“Betapa anehnya memikirkan benda-benda indah dulu terkunci di rumah-rumah pribadi dan hanya satu orang itu yang punya hak menikmatinya! Keindahan harus dapat diraih semua orang, demikianlah kehidupan yang sesungguhnya!” — halaman 37, dalam cerpen Juru Propaganda
Si Tukang Onar, adalah kumpulan cerita pendek (cerpen) Maxim Gorky, diterjemahkan oleh Eka Kurniawan dan diterbitkan oleh Penerbit Baca (Tangerang Selatan, Februari 2019). Terjemahan bersumber dari karya Maxim Gorky yang berjudul Tales of Italy. Dalam terbitan bahasa Indonesia kali ini tanpa disertai keterangan tahun dan penerbit sumber terjemahan tersebut. Terdapat limabelas cerpen, satu diantaranya berjudul Si Tukang Onar dan dipilih menjadi judul buku. Selain melibatkan penerjemah, buku ini melibatkan pemeriksa aksara oleh Harum Sari, penata isi oleh Nurhasanah Ridwan, dan perancang sampul oleh Sukutangan. Apakah Sukutangan adalah nama asli si perancang sampul, bisa ya, pula tidak. Terkadang seorang perancang atau desainer (sampul maupun isi) menggunakan nama samaran. Apa alasannya, bisa beragam. Namun dalam kesempatan ini hal tersebut tidak dibahas. Tulisan ini bermaksud mengapresiasi desain buku Si Tukang Onar, baik desain sampul, tata letak isi, dan tipografi (bagaimana huruf dipilih dan dikelola).
Perjumpaan
Saya menjumpai buku Si Tukang Onar di Tan Kinira Books, sebuah penerbit buku di Yogyakarta. Desain sampul buku ini lekas menarik perhatian saya. Kontras warna biru dengan oranye, kontras kesan huruf berkait pada judul yang diketik miring (italic) dengan gambar bebatuan yang tegak berdiri di lautan. Kontras kiranya menjadi salah satu kecepatan daya pikat desain sampul buku ini. Jika kita simak huruf pada judul hadir sentuhan artistik, yaitu bagaimana huruf ditata dan memunculkan kesan menyatu dengan objek gambar pada salah satu bebatuan yang terletak di tengah. Ada huruf yang ditempatkan di belakang bebatuan, ada yang ditempatkan di sisi depan dan tertimpa tetumbuhan. Sebuah rancangan yang mengasyikkan, setidaknya huruf dikelola lewat usaha lebih yang justeru semakin memerkuat kesan kontras. Lebih detail lagi kita bisa menjumpai latar bertekstur pada bidang bewarna oranye. Sebuah usaha memberi kontur atau persentuhan semu.
Desain Sampul
Dari mana asal-usul gambar pada sampul buku ini? Atau dari cerpen apakah dalam buku tersebut? Saya tidak bisa menduganya pasti, meski setelah membaca keseluruhan cerpen dalam buku Si Tukang Onar ini setidaknya ada salah satu cerpen yang latarnya sepertinya menjadi pilihan. Cerpen tersebut berjudul Monster (halaman 43-51). Toh ini pun dugaan yang bisa (pasti) keliru.
“Laut bagaikan hamparan halus logam biru…Di kejauhan dalam kemilau tersebut sebuah pulau lembayung mengambang dengan lembutnya di atas air, atau barangali meleleh di bawah cahaya matahari yang membakar…Pantai berkarang dengan lekak-lekuk curam membungkuk ke laut…”
Gambaran tentang alam tersebut menjadi latar yang mengawali kemunculan si tokoh dalam cerita.
“Seorang perempuan tinggi berpakaian hitam berjalan menuruni setapak yang berliku di antara kebun-kebun, melangkah ringan dari batu ke batu. Pakaiannya telah pudar oleh matahari menjadi berbintik-bintik kecoklatan…Wajahnya tajam dan keras. Wajah di mana seseorang yang melihatnya tak pernah dapat melupakan. Ada sesuatu yang abadi pada wajah keras itu…”
Kisahnya sendiri mencekam, tentang seorang perempuan, dan suaminya yaitu seorang nelayan yang pergi melaut tak lama setelah mereka menikah dan tak pernah kembali, dan seorang anak yang dalam cerpen ini sebagai monster, yang akhirnya si monster mati. Si anak, dan si ibu monster, hidup dalam kisah memilukan disebabkan wujud dan peringai si anak yang bertubuh cacat, mahluk aneh. Boleh jadi penggambarannya lewat sampul sekaligus merupakan satu cara menciptakan simbol atau kiasan bagi cerpen-cerpen dalam buku ini. Seorang teman, kerap disapa Lelaki Budiman (pemilik Tan Kinira Books) menyimpulkan bahwa cerpen-cerpen dalam Si Tukang Onar kisahnya kelam. Saya sependapat, dan kekelaman tersebut sebenarnya ada maksud lain yaitu sebuah situasi yang berada dalam konflik moral. Di sisi lain hadir pengharapan terutama untuk cerpen-cerpen yang menyertakan sosok anak-anak di dalamnya. Simbol harapan baru masyarakat sosialis? Mungkin demikian. Maxim Gorky sendiri disebut-sebut beraliran realisme sosialis, dan ia aktif dalam aktivitas sosial politik menentang sistem pemerintahan yang mencederai kemanusiaan (juga dijelaskan ringkas dalam keterangan tentang Maxim Gorky pada sampul belakang buku).
Bukankah ada juga pendekatan desain sampul menggambarkan judul buku? Apakah tidak menutup kemungkinan gambar pada desain sampul Si Tukang Onar mewakili cerpen berjudul Si Tukang Onar? Secara harafiah bisa saya bilang tidak. Cerpen Si Tukang Onar mengambil latar di sebuah restoran, mengisahkan perbincangan singkat antara dua orang yang berbeda pemikiran. Yang satu berlatar sebagai insinyur (si Insinyur, atau Tukang Insinyur), satu lagi seorang pekerja (Trama, si pekerja, alias si tukang onar), penyair. Boleh jadi ilustrasi pada desain sampul terhubung dengan itu. Kitalah, pembaca, yang menghubungkannya. Hubungan tersebut hubungan yang tidak langsung yaitu tentang keteguhan prinsip masing-masing, meski Gorky rasa-rasanya lebih berpihak pada si tukang onar.
“Aku menunggu mesinmu itu setak-sabar menunggu sejilid buku untuk mengambil kebijaksanaan baru darinya.”
“Aku tak mengerti betul perbandingan itu,“ berbisik si Insinyur menyesap kopinya.
“Tidakkah kau sepakat bahwa mesin membebaskan energi fisik manusia sebagaimana buku yang baik membebaskan jiwa?” — halaman 111
Lewat pemahaman demikian ilustrasi pada desain sampul cukup leluasa dalam “mewakili” cerpen-cerpen dalam buku Si Tukang Onar. Keleluasaan ini bukan perkara mudah. Sangat mungkin ia harus melalui diskusi antara desainer sampul, penerbit, dan penerjemah, setidaknya disetujui sebagai simbol bagi cerpen-cerpen dalam buku Si tukang Onar. Lewat ilustrasi pada desain sampul ini kita dihadapkan pada kontras pemikiran antara dunia yang berbeda yaitu dunia insinyur saat itu dengan dunia kepenyairan (yang diwakili oleh seorang pekerja, tukang onar, sekaligus seorang propaganda), yang terjumpakan dalam sebuah percakapan di sebuah restoran.
Seperti halnya sewaktu saya menatap kali pertama desain sampul buku ini, hadir semacam keingintahuan: bagaimana si tukang onar dihubungkan dengan lanskap laut dan bebatuan yang ditumbuhi tetumbuhan kecil di beberapa bagiannya, dan cara membaringan huruf judul yang mengesankan. Ataukah karena ini cerpen-cerpen Maxim Gorky yang terlebih dahulu dikenal sebagai sastrawan besar? Siapa pun penulisnya seorang desainer sampul janganlah mengorting kekuatan simbol untuk desain sampul buku yang sedang dikerjakannya!
Desain Tata Letak Isi dan Tipografi
Desain tata letak isi buku Si Tukang Onar cukup tertata. Cukup kuat dalam sisi konstanta (sesuatu yang tetap). Keberbedaan (variabel) terletak pada ilustrasi yang ditempatkan di atas setiap judul cerpen. Ilustrasinya pun sejumlah tiga buah, dan digunakan berulang di beberapa judul. Menjadi empat ilustrasi berbeda dengan menyertakan ilustrasi pada bagian Daftar Isi. Gayanya seperti gambar sketsa.
Kehadiran ilustrasi di bagian atas judul menambah kesan artistik. Apakah ada hubungan langsung antara ilustrasi dengan isi tiap cerita? Belum tentu, mengingat hanya terdapat tiga ilustrasi untuk limabelas cerpen. Meski demikian ilustrasi bergaya sketsa tersebut sepertinya mau menggambarkan situasi tempat, setidaknya kota-kota di Italia. Sayangnya kita tidak diberi keterangan siapa perancang ilustrasi tersebut? Teknik apa yang digunakan? Kapan pembuatannya? Atau barangkali ilustrasi diambil (seluruhnya atau hanya bagian tertentu) dari mana? Persoalan ini tidak dibahas lebih lanjut, namun bisa disampaikan bahwa kehadiran ilustrasi-ilustrasi tersebut memerkuat sisi konstanta. Sisi konstanta ini sekaligus variabel karena terdapat tiga ilustrasi berbeda. Namun variabel yang minimal (tiga ilustrasi untuk limabelas cerpen).
Desain tata letak buku ini cukup konsisten dalam hal penataan huruf. Semua judul cerpen dibaringkan di bawah ilustrasi yang lebih dulu mengawalinya. Dengan penempatan teks judul rata tengah, kapital, ukuran lebih besar dari bodytext dan footnote, dan dicetak miring (italic). Sebuah praktik hirarki huruf yang umum dijumpai. Di bagian paling atas (margin atas) terdapat nama penulis (dibaringkan di halaman kiri) dan judul tiap cerpen (dibaringkan di halaman kanan). Keduanya rata tengah. Di bagian paling bawah (margin bawah) terdapat nomor halaman yang juga rata tengah. Di beberapa cerpen juga terdapat baris puisi yang juga ditata rata tengah, diketik italic.
Nyaris semua huruf yang diterapkan yaitu huruf berkait: judul tiap cerpen, bodytext, footnote, dan nomor halaman. Demikian pula untuk Daftar Isi dan judul buku. Huruf tidak berkait diterapkan pada keterangan buku pada halaman yang sering disebut halaman KDT (Katalog Dalam Terbitan). Huruf tidak berkait diterapkan pula pada nama penerjemah (halaman sampul depan dan dalam).
Kerapihan penerapan huruf terdapat pada pilihan ukuran huruf bodytext, jarak atau spasi antar baris (leading), dan distribusi huruf-kata dalam satu baris. Penataan tersebut menyebabkan tidak begitu banyak pemenggalan kata. Pilihan huruf berkait untuk bodytext juga mendukung gerak optis dalam membaca huruf ke huruf dalam satu kata. Namun boleh jadi ada pertimbangan nuansa klasik yang mau dihadirkan lewat pilihan huruf tidak berkait. Pilihan huruf tidak berkait yang digunakan juga tergolong unik. Keunikan tersebut salah satunya terdapat pada huruf J kapital. Di bagian stroke vertikal huruf J tersebut terdapat garis horisontal melintang, tipis dan pendek. Keunikan lain yaitu pada bagian serif huruf N kapital. Serif tersebut seperti memiliki ekor (tail) melengkung. Huruf pun jadi bernuansa, katakanlah, anggun.
Catatan
Catan pertama, tentang huruf. Sebagai catatan kita bisa menjumpai huruf berkait pada bagian keterangan singkat penulis buku di sampul belakang. Hanya saja pilihan huruf berkait tersebut berbeda dengan huruf berkait yang dominan digunakan di beberapa bagian teks. Boleh jadi itu selingkung desain penerbit bersangkutan. Namun, membuat perbedaan antara huruf berkait dengan tidak berkait lebih mudah dibanding membedakan pilihan typeface huruf berkait dengan huruf berkait, atau typeface huruf tidak berkait dengan huruf tidak berkait. Garamond dengan Calibri jauh berbeda dibanding Garamond dengan Times New Roman, atau Garamond dengan Adobe Garamond. Kira-kira demikian gambaran sederhananya. Maka itu praktik tipografi dalam desain buku juga perkara yang bisa sangat detail dan terancang.
Banyak aspek yang kerap menjadi kerikil sandungan dalam (men)desain bersama huruf, misalkan jarak antar huruf terutama untuk huruf judul. Kita sering menyerahkan begitu saja pilihan pemberian jarak antar huruf dengan mengandalkan pengaturan secara digital perangkat lunak ketik yang kita gunakan. Untuk huruf baca atau bodytext tidaklah begitu tampak karena ia berukuran kecil (dan memang sudah diatur), sedangkan untuk huruf judul akan lebih nampak jarak antar tiap hurufnya (meski juga sudah diatur). Ini hanya mau menjelaskan bahwa disiplin tipografi bukan perkara sederhana, tidak semudah kita mengetik-menata otomatis melalui perangkat lunak digital.
Huruf yang makin akrab kita gunakan menggunakan perangkat lunak ketik pun telah melalui proses perancangan dan penataan yang cukup rumit. Seorang kawan bercakap desain yang juga pernah mengenyam pendidikan SMK jurusan elektro, Annasruloh, sambil menjelaskan pelan-pelan seolah jarang kita sadari (dan memang jarang kita sadari) ia menyampaikan bahwa “huruf itu software”. Artinya, huruf seperti yang akrab kita gunakan saat ini adalah seperangkat aturan secara digital. Ia di-coding-kan. Sayang dalam dunia perbukuan praktisi huruf (tipografi) kurang terapresiasi. Setidaknya beberapa unggahan buku Si Tukang Onar di internet menyajikan rancangan publikasi yang bernuansa tipografis, apalagi dengan menyimak publikasi yang menyertakan tampilan desain buku ini dengan versi “asalnya” yang (masih) dapat kita jumpai di beberapa situs online. Di situlah keunikan praktik tipografi, selain menyimpan sisi verbal huruf juga hadir secara visual. Huruf mampu berdiri sendiri tanpa disertai gambar, atau huruf sekaligus sebagai ilustrasi. Tentu, ini bukan sikap yang memandang bahwa huruf adalah segala-galanya, atau yang utama.
Catatan kedua, tentang desain sampul. Warna desain sampul buku Si Tukang Onar ini tergolong kontras, yaitu biru dengan oranye. Boleh jadi pilihan kontras juga dipicu oleh pertimbangan budaya visual yang kini kerap diistilahkan dengan instagramable. Cukup banyak desain sampul buku yang belakangan mengandalkan kekuatan kontras warna. Ini masuk akal karena warna bekerja secara emotif dan berkomunikasi secara cepat, seperti halnya bebauan. Lagipula sirkuit di internet cukup kencang. Perlu daya hisap yang kuat untuk memberhentikan laju jari netizen. Warna mampu bekerja dalam sirkuti macam itu.
Hal lain yang rasa-rasanya mengganggu (saya) yaitu penempatan logo penerbit di sampul depan buku ini. Logo jadi sangat terlihat, apalagi dengan karakter logotype yang sporty di belantara teks sastra. Cukup kontras, namun kontras yang perlu disiasati, meski hal tersebut keputusan penerbit bersangkutan. Ini bukan sebuah kesalahan. Ini hanya sebuah alasan untuk menjelaskan bahwa dalam “estetika” bukan soal benar salah namun pas dan yang lebih pas.
Sebagai ilustrasi bisa kita jenguk beberapa desain buku yang menaruh logo di sampul depan sembari meredupkannya (transparan). Logo tetap hadir namun tidak terlalu kentara sehingga perhatian bisa tertuju pada desain, ilustrasi maupun tipografi. Bisa pula logo/logotype dirancang senada dengan desain sampul keseluruhan. Atau, tidak ada logo pada desain sampul depan dan logo ditempatkan pada punggung serta desain sampul belakang buku. Satudua catatan ini tak mengurangi apresiasi bagi desain buku ini. Baik desain sampul maupun desain isi. Pun jika kita coba googling buku Tales of Italy, akan kita jumpai desain yang tidak hanya satu jumlahnya. Pula akan kita jumpai ilustrasi untuk buku Gorky tersebut.
Yak
Sastra diwarnai oleh orang-orang yang bekarya menulis, mengritik, dan mengapresiasinya. Demikian pula desain sampul dan ilustrasi. Baik juga jika desainer huruf, atau penata letak juga terapresiasi lebih baik. Kita perlu memahami mengapa kitab suci berbeda tata letak dan tipografinya dibanding majalah populer. Dalam hal apa konstanta dominan, dan dalam hal apa variabel memerankan diri. Mana yang bertahan untuk jangka waktu yang lama, dan mana yang terkodekan oleh jaman dan berubah-ubah. Jangan sampai desainer jadi tukang onar, namun bukan tukang onar dalam pengertian subyek dalam cerita Maxim Gorky tersebut. Desain itu sesuai kebutuhan, meski desain juga meyimpan daya atau potensi anarkis. Atau dalam bahasa yang lebih mudah diterima: kreativitas.
“Dan segala yang telah dikerjakan sebelum aku, sebelum kita, adalah biji yang harus kita ubah menjadi baja, bukan?” — halaman 113, dalam cerpen berjudul Si Tukang Onar
Catatan tulisan:
Designers need to think about others for the sake of improving the human existence. What we have received is a gracious blessing. Without it, we are nothing. Which is why we need to give it back.