika memproduksi dan menayangkan iklan tersebut. Mereka hanya mengutamakan kepentingan bisnis semata tanpa mempertimbangkan kepentingan moral.
Melihat reaksi keras masyarakat terhadap keberadaan iklan kontroversial semacam itu menunjukkan bahwa mereka tidak mau bagian dari kehidupannya diganggu oleh hal-hal yang tidak sesuai dengan sikap hidup dan tata nilai yang dianutnya. Dalam alam reformasi seperti sekarang ini masyarakat tanpa basa basi dan secara terbuka menuntut iklan tersebut dihentikan penayangannya.
Pengalaman semacam itu menunjukkan kepada kita bahwa menciptakan iklan harus benar-benar mempertimbangkan berbagai unsur termasuk di antaranya etika dan budaya.
Iklan Bebas Nilai
Kritisnya masyarakat dalam menyorot iklan kontroversial menimbulkan persepsi dan konotasi negatif kepada parapihak bahwa periklanan ‘selalu’ tidak jujur, kurang peka terhadap kondisi sosial budaya masyarakat, serta cita rasa yang tidak serasi dengan masyarakat heterogen. Tetapi benarkah demikian?
Jaya Suprana dalam sebuah seminar periklanan membantah pendapat salah kaprah semacam itu. Dalam perspektif pakar kelirumologi ini sebenarnya tidak ada iklan yang an sich menipu. Pada dasarnya iklan sama sekali bebas nilai. Iklan sekadar suatu bentuk sarana perlengkapan metode pemasaran yang siap dimanfaatkan oleh manusia. Ia menganalogikan sebilah pisau yang merupakan alat perlengkapan dapur yang bebas nilai. Pisau bernilai positif jika digunakan untuk tujuan positif oleh penggunanya. Sebaliknya, pisau tersebut bisa berubah berdampak negatif, destruktif bahkan membinasakan manakala digunakan untuk tujuan buruk oleh penggunanya. Atau dapat pula bernilai buruk akibat sang pengguna belum mampu menggunakan pisau secara tepat dan benar, secara produktif profesional.
Maka sebenarnya tidak ada iklan yang berdosa, apalagi menipu. Yang ada sekadar pengguna iklan yang sengaja atau tidak sengaja menipu, karena memang ingin menipu atau sekadar belum mampu menggunakan iklan secara tepat dan benar, secara jitu tanpa menipu (Suprana, 2001:3).
Jika fenomena semacam itu kita kembalikan pada prosesi komunikasi, mestinya tidak boleh ada kesenjangan komunikasi. Ketika ada kesenjangan komunikasi atau pun sekadar gejala adanya jurang komunikasi, hal itu sudah merupakan suatu tanda bahwa iklan meleset dari sasaran bidiknya dan tidak akan menghasilkan dampak positif seperti yang diharapkan. Padahal ketika mengingat fitrahnya, keberadaan iklan diabdikan untuk masyarakat luas. Maksud dan tujuan diluncurkannya iklan adalah untuk menggerakkan masyarakat luas agar bereaksi positif terhadap pesan yang dikomunikasikan dalam iklan tersebut.
Masalahnya kemudian, siapa yang harus bertanggung jawab saat munculnya kecelakaan iklan kontroversial di hadapan khalayak? Siapa pula yang harus bertanggung jawab ketika ditemukan iklan yang tampilan pesan verbal maupun visualnya tidak etis, vulgar, melanggar norma kesopanan, bahkan menipu konsumen? Siapakah gerangan yang patut dipersalahkan? Apakah biro iklan yang membuat pesan verbal mupun visual, media massa cetak dan elektronik yang menayangkan iklan tersebut, produsen yang memiliki produk atau harus ditanggung renteng oleh ketiga komponen komunikasi bisnis tersebut. Sesuai dengan kodrat manusia yang tidak mau dengan serta merta disalahkan – meski pun jelas terbukti kesalahannya – maka manusia selalu berkilah dengan sejumlah alibi dan argumentasi. Hal demikian juga berlaku pada dosa iklan yang akhir-akhir ini sering dihujat oleh parapihak. Berdasarkan itu, maka jawaban legal formal masalah tanggung jawab dosa iklan sampai sekarang masih menjadi perdebatan seru di antara parapihak terkait. Sungguh pun demikian, Ken T Sudarto, seperti dikutip Cakram (Juni l999) menandaskan, tanggung jawab terhadap kasus iklan yang vulgar, tidak etis, melanggar norma kesopanan, selain dibebankan kepada agen komunikasi bisnis, pemerintah dan lembaga konsumen secara institusional harus ikut menanggung dosa kolektif itu. Sebab dasar pemikirannya, ketika ada iklan yang vulgar dan melanggar etika itu berhasil lolos di hadapan khalayak luas, maka kesalahan tersebut harus dipikul oleh produsen yang membuat produk, biro iklan yang mengiklankan, media yang memasang iklan, pemerintah dan lembaga konsumen yang membiarkan iklan tersebut berenang renang di ruang pandang dengar masyarakat luas.
Terkait dengan itu, Baty Subakti seperti dikutip Media Indonesia 18 Desember l997 menilai, industri periklanan melibatkan beberapa pihak. Di antaranya pengiklan, biro iklan, media, dan khalayak atau masyarakat. Selama ini, jika ada pelanggaran terhadap iklan seolah-olah biro iklan atau PPPI yang dipersalahkan. Padahal menurut Baty, pelanggaran iklan bisa disebabkan oleh kesalahan persepsi dari pengiklan. Barangkali ada beberapa informasi yang dibaurkan, sehingga biro iklan juga memperoleh persepsi yang salah. Jika persepsinya salah, dapat melahirkan produk kreatif yang keliru. Tetapi saya pikir, itulah risiko pemahaman terhadap sebuah persepsi yang hanya membidik satu sisi saja. Apalagi ketika referensi dan konteks dari sebuah pesan iklan tidak berada pada jalurnya, maka keinginan baik dari komunikator ataupun perancang iklan bisa jadi justru menjadi bumerang yang berakibat runyam.
Terlepas dari masalah tanggung jawab bersama atas kasus iklan menyimpang, yang penting bagi saya, produsen sebagai pengiklan harus jujur mengkomunikasikan kondisi produk atau jasa yang akan dijual dengan untaian kalimat bijak berbunyi: “katakan yang sebenarnya”. Dogma semacam itu harus menjadi pedoman hidup bagi produsen. Sebab bagaimana jadinya jikalau produk baru yang akan disosialisasikan ternyata di belakang hari terbukti memiliki kualitas tidak baik tetapi diiklankan seolah-olah mempunyai mutu yang unggul. Maka yang terjadi, iklan dituduh menipu, bohong, merekayasa pesan dan segepok tuduhan negatif lainnya yang pada intinya menurunkan kredibilitas iklan yang sampai sekarang masih diyakini mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan perekonomian.
Sukses Pemasaran dan Dampak Sosial Budaya
Komunikasi visual sebagai suatu sistem pemenuhan kebutuhan manusia di bidang informasi visual melalui lambang kasat mata, dewasa ini mengalami perkembangan pesat. Hampir di segala sektor kegiatan simbol-simbol visual hadir dalam bentuk gambar, sistem tanda, iklan, sampai display di pusat pertokoan dengan aneka daya tarik.
Hanya saja dalam perkembangan lebih lanjut, dampak komunikasi visual atau efek samping dari keberadaan iklan selalu muncul dari dua sisi, yakni sukses pemasaran serta dampak sosial budaya. Sayangnya, iklan seperti yang telah dikritisi oleh sebagian masyarakat, sering mengabaikan atau tidak mempertimbangkan dampak sosial budaya. Para praktisi periklanan dan produsen lebih mementingkan tugas iklan yang semata-mata diposisikan untuk mendukung pemasaran.
Tetapi jika kita mencoba memahami pola pikir dan kesulitan pihak pengiklan atau biro iklan, harus diakui, memang sulit mencapai keselarasan dalam mempertimbangkan dampak komersial dengan aspek sosial budaya. Bahkan ada semacam dogma, iklan yang bagus dari sisi pemasaran, justru bermasalah karena menimbulkan dampak sosial budaya yang bersifat negatif. Sebaliknya, iklan yang dinilai berdampak sosial budaya positif, justru mandul dari segi pemasaran. Maka iklan yang berhasil memadukan dampak komersial dan sosial budaya, akan melestarikan kehidupan produk itu sendiri, dalam jangka waktu panjang.
Komunikasi, terutama iklan, tidak akan terjadi jika pesan iklan yang disampaikan komunikator tidak menarik perhatian komunikan. Dengan tuntutan pengiklan yang seperti itulah, seringkali kreator iklan terbawa arus kepada situasi yang sengaja atau tidak sengaja membuat iklan yang akhir-akhir ini menjadi polemik di masyarakat. Padahal tujuan iklan tidak sekadar mencari perhatian, tetapi lebih dari itu untuk memperoleh goodwill dari komunikan.
Oleh sebab itu, selayaknya diperhatikan para kreator iklan dalam membuat kreatif iklan khususnya iklan televisi adalah aspek akibat. Terkadang akibat yang muncul dari sebuah iklan tidak seperti yang dimaksudkan atau diniatkan.
Kreator iklan harus berpikir multiaspek dan multidimensi. Karena persepsi yang muncul dari sebuah iklan terkadang tidak sama sebangun dengan cara pandang penulis naskah atau pengarah kreatif. Karena persepsi iklan sangat subjektif. Apalagi yang menyangkut masalah pornografi, etika, dan moral, maka menjadi sangat relevan bila kreator iklan selain memiliki niat yang baik juga harus berhati-hati dan berpikir dengan mengedepankan pluralitas.
Penutup
Fakta tersebut membuktikan adanya kesenjangan informasi, padahal dalam prosesi komunikasi, mestinya tidak boleh ada kejanggalan dan kesenjangan komunikasi. Ketika ada kesenjangan komunikasi atau pun sekadar gejala adanya jurang komunikasi, hal itu sudah merupakan suatu tanda bahwa iklan tersebut meleset dari sasaran bidiknya dan tidak akan menghasilkan dampak positif seperti yang diharapkan. Padahal ketika mengingat fitrahnya, keberadaan iklan senantiasa diabdikan untuk masyarakat luas. Maksud dan tujuan diluncurkannya iklan adalah untuk menggerakkan masyarakat luas agar bereaksi positif terhadap pesan yang dikomunikasikan dalam iklan tersebut.
Untuk meminimalkan dampak negatif yang sudah sangat klasik, ada baiknya meningkatkan peran iklan dari sekadar objek menjadi sebuah subjek. Artinya, ketika sebuah iklan telah selesai menjalankan fungsi promosinya, karya desain itu tetap bisa dimanfaatkan sebagai sebuah benda estetik yang enak dan layak dipajang. Hal semacam itu terjadi pada karya poster Polandia ataupun Jepang. Saat fungsi poster sebagai media publikasi konser musik, pemutaran film, pementasan teater, ataupun berisi bentuk promosi sebuah produk atau jasa telah berakhir, keberadaan poster, media komunikasi visual, dan iklan tersebut bermetamorfose menjadi sebuah lukisan atau benda dekorasi yang sangat indah manakala direkatkan di dinding kantor ataupun rumah.
Dan yang lebih penting dari semua itu, bagaimana mengangkat karya-karya desain komunikasi visual yang dalam beberapa hal dimanfaatkan sebagai elemen utama periklanan menjadi sebuah wacana yang selalu diperbincangkan dalam konteks lintas ilmu.
Jika karya-karya desain komunikasi visual bisa diangkat ke singgasana yang lebih terhormat, maka di sisi kiri dan kanannya perlu dilengkapi pula dengan bentuk publikasi ilmiah lewat berbagai penerbitan jurnal, artikel, kajian populer di sejumlah media massa cetak ataupun elektronik guna menginformasikan kepada masyarakat tentang fungsi dan peran desain komunikasi visual yang dalam beberapa perwujudannya berupa iklan.
Upaya semacam itu sebenarnya sudah digagas oleh Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) Jakarta lewat tayangan Negeri Imajinasi di RCTI. Sayangnya tayangan apresiatif semacam itu hanya berhenti sampai 15 episode. Kemudian dilanjutkan oleh Metro TV lewat tayangan Sabtu malam bertajuk Reklame. Dilanjutkan harian Media Indonesia setiap hari Minggu, lewat rubrik suplemen Komunikasi Bisnis secara sporadis juga menayangkan berita-berita tentang periklanan, tetapi keberadaannya jarang sekali membedah apa dan bagaimana konsep rancangan iklan secara komprehensif dan tuntas. Hal yang sama juga terjadi pada majalah Cakram.
Berbagai media yang saya sebutkan itu hanya sebagian kecil dari media massa cetak ataupun elektronik yang kelangsungan hidupnya ditopang oleh iklan, tetapi para redaktur atau pelaksana media massa cetak dan elektronik mempunyai komitmen untuk menurunkan artikel, liputan dan analisis komunikasi bisnis yang terkait dengan informasi ataupun kajian praktis ilmu desain komunikasi visual.
Alangkah baiknya jika media massa cetak dan elektronik yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia itu mau berbaik hati dan sedikit mengedepankan jiwa sosialnya demi apresiasi dan pengembangan wacana iklan di tengah carut marut persepsi masyarakat yang demikian heterogen ini dengan menayangkan secara periodik talkshow komunikasi bisnis dan periklanan, wawancara dengan tokoh periklanan, interview dengan akademisi dan pengelola lembaga pendidikan desain komunikasi visual, periklanan, bedah konsep iklan dari kreator periklanan ataupun memuat tulisan opini yang terkait dengan desain komunikasi visual ataupun periklanan dari sejumlah penulis, pengamat, praktisi, akademisi, dan mahasiswa yang memiliki minat mengembangkan disiplin ilmu tersebut. Sebab perkembangan ilmu komunikasi dan ilmu desain komunikasi visual tanpa dukungan dan partisipasi aktif dari parpihak sulit bisa dilaksanakan. Jika hal tersebut terus berlangsung, maka keberadaan iklan sebagai salah satu kajian studi kebudayaan juga akan jalan di tempat, alias mandeg!
Sumbo Tinarbuko, Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta dan Kandidat Doktor FIB UGM.
Daftar Pustaka
Kasali, Rhenald. l99l. Manajemen Periklanan. Jakarta: Penerbit Pustaka Utama Grafiti.
Kayam, Umar. l987. ‘’Pendekatan Sosial Budaya dalam Memahami perilaku Sosial Ekonomi Masyarakat’’. Makalah Semiloka Periklanan Berwawasan Lingkungan Hidup. Yogyakarta: PPPI Pengda DIY.
Liliweri, Alo. l99l. Memahami Peran Komunikasi Massa dalam Masyarakat. Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti.
Nimmo, Dan. l993. Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan dan Media. Bandung: Penerbit PT Rosda Karya.
Suprana , Jaya. 2001. ‘’Arti Iklan Bagi Seorang Pengusaha’’. Makalah Seminar Periklanan. Yogyakarta: PPPI Pengda DIY.
Harian Media Indonesia Edisi 18 Desember 1997
Majalah Cakram Edisi Juni l999
Harian Media Indonesia Edisi 24 April 2000
Harian Bernas Edisi 11 September 2000
Harian Kompas Edisi 29 Januari 2008
Some nature is better polluted by design and art