Galeri Nasional 23 agustus 2006
Catatan ini menanggapi tema diskusi berjudul “Menyikapi booming pendidikan tinggi DKV, berhubungan dengan kualitas output yang dihasilkan”, berupa percikan-percikan pikiran yang terlontar. Semoga dapat jadi bahan diskusi di forum.
Boom = meledak…oil boom, baby boomers, information boom… Ledakan demikian merupakan konsekuensi yang tak bisa dihindari. Sejak revolusi industri segalanya bergerak makin cepat, makin banyak, makin canggih. Peningkatan ini dapat dilihat dari perluasan industri, baik ragam maupun jumlahnya. Jaman pembangunan “multi-kompleks” membutuhkan juga angkatan kerja yang makin banyak, makin cepat dan makin canggih.
Pendidikan menjadi salah satu faktor penting dalam memenuhi kebutuhan tersebut, sebagai tenaga trampil, maupun penyelia dan perancang kebijakan. Bila kita perhatikan, bidang yang makin penting masa kini adalah sektor jasa / mediator: ekonomi, perbankan, hukum, manajemen, hubungan masyarakat, komunikasi, media. Tak mengherankan bila saat ini begitu banyak sekolah didirikan menawarkan keahlian di bidang demikian. Sekolah seakan memberi jaminan untuk masuk ke dunia kerja melalui ijazah sebagai sertifikat bidang profesi maupun peringkat kecanggihan keahliannya..
Di sisi lain, era industrialisasi menandai pula pudarnya masa feodalisme. Jargon beralih ke demokrasi dan liberalisme. Setelah gelar kekancingan tidak lagi populer, gelar kesarjanaan dimaknai sebagai simbol status baru. Begitu banyak orang tua berusaha menyekolahkan anak ke kota agar dapat meraih gelar kesarjanaan. Pendidikan yang semula dimaksud untuk mengisi kebutuhan, saat ini sudah menjadi kebutuhan tersendiri. Ini pun jadi memicu “boom” pendidikan. Kebutuhan baru menjadi orang terdidik (bergelar) disambut dengan maraknya lembaga pendidikan, makin banyak, makin ke pelosok, makin dipermudah. Persaingan antar perguruan tinggi untuk mendapat calon siswa pun memuncak. Tiap lembaga berusaha mempromosikan diri sebagai yang terbaik. Dalam situasi demikianlah kita kini berada.
DKV (desain komunikasi visual) merupakan salah satu bidang yang ikut mengalami “boom”, sejalan dengan makin pesatnya perkembangan sektor komunikasi. Kebutuhan tenaga komunikasi meningkat mengikuti perkembangan industri media (cetak, audio-visual, dan internet) yang menunjang antara lain kegiatan penerbitan, koran, majalah, televisi, periklanan, rumah produksi, media interaktif. Saat ini terdapat tujuhpuluhan sekolah desain grafis / komunikasi visual di Indonesia, sebagian besar tingkat sarjana / S1 (meski di industri lebih banyak dibutuhkan tenaga tingkat diploma / D3).
Bidang desain komunikasi visual menjadi pilihan karena menggabungkan dua topik yang menarik bagi anak muda. Komunikasi massa identik dengan jalur informasi luas, berada di ruang publik. Karena itu bidang penerbitan, jurnalistik, kehumasan, periklanan, televisi, multimedia sangat digemari saat ini, jalur selebriti. Visual merupakan sisi nampak yang identik dengan seni rupa, seniman, kreasi, unik, khas, bebas, kesempatan bermain yang luas. Tidak seperti seniman masa lalu yang soliter, berseni bisa juga trendy: Setidaknya itulah bayangan di benak anak muda sekarang, yang dipelajarinya dari banjir informasi melalui majalah, buku, televisi dan warnet. Komunikasi visual seakan menggabungkan dua sisi yang diimpikan siswa, kebutuhan sosial akan komunikasi dan kebutuhan pribadi untuk berekspresi.
Dua aspek tersebut juga membuat pendidikan di bidang ini khas dan muskil: mendidik ketrampilan dan wawasan berbagai masalah komunikasi, sambil mengasah kepekaan dan kreatifitas pemecahan karya komunikasi. Selain wawasan yang biasa diberikan di kelas klasik, materi yang diajarkan di desain komunikasi visual mencakup juga kepekaan dan kreatifitas. Dua aspek terakhir merupakan kekhususan pada pendidikan kesenian yang dilakukan melalui studio. Dalam sistem studio pengajar bersikap sebagai pemacu potensi masing-masing siswa untuk melatih kepekaan dan merangsang kreatifitas. Pada kelas kreatif, jawaban yang seragam malah salah. Tiap siswa dipacu untuk menemukan jawabannya sendiri yang beda dari temannya. Mengajar cara begini akan menyulitkan bila siswanya terlalu banyak.
Meski hanya mengkhususkan pendidikan dalam segi olah media saja, perkembangan bidang desain komunikasi visual saat ini sudah sangat meluas dibanding setengah abad yang lalu: penemuan berbagai media baru dan makin beragam bidang kekhususan. Industri media komunikasi membutuhkan berbagai keahlian, mencakup peringkat tenaga trampil hingga tenaga kreatif, sesuai kekhususan masing-masing bidang usaha. Tiap bidang usaha menggunakan tata kerja, terminologi dan teknologi yang khusus. Karena itu pendidikan desain komunikasi visual perlu dilengkapi dengan laboratorium simulatif agar siswa terbiasa bekerja seperti pada situasi yang akan dihadapinya. Dari sekian banyak jenis industri media, peralatan simulasi mana yang harus disediakan sekolah? Dan mungkinkah sekolah mengejar kepesatan perkembangan teknologi?
Komunikasi visual ternyata merupakan judul besar yang sulit menampung segala kebutuhan, bukan “toserba”. Disinilah muncul pertanyaan, apakah lulusan perguruan tinggi desain komunikasi visual akan menjadi seorang generalis segala bisa atau spesialis bidang tertentu? Padahal waktu tempuh pendidikan cuma empat tahun (S1). Pada era “boom” ini lembaga pendidikan juga menjadi industri yang tunduk pada ekonomi pasar: dengan ruang seefisien mungkin dan pengajar secukupnya saja, menerima siswa sebanyak-banyaknya, lulus secepatnya dengan gelar setinggi-tingginya. Pengajar mengalami kegamangan menghadapi “boom” harapan demikian. Mungkin inilah alasan diskusi siang ini diadakan?
Menyikapi masalah yang dipetakan di atas tak bisa tunggal, masing-masing akan memilih sikap sendiri tergantung pada kepentingan: lembaga pendidikan, pengajar, dan pengguna hasil lulusan. Industri media sering dihimbau untuk membantu mengatasi masalah pendidikan agar konon hasilnya “link and match” dengan kebutuhan mereka. Dalam kegamangan ini peran pemerintah pun sebagai pucuk kebijakan dan regulator pendidikan sering digugat. Sebetulnya semua terpulang pada para pelaku pendidikan untuk mengatur diri mereka sendiri.
Dalam situasi yang sudah sedemikian “boom”, pendidikan yang generik dan “me too” akan makin sulit berkembang. Dengan melihat peta permasalahan yang dipaparkan di atas, masing-masing lembaga pendidikan harus berani memilih kekhususan yang ditawarkan agar output yang dihasilkan mempunyai warna tersendiri yang berelasi dengan kebutuhan masyarakatnya. Dalam keragaman demikian calon siswa dapat memilih sekolah yang sesuai dengan bidang yang jadi cita-citanya. Mudah-mudahan dengan tujuan pendidikan yang lebih terfokus, kualitas lulusan dapat ditingkatkan. Memang ini hanya mudah-mudahan, tak ada jaminan. Semua terpulang pada pelaku pendidikan, sejauh mana integritasnya pada siswa dan pada standard mutu yang dikejarnya…
Dari kumpulan tulisan Dr. Priyanto Sunarto (Head of Doctoral Programs Visual Arts and Design-Faculty of Art and Design “Institut Teknologi Bandung”). Ditulis tahun 2006.
Limitations and distractions are hidden blessings