Ada baiknya kita mulai memikirkan bagaimana mendekonstruksi mitos bahwa kurikulum pendidikan itu selalu ketinggalan jaman. Hal ini hanya bisa dilakukan manakala ada hubungan sinergis antara dunia kampus, para alumnus, dengan jagad industri. Dalam catatan saya, pihak industri menginginkan lulusan DKV siap pakai dengan segala amunisi yang dimiliki. Baik skill drawing, konsep maupun pengusaan software dan hardware komputer. Tuntutan semacam itu hampir tidak pernah bisa dipenuhi. Hal itu bisa dipahami mengingat pengadaan sarana dan prasarana di perguruan tinggi DKV baik swasta apalagi negeri, tidak bisa dengan serta merta mengikuti perkembangan IT.
Dominasi KURNAS harus mulai dipangkas dan lebih mengutamakan kurikulum dengan mengedepankan local color, karena masing-masing perguruan tinggi itu mempunyai keunggulan dan kompetensi yang berbeda antara yang satu dengan lain. Hal ini harus tetap dipertahankan untuk menumbuhkan keberagaman sudut pandang dan outcome dari masing-masing perguruan tinggi desain komunikasi visual.
Kemudian anggota konsorsium seni dan desain (yang konon merupakan institusi penentu kebijakan terkait dengan pendidikan tinggi seni dan desain) perlu ditambah dengan dewan pakar yang benar-benar mengerti, memahami dan mengetahui perkembangan DKV. Personil dewan pakar diambil dari dosen dan praktisi dengan pengalaman dan latar belakang pendidikan DKV.
Sistem rekrutmen dosen harus terjaga kualitas dan wibawanya. tidak asal comot. Demikian pula sistem penerimaan mahasiswa baru dilingkungan perguruan tinggi DKV tidak waton banyak. Ini menjadi tidak efektif dalam proses belajar mengajar. Saya pernah mengajar matakuliah DKV I disebuah perguruan tinggi terkenal di Jawa Timur dengan jumlah mahasiswa lebih dari 50 orang untuk setiap klasnya. Jelas jumlah sebesar itu menjadi tidak efektif dan sulit terjadi proses dialogis antara pihak dosen dengan mahasiswa. Saya tidak tahu bagaimana di UNTAR, BINUS, Pelita Harapan, Paramadina Mulya ….
Berikutnya, pihak industri dituntut peran aktifnya untuk membantu pihak perguruan tinggi DKV dengan misalnya secara berkala memberikan pencerahan terkait dengan pembuatan perancangan konsep kreatif, perencanaan media dll. Membantu memberikan masukan perihal matakuliah apa yang dibutuhkan oleh pihak industri. Kompetensi apa yang diinginkan dari lulusan DKV. Kesediaan pihak industri untuk menerima mahasiswa magang dengan mempersiapkan kurikulum atau materi magang. Kemudian para senior CD dan AD dan
petinggi-petinggi biro iklan dan DKV diharapkan bersedia menjadi ‘dosen’ dengan sejumlah asisten dosen yang merupakan dosen sebenarnya dari beberapa perguruan tinggi DKV. Model cangkok ini diharapkan terjadi percepatan akselerasi transfer knowledge dari ilmu-ilmu praktisi desain yang nantinya bisa diakomodasikan dan diadaptasikan kepada mahasiswa
Selain itu saya mengusulkan agar industri periklanan ranking Top Ten menyisihkan sebagian keuntungannya untuk dikumpulkan menjadi Advertising Foundation guna diberikan kepada insan periklanan muda, dosen muda desain komunikasi visual/periklanan yang dinilai mempunyai komitmen memajukan dunia periklanan dan pendidikan desain komunikasi visual untuk melakukan studi banding ke luar negri: Malaysia, Thailand, Australia, Amerika Serikat agar mereka memiliki wawasan lebih dan mendapatkan pencerahan terhadap disiplin ilmu periklanan maupun desain komunikasi visual.
Selain memberikan beasiswa kepada insan periklanan dan dosen desain komunikasi visual/periklanan, Advertising Foundation ini juga mencetak CD yang berisi pemenang lomba iklan (Citra Pariwara) di Indonesia dan di luar Indonesia berikut konsepnya untuk diberikan ke berbagai perguruan tinggi yang memiliki jurusan desain komunikasi visual dan periklanan agar perkembangan tersebut bisa disikapi dan diadaptasi di lembaga pendidikan tersebut.
Terkait dengan banyaknya muatan mata kuliah teori, sebenarnya bisa disikapi dengan menyelenggarakan matakuliah teori tetapi dengan muatan praktik. Dalam kapasitas saya sebagai dosen muda, mencoba melakukan eksperimen dalam proses belajar mengajar di lingkungan Program Studi Desain Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta maupun sekolah swasta yang membuka jurusan desain grafis/desain komunikasi visual dengan metode presentasi dan diskusi setelah mereka mengetahui inti dari sebuah pokok bahasan.
Misalnya pada matakuliah teori Tinjauan Desain II, saya minta mahasiswa mengumpulkan data visual iklan Bentoel Mild dan Sampoerna Mild Menthol kemudian dikaji dengan pendekatan desain komunikasi visual. Pesan apa yang muncul, makna apa yang ingin disampaikan. Kelebihan dan Kelemahan desain tersebut. Opini mereka terhadap keberadaan iklan tersebut. Beberapa aspek dari desain tersebut ditinjau dari kacamata sejarah desain. Semuanya itu mereka tuangkan dalam bentuk makalah kemudian ada beberapa dari mereka saya suruh maju ke depan klas dan mempresentasikan hasil kajiannya. Sementara itu teman-teman lainnya akan merespons, membantai, menambah dst. Hasil yang dicapai, klas menjadi hidup, banyak lontaran-lontaran yang segar banyak pendapat yang cerdas. Klas menjadi lebih hidup. Kali lain, untuk mata kuliah yang sama, saya bawakan data visual berupa iklan bank Mandiri dan iklan kartu Hallo. Mahasiswa saya minta me-redesign iklan tersebut dengan pendekatan gaya futurisme, bauhaus, konstruktivisme dan beggarstaff. Hasilnya didiskusikan, dan dipresentasikan. Hasil yang dicapai: mahasiswa mengetahui perkembangan sejarah desain grafis dan penerapan berbagai isme desain grafis itu dalam konteks kekinian
Sedangkan untuk matakuliah praktik, seperti Diskom I dan Diskom IV, saya melontarkan kasus tentang perlunya sistem pertandaan di kawasan wisata di Yogyakarta yang didesain dengan pendekatan desain komunikasi visual. Mereka saya minta mencari data verbal dan data visual ke objek wisata: tamansari, makam imogiri, kotagede, pantai parangtritis, baron, sundak, candi prambanan, candi boko. Setelah masing-masing data mereka kumpulkan kemudian dikemas dalam sebuah konsep kreatif, lalu dilakukan presentasi awal untuk dilakukan cross cek data dan pendekatan visual antara mahasiswa dengan mahasiswa dan mahasiswa dengan saya sebagai dosen pembimbing. Berikutnya kristalisasi dari berbagai data tersebut yang mendasari lahirnya karya desain yang diharapkan bisa menjawab permasalahan yang dimunculkan di depan. Hasilnya digelar dalam bentuk pameran untuk mendapatkan respon yang lebih natural.
Hal yang sama juga terjadi pada matakuliah diskom IV. Pada awal kuliah, saya menghadirkan presidium Walhi DIY, mereka saya persilakan mempresentasikan aktivitas pelestarian lingkungan hidup yang menjadi konsentrasi kegiatan Walhi. Mahasiswa mencatat, mendiskusikan. Pertemuan berikutnya, mahasiswa saya minta mengembangkan data berdasarkan presentasi dari pihak Walhi. Mahasiswa melakukan penelitian lapangan, dikristalisasikan menjadi konsep, dibuat karya desain, dipresentasikan secara terbuka di luar klas bersamaan dengan pameran karya tersebut, teman-teman lainnya merespon, mendiskusikan, membantai, tidak setuju dll. Berdasarkan masukan semacam itu, sang desainer mengetahui kelemahan dan kekurangan dari setiap lekuk-lekuk karyanya.
Dengan metode eksperimen semacam ini, saya merasakan ada proses komunikasi dua arah antara pembimbing dengan mahasiswa. Ada interaksi yang lebih mendalam, pembahasan materi menjadi lebih terbuka. Kira-kira begitu….
Sumbo Tinarbuko Konsultan Desain dan Dosen Desain Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta. Sekarang Kandidat Doktor FIB UGM.
Di bawah ini terlampir hasil diskusi di milis CCI (Creative Circle Indonesia) mengenai “Dekonstruksi Kurikulum Perguruan Tinggi DeKaVe” antara Sumbo Tinarbuko dan Andi S. Boediman yang berlangsung sekitar tahun 2000:
Sumbo Tinarbuko (Konsultan Desain dan Dosen DKV ISI Yogyakarta):
Dominasi KURNAS harus mulai dipangkas dan lebih mengutamakan kurikulum dengan mengedepankan local color, karena masing-masing perguruan tinggi itu mempunyai keunggulan dan kompetensi yang berbeda antara yang satu dengan lain. Hal ini harus tetap dipertahankan untuk menumbuhkan keberagaman sudut pandang dan outcome dari masing-masing perguruan tinggi desain komunikasi visual.
Andi S. Boediman (Digital Studio Jakarta):
Setuju banget. Mungkin jika ada standar, ini hanyalah mata pelajaran inti, misalnya tipografi, computer graphic. Dan ini menggantikan IBD, ISD, Pancasila, dan pelajaran maha ajaib lainnya.
Sumbo Tinarbuko:
Kemudian anggota konsorsium seni dan desain (yang konon merupakan institusi penentu kebijakan terkait dengan pendidikan tinggi seni dan desain) perlu ditambah dengan dewan pakar yang benar-benar mengerti, memahami dan mengetahui perkembangan DKV. Personil dewan pakar diambil dari dosen dan praktisi dengan pengalaman dan latar belakang pendidikan DKV.
Andi S. Boediman:
Saya baru denger ada konsorsium semacam ini. Daripada melakukan restrukturisasi dari organisasi yang susah dijangkau, mungkin lebih baik para akademisi dan praktisi berkumpul untuk menyusun/mempresentasikan apa yang sudah dihasilkan hingga saat ini dan kemudian menjadi wacana bagi semua sekolah lain.
Sumbo Tinarbuko:
Sistem rekrutmen dosen harus terjaga kualitas dan wibawanya. tidak asal comot. Demikian pula sistem penerimaan mahasiswa baru di lingkungan perguruan tinggi DKV tidak waton banyak. Ini menjadi tidak efektif dalam proses belajar mengajar. Saya pernah mengajar matakuliah DKV I disebuah perguruan tinggi terkenal di Jawa Timur dengan jumlah mahasiswa lebih dari 50 orang untuk setiap klasnya. Jelas jumlah sebesar itu menjadi tidak efektif dan sulit terjadi proses dialogis antara pihak dosen dengan mahasiswa. Saya tidak tahu bagaimana di UNTAR, BINUS, Pelita Harapan, Paramadina Mulya…
Andi S. Boediman:
Dari sisi bisnis, ini memang sulit. Jika kita mematok bahwa di kelas paling banyak 15 orang misalnya, maka pendapatan sekolah mungkin cukup berat dari sisi pengadaan fasilitas. Atau jika siswa memang hanya dipangkas dalam jumlah sedikit, maka terpaksa biaya pendidikan meningkat.
Oleh karena itu sekolah memiliki positioningnya sendiri saat ini. Untuk mainstream, universitas tetap menjadi pilihan utama. Ini bukan cuma sekedar kualitas tetapi lebih kepada kebutuhan untuk mendapatkan gelar. Bermunculnya beberapa sekolah dengan model singkat merupakan alternatif bagi mereka yang melakukan pendekatan politeknik.
Problem math equation demikian, sekolah bagus, jumlah murid sedikit, kurikulum progresif, fasilitas lengkap, pembimbang semua dari kalangan praktisi, maka terpaksa harganya mahal. Untuk menyiasatinya, satu-satunya cara adalah meletakkan murid sebanyak-banyaknya dalam satu kelas karena variabel ini yang paling gampang diatur.
Berikutnya, pihak industri dituntut peran aktifnya untuk membantu pihak perguruan tinggi DKV dengan misalnya secara berkala memberikan pencerahan terkait dengan pembuatan perancangan konsep kreatif, perencanaan media dll.
Sumbo Tinarbuko:
Selain itu saya mengusulkan agar industri periklanan ranking Top Ten menyisihkan sebagian keuntungannya untuk dikumpulkan menjadi Advertising Foundation guna diberikan kepada insan periklanan muda, dosen muda desain komunikasi visual/periklanan yang dinilai mempunyai komitmen memajukan dunia periklanan dan pendidikan desain komunikasi visual untuk melakukan studi banding ke luar negri: Malaysia, Thailand, Australia, Amerika Serikat agar mereka memiliki wawasan lebih dan mendapatkan pencerahan terhadap disiplin ilmu periklanan maupun desain komunikasi visual.
Andi S. Boediman:
Saya kurang setuju dengan pendapat ini. Ada baiknya dibentuk foundation tersebut dibentuk oleh sekolah, praktisi dan vendor. Saya tidak setuju dengan model menodong/meminta-minta kepada salah satu pihak. Ini haruslah merupakan suatu program bersama yang dibuat dengan visi yang benar, didanai bersama dan dimanfaatkan bersama.
Sumbo Tinarbuko:
Selain memberikan beasiswa kepada insan periklanan dan dosen desain komunikasi visual/periklanan, Advertising Foundation ini juga mencetak CD yang berisi pemenang lomba iklan (Citra Pariwara) di Indonesia dan di luar Indonesia berikut konsepnya untuk diberikan ke berbagai perguruan tinggi yang memiliki jurusan desain komunikasi visual dan periklanan agar perkembangan tersebut bisa disikapi dan diadaptasi di lembaga pendidikan tersebut.
Andi S. Boediman:
Produksi CDnya sih bisa menjadi satu profit center yang dananya malah bisa digunakan sebagai funding untuk edukasi ke lingkungan akademis. Saya yakin produksi CD semacam ini banyak diminati siswa, apalagi kita minta kepada mahasiswa untuk menghargai karya cipta kita sendiri dengan membeli dengan harga pantas, bukan membajak.
Sumbo Tinarbuko:
Saya bawakan data visual berupa iklan bank Mandiri dan iklan kartu Hallo. Mahasiswa saya minta me-redesign iklan tersebut dengan pendekatan gaya futurisme, bauhaus, konstruktivisme dan beggarstaff. Hasilnya didiskusikan, dan dipresentasikan. Hasil yang dicapai: mahasiswa mengetahui perkembangan sejarah desain grafis dan penerapan berbagai isme desain grafis itu dalam konteks kekinian.
Andi S. Boediman:
Ide-idenya bagus. Saya melihat konteks serupa diaplikasikan di School of Visual Arts – New York. Siswa diminta mendesain gerbong kereta api yang bisa menunjukkan Warhol, Picasso, Madonna, dll, ala iklan Absolut Vodka. Hasilnya spektakuler.
Saya pikir terobosan kurikulum semacam ini perlu direkam dalam bentuk buku atau online sehingga menjadi satu wacana yang bisa diadaptasi dan diaplikasikan oleh sekolah-sekolah lain.
Sumbo Tinarbuko:
Justru Mas Adit (UNTAR) dan kawan-kawan perguruan tinggi desain dari Jakarta: BINUS, Paramadina Mulya, InterStudy DKV S-1, IKJ, Pelita Harapan plus shortcourse desain komunikasi visual yang lebih tepat menjadi penyelenggara. Saya akan dengan senang hati membantu.
Andi S. Boediman:
Mungkin sedikit berbeda dengan di Yogya yang lebih ‘guyub’. Di Jakarta masih sulit untuk menjalin komunikasi antar ‘petinggi’ sekolah. Saya juga ingin menjalin suatu forum bersama di mana masing-masing dari kita bisa mempresentasikan hasil pencapaian kita selama ini, baik dari kurikulum, terobosan-terobosan baru, menjalin kerjasama, dll, seperti laiknya Siggraph di Amrik.***
Make your interactions with people transformational, not just transactional.