Sebagian besar dari kita pasti pernah menerima sebuah email ajakan untuk mendukung petisi secara online. Bila kita pernah mengikuti satu petisi online berbasis web-aplikasi, maka nama dan email kita akan tersimpan di database mereka. Dengan modal script programming sederhana, nama kita otomatis akan tercantum dalam email ajakan petisi tersebut, dan mengiringi template isi petisi. Setelahny, sistem itu menjelma menjadi sebuah ajakan personal untuk ‘bergerak’. Dengan mengalokasikan waktu barang sejenak, kita telah turut berperan melakukan sebuah perjuangan dengan satu klik undangan petisi.
Clicktivism adalah sebuah idiom yang sedang ‘berjuang’ untuk diterima secara lebih luas. Dalam bahasa Indonesia, belum ditemukan padanan kata yang sesuai. Untuk sementara, bisa saja kita gunakan pendekatan serapan kata ‘kliktivisme’.
Idiom clicktivism sendiri merujuk kepada paduan kata ‘click‘ dan ‘activism‘. Pada 2011, kata clicktisivm bersaing untuk masuk ke dalam Oxford Dictionaries dan diartikan sebagai pemanfaatan media sosial dan metode online lainnya untuk mempromosikan sesuatu1. Pernyataan tersebut menarik karena dapat menjadi pondasi yang kokoh dalam menyikapi perkembangan kliktivisme ini.
Change.org merupakan platform petisi online terbesar di dunia. Mereka menyatakan dirinya sebagai platform yang memberdayakan orang di mana pun untuk menciptakan perubahan yang ingin mereka lihat2. Dengan klaim angka 70 juta orang pengguna yang berasal dari 196 negara, setiap harinya orang memanfaatkan platform mereka guna melakukan perubahan dalam lingkup lokal, nasional, ataupun global. Di Indonesia sendiri, Change.org Indonesia berdiri pada Juni 2012. Penggunanya masih di kisaran angka 8.000 anggota waktu itu lalu melonjak hingga angka 390.000 pada Desember 2013 dan 900.000 pada Desember 2014.
Pada 2013, berderet petisi berhasil mencapai tujuannya. Di antaranya petisi yang digagas oleh penyanyi Melanie Subono sebagai bentuk reaksi atas candaan calon hakim agung M Daming saat mengikuti seleksi hakim agung di DPR. Petisi itu mendesak agar DPR tidak meloloskan Daming sebagai hakim agung yang melontarkan pertanyaan, “Yang memperkosa dan diperkosa sama-sama menikmati kok.” Petisi itu meraih 11.018 dukungan dan tak satu pun anggota Komisi III DPR RI yang memberikan dukungan pada Daming. Begitu pun dengan Petisi Jangan Rusak Trowulan sebagai bentuk penolakan pembangunan pabrik baja dan tuntutan untuk menetapkan wilayah tersebut menjadi cagar budaya. Di tahun yang sama pula, dengan raihan 4.187 dukungan, sebuah petisi berhasil mengubah kebijakan BCA dalam memberikan layanan ke kelompok tuna netra.
Sama halnya dengan yang terjadi pada petisi untuk menggagalkan pembabatan hutal masal di Kepulauan Aru. Petisi yang digagas oleh musisi Glenn Fredly pada 2014 ini berhasil mengumpulkan 15.110 dukungan dan berhasil membatalkan rencana pembabatan tersebut. Keberhasilan lain yang diperoleh di tahun yang sama adalah dibatalkannya pengangkatan kapal Sophie Rickmers yang karam di perairan Sabang, Aceh. Kapal milik Jerman yang telah karam 74 tahun silam itu merupakan sumber pengetahuan sejarah dan kehidupan karena menyatu dengan terumbu karang dan lokasinya yang menjadi wisata selam fantastis. Petisi ini mendapat 15.059 dukungan.
Awal 2015 diisi dengan petisi yang monumental. Sebanyak 118.966 masuk untuk mendukung Pilkada langsung. Dengan jumlah dukung sebanyak itu, DPR RI pun membatalkan niatan kontroversial mereka untuk kembali menjalankan Pilkada lewat DPRD.
Yang menjadi pertanyaan besar kemudian adalah apakah deret kemenangan yang ditorehkan tersebut murni merupakan bentuk perjuangan lewat Change.org? Menjadi menarik bila mencermati pernyataan Arif Aziz, Direktur Kampanye Change.org Indonesia, seperti yang dikutip dari Perspektif Baru:
“Orang-orang bukan bergeser meninggalkan cara-cara konvensional dalam menyampaikan pendapat, namun senjatanya kini bertambah. Senjata konvensional akan tetap dipakai (misalnya seperti demonstrasi), tetapi sekarang muncul teknologi-teknologi baru yang memungkinkan orang makin terhubung sehingga kampanye lebih berkesinambungan.”3
Memang dibutuhkan penelitian tersendiri untuk mengetahui relevansi antara kemenangan atas perubahan dengan dukungan-dukungan yang disampaikan lewat Change.org.
Sebelum petisi online digagas dengan lebih terorganisir oleh Change.org, bangsa Indonesia telah memiliki pengalaman sejenis dengan melibatkan pola yang kurang lebih sama. Tercatat gerakan Koin untuk Prita yang berawal dari perseteruan antara Prita Mulyasari dengan RS Omni Internasional pada 2008. Ketidakpuasan atas layanan RS Omni tersebut membawa Prita menuliskan keluhannya lewat email. Email tersebut menyebar secara berantai lewat jejaring internet hingga membuat pihak RS Omni mengajukan Prita ke pengadilan yang memutuskan Prita untuk membayar denda sebesar Rp.204.000.000. Keputusan pengadilan itulah yang menjadi awal gerakan sosial Koin Keadilan. Melalui gerakan itu, terkumpul uang recehan logam hingga mencapai Rp.605.000.000.
Gerakan lain yang pernah berkembang pesat dengan memanfaatkan media sosial dan internet di Indonesia adalah #IndonesiaUnite. Gerakan ini juga sekaligus berperan sebagai pernyataan sikap bahwa bangsa Indonesia bersatu melawan terorisme. Gerakan ini berawal dari peristiwa bom hotel J.W.Marriott dan Ritz Carlton pada 17 Juli 2009 yang kemudian menjadi pembicaraan di antara pengguna Twitter dengan menyertakan hashtag #indonesiaunite. Tanpa ada komando dan koordinasi dari siapa pun, semua sepakat untuk mengusung #indonesiaunite menjadi sebuah gerakan. Sebuah inisiatif dengan pola bottom up bergulir: tidak ada yang mengoordinasi dan semua berjalan sendiri karena secara nurani memiliki pandangan serupa akan teror. Siapa yang memulai #indonesiaunite? Semua memulainya secara serentak, bersama atas gerakan hati yang sama atas rasa marah, kecewa dan sedih. Siapa penggerak #indonesiaunite? Ribuan pengguna Twitter dan pengguna online lainnya4.
Pola gerakan ini bentuknya sederhana, mengajak rakyat Indonesia untuk menyuarakan “KAMI TIDAK TAKUT – #IndonesiaUnite” di status Facebook, Twitter, (saat itu masih terdapat) Plurk, atau di mana pun; online ataupun offline. Lalu, dalam waktu yang cepat gerakan ini berkembang secara luas. Media konvensional turut andil dalam mendukung, menyuarakan, serta menyebarluaskan pesan yang dikandung. Gerakan #IndonesiaUnite ini tercatat sebagai gerakan pertama di Indonesia yang berhasil memanfaatkan kelebihan-kelebihan yang terdapat di internet sebagai media penyebaran. Setelah gerakan ini bergulir, muncul gerakan-gerakan lain yang sangat bervariasi dengan pesan yang sama, yakni nasionalisme Indonesia.
Di belahan dunia yang lain, tercatat sebagai pelopor gerakan online yang monumental di ranah internet: Occupy Wall Street (OWS). Gerakan protes yang berlangsung di New York pada tahun 2011 ini berusaha menyuarakan ketidakadilan sosial dan ekonomi di seluruh dunia5. Namun, Micah White seorang warga Amerika yang menggagas gerakan OWS tersebut kini mengatakan, “Clicktivism is the pollution of activism with the logic of consumerism, marketing and computer science. In promoting the illusion that surfing the web can change the world.”6
Nyatanya, clicktivism berpotensi untuk melemahkan gerakan/aktivitas sosial yang sesungguhnya. Mengalahkan aktivitas sosial yang bergerak di dunia nyata, aktivitas yang membutuhkan turun ke jalan, berpeluh keringat, bersentuhan langsung dengan masyarakat, dan merasakan masalah yang sesungguhnya dihadapi. Clicktivism dapat menciptakan kesalahpahaman bahwa perubahan dapat terjadi hanya dengan melakukan sebuah klik sebagai pengganti dari perjuangan karena aktivitas nyata yang sesungguhnya tengah berjalan harus kalah tertutupi oleh hingar-bingar keriaan jumlah klik yang diperoleh, merayakan jumlah sharing yang dicapai, dan pencapaian-pencapain perangkat online lain semisal like, retweet, pin it, dan seterusnya.
Sumber bacaan:
1 http://www.prnewswire.com/news-releases/squeezed-middle-is-named-oxford-dictionaries-word-of-the-year-2011-134361588.html
2 Change.org
3 http://www.perspektifbaru.com/wawancara/920
4 http://m.kompasiana.com/post/read/647/1/kompascom-dukung-gerakan-indonesiaunite.html
5 https://www.adbusters.org/campaigns/occupywallstreet
6 https://www.micahmwhite.com/clicktivism/
The fate of a designer is not determined by the public system, but by the way he sees his own life