Aku iri kepada air
yang tak bisa ditusuk dan dilukai
Aku terpana kepada udara
yang bisa menelusup kemana saja
(Sublim, 2009)
Kenapa orang menuliskan puisi? Suatu hari rekan saya pernah mengatakan: “Ya karena ada hal yang hanya bisa disampaikan melalui puisi.” Diam-diam saya setuju. Bagaimanapun juga, cerapan manusia atas segala sesuatu yang pernah dialaminya membutuhkan ruang bahasanya sendiri-sendiri. Diam-diam saya mempertanyakan puisi-puisi Lelaki Budiman: “Jika suatu hari ketika ia belum menuliskan puisinya, ambilah contoh puisinya yang berjudul sublim, atas pengalaman yang ia alami, dan jika ia menyampaikan pengalamannya dengan cara selain menuliskannya menjadi sebuah puisi, apakah rasanya akan sama? Saya berani bilang tidak. Maka itu, atas kehendak tertentu, puisi akan tetap dituliskan: puisi akan tetap hadir selama belum ada bentuk bahasa lain yang bisa menyamai makna yang bisa dimunculkan melalui puisi.
Buku yang berjudul Percakapan Diam-Diam, menurut saya, merupakan buku yang menarik: isinya adalah kumpulan puisinya Lelaki Budiman dan kumpulan gambar yang ditorehkan oleh Koskow. Saya tidak berani bilang bahwa antara puisi dan gambar yang berada dalam satu buku yang berjudul Percakapan Diam-Diam itu merupakan dua karya yang saling menjelaskan: dua jenis bentuk bahasa itu berdiri-sendiri-sendiri dan saling bercakap, mengatakan sesuatu melalui bentuknya sendiri-sendiri.
Kumpulan gambar dalam buku itu bukanlah ilustrasi puisi, atau puisi dalam buku itu bukanlah penjelasan atas gambar: mereka adalah dua bentuk bahasa yang berbeda, yang berangkat dari pengalaman yang berbeda, yang mengatakan sesuatu: kitalah sebagai pembaca yang berhak menafsirkan apakah ‘sesuatu’ yang dibicarakan oleh dua bentuk bahasa dalam satu buku itu merupakan hal yang sama atau yang berlainan, atau entahlah.
Puisi Lelaki Budiman, jika kita baca sekilas, tampak seakan berangkat dari pengalaman sehari-hari. Begitu pula bahasa gambar yang diciptakan oleh Koskow: hampir sebagian besar bahasa rupanya berangkat dari bentuk benda yang tak asing dalam keseharian kita. Namun jika kita menelusuri hal-hal yang sehari-hari yang diangkat oleh Lelaki Budiman dan Koskow, kita akan diajak ke suatu tempat yang tidak asing namun bisa jadi menjadi hal yang sama-sekali tidak kita pahami sepenuhnya: suatu tempat yang mengajak kita untuk melakukan percakapan diam-diam.
Dalam buku Percakapan Diam-Diam, 47 puisi dituliskan oleh Lelaki Budiman dan 16 gambar dibuat oleh Koskow. Sejauh dari yang saya tahu tentang buku puisi-rupa, karya kolaborasi antara Koskow dan Lelaki Budiman ini memiliki kesegaran tersendiri: saya menyebutnya kekhasan.
Tidak banyak bentuk buku yang berani menciptakan identitasnya sendiri: banyak buku yang hadir dalam bentuk yang mirip. Apakah hal ini merupakan tuntutan pasar atau kejenuhan kreativitas, saya tidak memiliki argumen kuat untuk menjawabnya.
Akan tetapi, buku Percakapan Diam-Diam, menurut saya, merupakan salah satu buku yang ‘berani hadir dengan cara segar’.
Kira-kira, apa yang bisa kita dapatkan dari membaca puisi, atau membaca gambar? Semua karya (bentuk bahasa) menurut hemat saya, selalu mengajak pembacanya untuk melihat kembali sesuatu dan menggoda kita untuk mengenang pengalaman telah kita tabung untuk sekali lagi direnungkan, atau malah dilahirkan kembali melalui suatu bentuk bahasa tertentu. Begitulah, segala sesuatu akan memiliki banyak makna jika disampaikan kembali: tidak ada hal yang menarik dari hidup jika kehidupan itu tidak diceritakan. Barangkali itulah alasan kita tetap kerasan hidup: agar sesuatu yang pernah kita peroleh dapat kita kisahkan, dapat dimaknai, dan (mengutip sebaris puisi Sapardi) tidak sepenuhnya sia-sia.
Designers need to think about others for the sake of improving the human existence. What we have received is a gracious blessing. Without it, we are nothing. Which is why we need to give it back.