Semiotika Desain Rambu Lalu Lintas

Apa yang Anda pahami ketika di pinggir jalan terlihat sebuah rambu lalulintas berbentuk lingkaran merah dengan tanda panah warna hitam ‘belok kiri’ dan garis silang merah yang memotong di tengahnya? Tentu Anda akan memahaminya sebagai rambu lalulintas yang menunjukkan larangan berbelok ke kiri bagi kendaraan bermotor atau pun tidak bermotor untuk masuk jalan simpangan atau pun berpindah jalur yang searah lalulintas.

Apa pula yang Anda ketahui manakala melihat lingkaran warna biru dengan anak panah warna putih mengarah belok kiri. Pasti Anda akan mengartikan rambu tersebut sebagai sebuah kewajiban pengendara kendaraan bermotor atau pun kendaraan tidak bermesin untuk mengikuti arah yang ditunjukkan oleh tanda tersebut.

Bagaimana respon Anda saat menyaksikan bidang kuning segi empat di dalamnya terlihat visualisasi anak panah hitam yang digambarkan belok kiri. Tentu ketika melihat rambu semacam itu, Anda dengan serta merta akan mengurangi kecepatan dan belok kiri dengan hati-hati. Kenapa hal itu perlu dilakukan, karena secara pasti rambu tersebut memberikan informasi perihal tikungan tajam ke kiri.

Dari berbagai contoh kasus di atas, kita dapat membedakan ketiga rambu lalulintas tersebut berdasarkan makna warna yang terkandung dari sebuah tanda dengan anak panah yang divisualkan belok kiri.

Rambu lalulintas berbentuk segitiga dan di dalamnya tertera tanda panah belok kiri dengan latar belakang warna merah disepakati sebagai sebuah tanda yang bermakna larangan. Jika dilanggar oleh pengguna jalan raya, maka sanksinya akan ditilang oleh Polisi. Rambu dengan dasar biru di tengahnya diberi visualisasi tanda panah belok kiri dirujuk sebagai sebuah kewajiban bagi pengendara kendaraan. Sedangkan segi empat warna kuning dengan objek yang sama dimaksudkan sebagai informasi bagi pengguna jalan raya tentang kondisi geografis sebuah kawasan.


Kenapa sebuah simbol – dalam hal ini rambu lalulintas – dengan bentuk yang sama tetapi beda kemasan warna, maknanya pun menjadi beragam. Hal itu terjadi karena simbol merupakan tanda yang diartikan, dipergunakan dan dimanfaatkan berdasarkan konvensi, peraturan atau kesepakatan bersama. Artinya, simbol baru mampu dipahami jika seseorang sudah mengerti makna yang telah disepakati sebelumnya.

Simbol sebagai bagian dari tanda (biasanya berujud kata atau gambar) menurut Ferdinand de Saussure memiliki dua aspek yang ditangkap indra kita yang disebut signifier, bidang penanda atau bentuk. Sedangkan aspek lainnya dikatakan sebagai signified, bidang petanda atau konsep atau makna. Aspek kedua terkandung di dalam aspek pertama. Jadi petanda merupakan konsep dari apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama.

Lebih jelasnya dapat dikatakan bahwa penanda terletak pada tingkatan ungkapan (level of expression) dan mempunyai wujud atau merupakan bagian fisik seperti bunyi, huruf, kata, gambar, warna, objek. Petanda terletak pada level of content (tingkatan isi atau gagasan) dari apa yang diungkapkan melalui tingkatan ungkapan. Dengan demikian, hubungan antara kedua unsur tersebut melahirkan sebuah makna (Saussure, l973:26).

Tanda akan selalu mengacu pada (mewakili) sesuatu hal (benda) lain, disebut referent. Lampu merah mengacu pada ‘berhenti berjalan’. Wajah cerah mengacu pada ‘kebahagiaan’. Lelehan airmata mengacu pada ‘kesedihan’. Apabila hubungan antara tanda dengan yang diacu terjadi, maka dalam benak orang yang melihat, atau mendengar, akan timbul suatu pengertian.


Berdasarkan teori semiotika yang mengedepankan wacana penanda dan petanda itulah maka sekelompok mahasiswa Program Studi Desain Komunikasi Visual, FSR-ISI Yogyakarta yang tergabung dalam komunitas BALKON ’98 mencoba mendekonstruksi fenomena sistem pertandaan rambu lalulintas yang mereka nilai sangat sakral, kaku, dan resmi. Dalam pandangan komunitas BALKON ’98, keberadaan rambu lalulintas bagaikan hantu kesiangan. Mengapa? Karena rambu lalulintas dianggap sesuatu yang sudah biasa dan membudaya dalam kehidupan sehari-hari. Artinya ia berhenti sebagai objek. Ia seolah tidak boleh tersentuh. Bahkan oleh sementara pihak, ia diposisikan sebagai mitos dengan berbagai konsekuensi sosial bagi yang melanggarnya.

Terhadap kebekuan semacam itu, komunitas BALKON ’98 mencoba unjuk gigi dengan membuat alternatif lain di bidang desain rambu lalulintas yang tentu di dalamnya sangat mengedepankan eksplorasi gagasan dan pluralitas makna. Selain itu, menurut pengakuan mereka, komunitas BALKON ’98 mencoba menumbuhkan apresiasi masyarakat tentang rambu sebagai sistem pertandaan sebagai salah satu kajian desain komunikasi visual.

Dari sekian banyak karya itu, mereka masih memanfaatkan pakem klasik dari sebuah sistem pertandaan. Di antaranya, bidang dasar dari karya mereka masih mengacu pada bentuk-bentuk geometris yang terukur seperti segitiga, empat persegi panjang, kotak, dan lingkaran.

Ragam bentuk yang diangkat agaknya terlihat seragam. Sebagian besar mengangkat objek atau tempat kunjungan wisata yang dikemas dalam sign system versi papan petunjuk arah menuju lokasi. Hal itu bisa kita lihat misalnya pada karya Ahmad Zaini dengan judul ‘’Pasar Burung Ngasem’’.

Ahmad Zaini, “Pasar Burung Ngasem”

Ahmad Zaini, “Pasar Burung Ngasem”

Ia menawarkan bentuk segitiga yang diolah menyerupai gunungan dalam wayang kulit. Di bagian tengah digoreskan enambelas garis vertikal, kemudian di atasnya ditimpa dengan garis vertikal sebanyak tujuh lembar dan dikunci garis vertikal-horisontal di antara keduanya. Ketika kita menyaksikan papan petunjuk arah yang dikreasikan Zaini, bisa diduga ia meminjam ikon sangkar burung lengkap dengan pintunya yang divisualkan dengan 16 garis vertikal horisontal (untuk sangkar), tujuh garis vertikal dan dua garis horisontal untuk pintu sangkar. Keduapuluh lima garis tersebut dikombinasikan dengan bentuk segitiga yang diartikan sebagai sebuah gunungan wayang kulit. Dalam konteks ini, Zaini menggunakan kode kebudayaan yang oleh Roland Barthes diartikan sebagai suara-suara yang bersifat kolektif, mitos, pengetahuan, dan sejarah. Kode kebudayaan itu menjadi tepat ketika digunakan Zaini untuk mengangkat simbolisasi pasar burung Ngasem. Sebab kawasan itu sangat dekat dengan situs sejarah Taman Sari yang menjadi mitos tempat pertemuan Raja Mataram dengan Ratu Kidul penguasa pantai Selatan. Makna konotasi yang ingin dihantarkan kepada khalayak adalah bahwa pasar burung Ngasem (ditandai dengan ikon garis vertikal horisontal) itu tempatnya hanya ada di Yogyakarta (ikon segitiga gunungan wayang kulit).

Pada karya Dodi Erfianto yang berjuluk ‘Tambal Ban’ terpampang bentuk dasar kotak yang di dalamnya dilekatkan ikon ban dalam kendaraan bermotor yang sudah ditambal. Ikon ban lengkap dengan dopnya itu digambarkan separo bagian. Uniknya, Dodi menggunakan konsep parodi yang tentu saja mengundang senyum khalayak pemirsa.. Ia menampilkan visualisasi ikon ban tambalan yang ditambal dengan plester obat luka sejenis handyplas. Selain itu, ia mengaduk-aduk persepsi penonton dengan logika terbalik. Hal itu terjadi karena Dodi menghadirkan ban yang ditambal sebagai ilustrasi papan petunjuk tempat tukang tambal bukan kompor pres untuk menambal ban. Karya Dodi ini terlihat meminjam kode narasi (proairetik) yang oleh Roland Barthes dikatakan sebagai sebuah kode yang mengandung cerita atau narasi perihal sebuah ban yang terluka oleh tindak kekerasan oknum paku yang secara tidak sengaja digilas oleh roda yang menjadi tempat berlindung ‘sang ban dalam’ tadi. Makna konotasi yang muncul, Dodi berupaya memberdayakan benda bernama ‘ban dalam’ dengan konsep plesetan atau parodi. Dalam benak Dodi tersungging konsep bahwa ketika sebuah ban terluka maka sang pengendara pun ikut berduka, karena terpaksa ia menuntun kendaraannya untuk ditambal.

Karya Junaidi Syam bertitel ‘Ngeyel Duel’ menceritakan upaya sejumlah warga yang mengedepankan kebersihan dengan membuat papan larangan membuang sampah di sembarang tempat. Visualisasi seperti yang dibuat Junaidi Syam ini sebenarnya banyak kita jumpai diberbagai mulut gang disejumlah perkampungan. Junaidi membuat papan larangan dengan bentuk dasar lingkaran dengan gambar wajah Pak RT yang menyeramkan. Pada bagian atas dan bawah gambar Pak RT ditulis pesan ancaman berbunyi: ‘’Dilarang Buang Sampah, Ngeyel Duel’’. Dalam konteks ini, Junaidi meminjam kode simbolik pada item kemenduaan dan pertentangan dua unsur, kode narasi pada aspek kode yang mengandung cerita dan kode kebudayaan terutama pada aspek kebijaksanaan, pengetahuan dan moral.

Pada kode simbolik terlihat pertentangan dua unsur pada teks berbunyi Ngeyel Duel. Sedangkan pada kode narasi memperlihatkan cerita ikon Pak RT yang cemberut karena warganya sulit diajak untuk hidup bersih. Kode kebudayaan pada aspek kebijaksanaan, pengetahuan dan moral ini mempertegas agenda kerja Pak RT bahwa ia memprioritaskan masalah kebersihan lingkungan dan memberikan pengetahuan kepada warganya serta memberikan dukungan moral tentang betapa pentingnya hidup bersih dengan membuang sampah pada tempatnya.

Karya F Hendy Irawan berlabel ‘Merapi’ cukup mencuri perhatian pemirsa. Ia menggunakan gaya ungkap karikatur yang dikemas dengan bumbu humor sehinga orang tidak merasa ngeri ataupun takut saat menyaksikan visualisasi ‘wedhus gembel’ berkeliaran di punggung gunung Merapi. Tampaknya Hendy cukup cerdik memainkan ekspresi si ‘wedhus gembel’. Dengan meminjam kode hermeneutik milik Roland Barthes ia menghadirkan artikulasi berbagai cara pertanyaan, teka-teki, respon. Dengan kata lain, kode hermeneutik berhubungan dengan teka-teki yang muncul bilamana wacana mulai dengan pertanyaan apa yang akan terjadi, siapa korbannya, bagaimana cara menyelamatkannya dan jawaban yang satu selalu menunda jawaban lainnya.

Makna konotasi yang muncul silakan menikmati keindahan dan kesegaran udara gunung Merapi, tetapi tetaplah waspada dengan munculnya ‘wedhus gembel’. Hal itu menjadi perhatian Hendy, sebab bagaimana pun juga gunung Merapi tetap meyimpan aura eksotika tersendiri bagi para wisatawan yang menginginkan udara sejuk dan segar guna melapangkan gerak paru-paru dan jantung yang setiap saat sesak karena stres pekerjaan atau pun polusi udara yang sudah merajalela di kawasan Yogyakarta ini.


Mencermati karya rambu-rambu pariwisata dalam konteks sistem pertandaan, seakan kita diajak berkelana pada dunia bermain anak-anak TK yang dengan spontanitas dan keluguannya menghadirkan sosok tokoh imajinernya dalam coretan narasi di atas kertas gambar. Bedanya, teman-teman dari komunitas BALKON ‘98 menghadirkan keluguan dan spontanitasnya dengan landasan semangat pencarian data yang lumayan komprehensif.

Sebagai sebuah karya eksperimen, mereka tetap menghendalikan diri dan tetap menempatkan fungsi sistem pertandaan sebagai sarana informasi dan komunikasi yang digunakan untuk memperkenalkan sesuatu atau menunjukkan sesuatu, entah itu arah, tujuan, nama lokasi dan sebagainya.

Masalahnya sekarang, bagaimana mensosialisasikan karya eksperimen desain komunikasi visual ini agar papan petunjuk arah yang telah dihasilkan sebagai bagian dari sistem pertandaan dapat menjadi alternatif menarik untuk dilekatkan di sudut-sudut tempat strategis menuju ke lokasi wisata. Kemudian, bagaimana menjalin kesepakatan bersama dengan masyarakat luas agar unsur-unsur visual yang tercipta mendapatkan haknya sebagai sebuah simbol yang merupakan tanda berdasarkan konvensi, peraturan atau perjanjian yang disepakati bersama. Sebab bagaimana pun juga, simbol baru dapat dipahami ketika seseorang atau khalayak luas sudah memahami dan mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya. Masalah lain yang cukup signifikan untuk dipikirkan bersama adalah bagaimana mengangkat karya-karya desain komunikasi visual menjadi sebuah wacana yang selalu diperbincangkan dalam konteks lintas ilmu.


Sumbo Tinarbuko, Konsultan Desain dan Dosen Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa dan program Pascasarjana ISI Yogyakarta.

Quoted

“Keberhasilan merancang logo banyak dikaitkan sebagai misteri, intuisi, bakat alami, “hoki” bahkan wangsit hingga fengshui. Tetapi saya pribadi percaya campur tangan Tuhan dalam pekerjaan tangan kita sebagai desainer adalah misteri yang layak menjadi renungan.”

Henricus Kusbiantoro