Peter Lang sudah mengingatkan kita semua dalam bukunya, Mortal City (1995), bahwa kota-kota besar di dunia sekarang dapat diibaratkan sebagai ajang peperangan bisnis dan ekonomi. Yang diuntungkan dalam peperangan ini ia menyebutnya sebagai everyday war adalah para pengusaha kelas kakap. Merekalah yang berkesempatan memanipulasi dan mengeksploitasi berbagai paradoks perkotaan demi keuntungan mereka sendiri. (halaman 31)
Pengantar
Tulisan ini ditujukan untuk mengapresiasi buku Eko Budihardjo, Reformasi Perkotaan: Mencegah Wilayah Urban Menjadi Human Zoo (Buku Kompas, 2014). Buku yang berupa kumpulan tulisan tentang perkotaan ini memuat sejumlah tiga puluh satu tulisan, memberikan keluasan bahasan persoalan perkotaan. Keluasan tersebut dapat dilihat sebagai gambaran mereformasi perkotaan yang (mestinya) melibatkan beragam hal/pihak. Buku ini ditulis oleh seorang yang malang melintang dalam hal perkotaan, yaitu Prof. Ir. Eko Budihardjo, Guru Besar Arsitektur dan Perkotaan. Tulisan ini sekaligus sebagai penghormatan kepada beliau, yang baru saja berpulang ke Sang Khalik.
Dari sekian tulisan dalam buku Reformasi Perkotaan, tulisan ini mengapresiasi beberapa tulisan dalam buku tersebut, yaitu “Kembalikan Senyuman Warga Kota”, “Dari Globalisasi ke Globalisasi”, “Kepandiran Ekologis”, “Polusi Visual Perkotaan”, “Merawat Jati Diri Sejarah Kota”, dan “Menangkal Kecenderungan Primodialisme”. Tulisan-tulisan tersebut setidaknya memberi gambaran tidak langsung kaitan reformasi perkotaan dan peran seni (desain komunikasi visual) di dalamnya. Meski tidak secara eksplisit peran tersebut dituliskan, tugas kitalah selaku pembaca dan insan disain komunikasi visual yang mesti melihat di mana peran-peran tersebut dapat diberlangsungkan. Dengan demikian, tulisan-tulisan lain pun dapat dijadikan inspirasi bagaimana memerankan seni dan disain dalam persoalan perkotaan.
Sejarah, Seni, dan Primordialisme
Dalam pandangan penulis setidaknya dari sekian tulisan yang terdapat dalam buku Reformasi Perkotaan tersebut dapat diajukan tiga hal mendasar tentang perkotaan. Pertama, sejarah. Kedua, seni. Ketiga, primordialisme. Sejarah, persisnya kesadaran sejarah, dipahami sebagai tanggung jawab moral kita kepada generasi masa depan. Kesadaran ke depan tersebut juga dengan melihat masalalu, seperti landmark, heritage sebagai identitas masyarakat di sebuah kota. Seni kerap disebut oleh Eko Budihardjo dimana peran seni dalam masalah perkotaan sangat penting terutama selain menyangkut persoalan estetik juga sebagai wilayah membangun identitas dan harga diri.
Tentang primordialisme, yang dapat dilihat di tulisan berjudul “Menangkal Kecenderungan Primordialisme”, merupakan salah satu tulisan yang berbeda dari sekian tulisan yang terdapat dalam buku tersebut. Tulisan berjudul “Menangkal Kecenderungan Primordialisme” tersebut merupakan wujud kegelisahan Eko Budihardjo di mana di situ dibicarakan tentang bangsa, nation, sebagai simbol manusia. Tulisan ini dimulai dengan pernyataan bahwa:
Kecenderungan primordialisme belakangan ini tampaknya semakin menguat di berbagai pelosok tanah air. Bentuknya bermacam-macam. Primordialisme yang berlatar belakang kesukuan, ras, agama, kelompok partai, fraksi, golongan, bahkan juga asal pendidikan. (halaman 188)
Dalam pandangan beliau konsep negara bangsa berlandaskan terutama sekali pada tolok ukur etnis (kesukuan), kultur (kebudayaan), bahasa, dan wilayah (geografis), yang semuanya bersifat plural. (halaman 191) Beliau, secara emosional, mengingatkan:
Negara pada hahikatnya merupakan instrumen bagi segenap warganya untuk merealisasikan cita-cita keadilan sosial, kesejahteraan, kedamaian, kebebasan, dan kebahagiaan! (halaman 192)
Singkatnya, tulisan berjudul “Menangkal Kecenderungan Primordialisme” merupakan kekhawatiran beliau terhadap beberapa konflik yang belakangan ini disulut oleh primodialisme. Selanjutnya, beliau menuliskan perlunya rekonsiliasi, toleransi, konsensus, dan komitmen yang disepakati bersama dalam menciptakan negara-bangsa yang kita dambakan dan mengejawantah dalam kenyataan. Terkait konsensus, Eko Budihardjo menyebutkan tiga macam konsensus yaitu tataran konsep, ide, gagasan, pemikiran, tataran komunikasi, perkataan, diskusi, perbincangan, dialog, dan tataran sikap, tindakan, aksi perbuatan. (halaman 194)
Tulisan “Menangkal Kecenderungan Primodialisme merupakan, mungkin satu-satunya, tulisan dalam buku Reformasi Perkotaan yang membicarakan kota dalam wilayah politik kebangsaan.
Reformasi Perkotaan dan Keluasan Pemikiran
Istilah “Reformasi Perkotaan” itu sediri dapat ditafsirkan sebagai gerak mengota. Gerak mengota tersebut salah satunya disebabkan globalisasi. Penyebab lain yaitu industrialisasi, ketimpangan desa-kota, dimana hal-hal tersebut memunculkan budaya mono (seragam). Gerak mengota juga dilihat dari fakta bahwa saat ini lebih dari separuh penduduk dunia berada di perkotaan dan perkembangan kota sebagai fenomena global (gaya hidup). Hemat penulis, Eko Budihardjo berdiri di pihak yang mengusung keragaman, dan melalui tulisan-tulisannya mau menyengat kepandiran, terutama kepandiran para penentu kebijakan perkotaan, wakil rakyat, dan bahkan kepandiran kita sebagai orang kota yang membiarkan saja kota berlangsung dalam berbagai paradoks.
“Reformasi Perkotaan” juga dapat dilihat sebagai bagaimana kota di-manage, yaitu melalui perencanaan dan pembangunan kota (maka itu beliau melihat pentingnya peran pimpinan daerah sebagai pamong praja, bukan pangreh praja, sebagai sosok yang selalu melindungi rakyatnya, menyantuni kalangan yang masih sengsara, bukan sebagai sosok yang serba mengatur, menentukan, dan memaksa masyarakat). (halaman 163)
Keluasan dan asam garam pengalaman Eko Budihardjo ditunjukkan melalui perspektif dalam tulisan-tulisan beliau. Di beberapa bagian beliau kerap memudahkan langkah kita dalam mereformasi perkotaan, yaitu melalui penyebutan langsung poin-poin yang perlu diperhatikan. Secara keseluruhan tulisan-tulisan beliau tersebut, yang semula merupakan tulisan (artikel) beliau di kolom opini harian Kompas pada Era Reformasi (1998-2014), ditulis lewat kepentingan kebudayaan. Kepentingan kebudayaan di sini dimengerti sebagai sebuah tulisan yang tidak sebatas berorientasi teknis, namun menyentuh wilayah yang mendasar (nilai, cara hidup), termasuk peran seni/estetika sebagai salah satu pilar membangun kota dengan rasa hidup bersama.
Tulisan-tulisan yang berusaha menyengat tersebut mau menggugah kesadaran kita dari situasi menghuni ruang kota (human zoo) di mana di situ ‘baik diam-diam maupun terang-terangan’ berlangsung mekanisme pengingkaran rasa hidup bersama (citizen) ke hidup bersama yang bukan saja sebagai persoalan ekonomi, polikik, namun juga e(este)tik.
Epilog
Buku Reformasi Perkotaan tidak saja memberi panduan menejerial bagaimana merencanakan dan membangun kota, namun juga memberi kesadaran sejarah, kearifan lokal, sekaligus belajar dari pemikiran global yang sangat melimpah dalam bentuk kutipan pernyataan dari para pemikir kota dari manca negara. Ringkasnya, selain memberi kesadaran lokal, buku ini sekaligus menunjukkan bahwa persoalan perkotaan merupakan persoalan global. Beliau juga menyampaikan bahwa beberapa tulisan beliau tidak serta merta mampu mempengaruhi kebijakan perkotaan, namun beberapa berhasil memberi sengatan dan perubahan. Berikutnya tugas kita selaku pembaca dan disainer berusaha menimba wawasan dan pengalaman tentang apa-apa yang telah dituliskan dan dibagikan oleh beliau tersebut yang nantinya ter/diwujudkan dalam pemikiran dan karya seturut bidang kita masing-masing.
Idul Fitri,
Tulungagung, 28 Juli 2014
Keterangan:
Penulis tidak memiliki hubungan langsung dengan Eko Budiharjo, kecuali mungkin sama-sama pernah mengalami hidup di kota Semarang (beliau rektor Universitas Diponegoro dan penulis menghabiskan masa kecil hingga remaja di kota Semarang), dan sebelumnya penulis pernah membaca beberapa tulisan beliau di beberapa buku kumpulan tulisan bersama yang terkesan lebih teknis ilmiah, dibanding tulisan-tulisan beliau kali ini yang dihimpun dalam buku berjudul Reformasi Perkotaan: Mencegah Wilayah Urban Menjadi Human Zoo yang terasa lebih menawan tanpa mengurangi kadar keilmiahannya.
Terimakasih kepada Lelaki Budiman (Tan Kinira Books) yang karena budi baiknya penulis dapat mengerjakan tulisan ini pada waktunya.
Desain (grafis) adalah kata kerja–bukan kata benda–karena mengutamakan proses; berupa pengolahan nilai keunikan dan keotentikan dari suatu problem