(Ber)kecepatan, nama lain untuk pendidikan generasi muda yang produktif: Kritisisme yang Dibonsai
“Jika waktu adalah uang, kecepatan adalah kekuasaan” –Paul Virilio, 2000
Tulisan ini mencoba melihat hubungan yang berlangsung di balik iklan kendaraan bermotor (roda dua). Umumnya, kajian atas berbagai iklan kendaraan bermotor dialamatkan kepada kajian gaya hidup. Seringnya kajian gaya hidup dapat dilihat sebagai sebuah kemandegan dalam menjelaskan mengapa iklan kendaraan bermotor tetap hadir dan konsumsi kendaraan bermotor terus berlangsung. Di sini dapat diajukan persoalan: jika hidup berorientasi ke depan, maka praktik konsumsi kendaraan bermotor dapat dilihat sebagai sebuah mekanisme (struktur) yang dipersiapkan bagi kelangsungan yang lebih besar (dalam hal ini pekerjaan, karena tanpa bekerja seseorang tidak akan mendapatkan penghasilan/upah). Pertanyannya, pekerjaan atau rezim kerja macam apakah yang disimpan di dalam iklan-iklan kendaraan bermotor? Lewat pertanyaan macam ini kajian gaya hidup saja terkesan kurang memadai guna menjelaskan mengapa praktik konsumsi kendaraan bermotor terus berlangsung.
Gaya hidup perlu dimengerti bahwa ia memiliki batas penjelasan, yaitu tentang bagaimana seseorang mengalokasikan waktu luang, konsumsi (identitas), dan seperangkat nilai yang melatari keduanya. Namun bukan berarti kajian gaya hidup tidak berguna sama sekali dalam melihat struktur budaya iklan-iklan kendaraan bermotor.
DISPLAY
Selama ini iklan-iklan gaya hidup mendisplay selebriti sebagai agen penjualan produk yang diiklankan. Pilihan kepada selebriti bisa disebabkan berbagai hal antara lain popularitas, kelas, dlsb. Kelas misalkan, berusaha menempatkan kendaraan bermotor sebagai produk maju dimana kemajuan dikenakan baju gaya hidup (selebriti). Lantas, setidaknya terdapat pertukaran antara yang populer dengan teknologi dan keduanya dilekatkan ke dalam sosok (karakter/kepribadian) kendaraan bermotor. Lewat cara ini teknologi diberi nilai identitas yang mana identitas tersebut kerap diarahkan kepada gaya hidup (selebritas, popularitas).
Di lain sisi hampir bisa dipastikan kalau dalam iklan-iklan kendaraan bermotor menampilkan laju kendaraan yang melaju cepat, atau pun melaju lancar alias bebas hambatan. Ada hubungan antara kecepatan dengan bebas hambatan dimana kecepatan tidak akan berlangsung manakala di sana terdapat hambatan. Singkatnya, bebas hambatan juga nama lain untuk kecepatan. Lantas, jika selebriti mengajak tafsir iklan ke wilayah gaya hidup, ke manakah tafsir dibawa oleh imaji kecepatan atau bebas hambatan tersebut?
KECEPATAN DAN PEMAKNAANNYA DALAM RUANG
Kecepatan terkait dengan waktu. Dalam tata kehidupan masyarakat waktu dan kecepatan diatur sedemikian rupa, misalkan batas kecepatan maksimum “40 km/jam”, hingga yang diekspresikan dalam kalimat seperti “jalur bebas hambatan”, “Alon-alon waton klakon”, “Selow wae dab”, “Jalan pelan banyak anak”, “Jalan pelan anak saya banyak”, pula yang bernada ancaman (sanksi) “Awas jangan ngebut, banyak batu”, dll.
Kecepatan juga terdapat dalam berbagai perangkat teknologi seperti prosesor, ram, hingga yang kasat (gelombang) mata seperti (koneksi) wi-fi. Kecepatan (dalam arti peringkasan) juga hadir dalam makanan minuman, misalkan instan. Kecepatan juga hadir di wilayah lain seperti ATM, transaksi, dlsb. Konsumtivisme pun juga mengandaikan berlangsungnya praktik kecepatan, yaitu dengan cara menciptakan keusangan yang direncanakan (salah satu paham dalam desain modern). Kata-kata seperti kuno, jadul, lemot, dlsb merupakan praktik (bahasa) pengusangan yang mempredikatkan bahwa yang baru lebih maju (dan keren).
Maka dapat disampaikan bahwa dalam ruang tertentu kecepatan diberi makna tertentu. (Ke)kuasa(an) dalam ruang itulah yang menyebabkan waktu diperebutkan, juga diperjualbelikan. Demikian pula dalam praktik pendidikan, misalkan diadakannya kuliah semester pendek, atau “paksaan halus” lembaga agar mahasiswa cepat lulus (dengan cara mempercepat sistem pembayaran/online, atau tidak diadakannya lagi pilihan pembatalan dan penggantian matakuliah). Konstruksi budaya atau praktik pendidikan macam ini sengaja diciptakan agar dalam waktu singkat mahasiswa mencurahkan diri dalam perkuliahan, tidak ada waktu bagi aktivitas lain (diskusi, pergerakan, dlsb). Singkatnya, praktik pendidikan tak lain hegemoni budaya kepatuhan yang melibatkan psikis serta fisik sebagai cara melenyapkan pendidikan kritis (karena kritisisme mengancam tatanan mapan dimana tatanan mapan tersebut menguntungkan pihak tertentu).
Hal-hal di atas merupakan gambaran betapa kecepatan memiliki wajah (dan diberi wajah) dalam perjalanan kebudayaan selama ini. Waktu tidaklah bebas nilai, dan dalam hal ini kecepatan merupakan tafsir terus-menerus dalam ketidakbebasan nilai tersebut. Dapat pula disampaikan bahwa kecepatan memberi ganjaran berbagai kemudahan. Kemudahan, kemoderenan, kemajuan, kekerenan, irit (ekonomis) merupakan citra positif kecepatan. Jika kita menerima hal tersebut maka secara tidak langsung kita mengafirmasi kecepatan. Namun, seperti yang sudah ditulis di atas, adanya kuasa atas ruang menyebabkan kecepatan (waktu) tidaklah bebas nilai. Dalam hal inilah tulisan ini berusaha melihat lebih luas bagaimana dan untuk apa kecepatan (dan bebas hambatan) dihadirkan dalam iklan-iklan kendaraan bermotor.
KECEPATAN SEBAGAI ILUSI GIAT BEKERJA
“…Konsumsi, seperti halnya produksi, harus dimasukkan ke dalam manajemen ilmiah — yaitu manajemen keinginan. Awal dekade abad kedua puluh muncul para petugas pemasaran yang menamakan diri “insinyur konsumsi”…Penemuan lain dari awal abad dua puluh yaitu: utang konsumen, mungkin ikut mempermudah pekerja menjadi terbiasa dengan jalur perakitan…Utang bisa membuat pekerja disiplin, menjaga mereka tetap pada pekerjaan rutin di pabrik dan kantor, melunasi pembayaran secara teratur”
(Shop Class As Soul Craft, Matthew B. Crawford, terjemahan, Kelompok Pustaka Alvabet, 2012, hal. 50-51).
Kutipan di atas menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara kerja rutin, hasrat (konsumsi), dan utang dimana utang merupakan cara agar konsumsi senantiasa berlangsung dan hal tersebut dijamin melalui kerja rutin. Utang, dalam perkembangannya, mengalami modifikasi yaitu kredit. Kredit inilah yang merupakan salah satu cara membeli kendaraan bermotor: motor langsung didapat dan pelunasannya melalui pembayaran cicilan berbunga.
Kredit saja belum cukup untuk jadi alasan seseorang membeli kendaraan bermotor. Setidaknya terdapat beberapa alasan orang-orang membeli kendaraan bermotor (ingat pengusangan yang direncanakan):
Pertama, rasional praktis dalam kondisi lalu-lintas. Motor metik tangkas dalam situasi kota yang padat dan macet karena didukung tanpa sistem gigi seperti kndaraan bermotor roda dua era sebelumnya, meski teknologi kendaraan era sebelumnya (bergigi) masih ada.
Kedua, kontruksi kecepatan dalam iklan yang direpresentasikan dalam beragam teks seperti adegan ngebut, kata-kata “can’t stop”, “semakin di depan”, bahkan sosok Agnes Monica dapat dimaknai sebagai metafor akan kecepatan/kegesitan manakala ia tehubung dengan aksi/gaya pentas/dancing Agnes Monica, dlsb. Ikon lain yang digunakan dalam merepresentasikan gesit, lincah, cepat ialah JKT48, Cherrybelle, pesepakbola (striker), dll. Konstruksi tersebut melengkapi apa-apa yang tidak dapat direpresentasikan oleh rasional praktis. Maka itu, konstruksi kecepatan perlu meminjam teks lain yang dalam hal ini karakter maupun kelas guna memberi identitas kejiwaan.
Namun, di sini pun perlu diajukan alasan mendasar untuk apa kecepatan diperlukan? Salah satu alasan yaitu produktivitas. Konsep ekonomi apa yang melatarbelakangi pentingnya produktivitas? Saya kira, kapitalisme industrialisasi. Pada soal kapitalisme global inilah nilai-nilai liberal diutamakan, dan sebagai juru presentasinya yaitu para idola budaya populer (sebagai oposisi atas budaya tradisi, atau budaya kiri atau budaya kritis). Jika perlu, praktik tersebut disertai intimidasi: melemparkan rasa bersalah, seperti nggak keren, nggak gaul. Lantas, semua bentuk pendisiplinan perlu diterapkan, dan generasi muda dibonsai di segala lini di mana pun mereka berada. Sayangnya, anak muda tidak merasa bahwa mereka telah dibonsai mengingat bonsai juga indah, menggemaskan.
Koskow, 2 Mei 2014
CATATAN:
The fate of a designer is not determined by the public system, but by the way he sees his own life