Poster berdasarkan risalah Kamus Istilah Periklanan Indonesia adalah iklan warna berukuran besar yang dicetak pada selembar kertas, kain dan ditempatkan pada panel, dinding, atau kaca jendela. Poster bisa juga diartikan sebagai sebuah bentuk informasi untuk khalayak luas yang berbentuk gambar. Sedangkan titik berat penekanannya terletak pada unsur pesan yang dilontarkan kepada target sasarannya.
Poster merupakan salah satu media komunikasi visual berbentuk dua dimensional. Kehadirannya bertujuan menyampaikan suatu pesan, keinginan, mengumumkan sesuatu agar diketahui masyarakat dan mengingatkan mereka tentang hal-hal yang dianggap penting.
Di samping tujuan tersebut, dalam praktik sehari-hari, penggunaan poster dibagi dua. Pertama, poster komersial. Tugasnya mengkampanyekan suatu produk dagang yang berorientasi pada profit, guna meningkatkan volume penjualan dan pemasaran produk tersebut. Kedua, poster non komersial (sosial). Bertujuan melayani kepentingan umum. Berguna sebagai media penyampai pesan atau penerangan. Tidak berbau bisnis.
Ditilik dari sejarahnya, poster merupakan bagian seni murni. Media ekspresi para perupa, dengan salah satu ‘gembongnya’ Henri Toulouse Lautrec. Perkembangan berikutnya poster dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis dan bentuk-bentuk komersial lainnya. Hal itu sangat terasa setelah revolusi industri. Mengapa? Sebab pasca revolusi industri berdampak pada kemajuan teknologi komunikasi, memaksa seni poster dimanfaatkan sebagai seni kagunan. Artinya, dengan proses mesinisasi, memberi peluang dan kesempatan bagi seni poster untuk mendukung penerbitan dan percetakan. Di sini kebutuhan applied terasa sebagai media baru.
Poster sebagai seni terap semakin dibutuhkan semenjak adanya mass production yang mengharuskan orang untuk memasarkan barang dalam konteks industrialisasi. Paparan di atas ditinjau dari sudut pandang ekonomi dan komunikasi.
Sedangkan dari sisi kepentingan politik, ternyata poster menjadi media populer pendukung spirit kebangsaan. Di masa revolusi fisik misalnya, kata-kata seperti ‘’bamboe roentjing siaap mengusir penjajah’’ atau poster dengan ilustrasi kepalan tangan yang menguarkan pesan ‘’tetap merdeka!’’ merupakan seruan untuk membakar semangat juang. Bangsa Indonesia waktu itu harus bertempur mati-matian, mengerahkan segala daya dan upaya untuk mempertahankan kemerdekaan. Poster-poster tersebut berperan sebagai media pendukung spirit kebangsaan.
Pasca Perang Dunia II, muncullah negara-negara berkembang berstatus merdeka. Mereka melepaskan cengkeraman dari belenggu negara adidaya. Berkaitan dengan itu, poster mereka manfaatkan sebagai media pembangunan. Artinya, poster digunakan untuk mengajak masyarakat agar berpartisipasi aktif dalam mengisi pembangunan.
Di Indonesia, poster mulanya digunakan untuk membangkitkan nasionalisme. Zaman Orde Lama misalnya, poster dipakai sebagai alat komunikasi massa dalam hubungannya dengan politik praktis.
Masuknya Penanaman Modal Asing (PMA), 1968, memberi suasana baru dalam perekonomian Indonesia. Apalagi dengan hadirnya mesin offset yang bisa menghasilkan separasi warna. Fenomena ini memberi estetika baru bagi dunia poster dalam konteks applied art (seni kagunan).
Sebagai suatu kegiatan yang menyangkut alam pikiran dan perbuatan manusia untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan ketika berhadapan dengan lingkungannya, menjadikan desain poster sangat erat berhubungan dengan kebudayaan. Yakni kebudayaan yang benar-benar dihayati, bukan kebudayaan dalam arti sekumpulan sisa bentuk, warna dan gerak dari masa lampau dan yang pada masa kini dikagumi sebagai benda asing terlepas dari diri manusia sendiri yang mengamatinya.
Persahabatan antara desain poster dengan manusia terletak pada tahapan mengangkat harkat dan martabat manusia menjadi satu dimensi yang lebih tinggi. Sebab desain dalam pengertian modern adalah desain yang dihasilkan melalui metode berpikir. Berlandaskan pada ilmu pengetahuan, bersifat rasional dan pragmatis. Ia lahir karena ilmu pengetahuan modern telah memungkinkan timbulnya industrialisasi. Sifatnya tidak bisa dilepaskan dari dua gejala yang saling berkait sebagai konsekuensi industrialisasi. Semuanya adalah produk massa dan konsumsi massa hasil industrialisasi.
Titik tolak penciptaan poster sebagai applied art, karena dianggap kepanjangan tangan dari sumber bisnis: pengusaha, produsen, atau pemerintah. Terkait dengan itu, perkembangan teknologi baru selalu diantisipasi untuk kebutuhan bisnis komersial. Karena itulah, poster tanpa teks atau pesan, tidak bisa jalan. Unsur verbal dan visual sulit dipisahkan. Lalu bagaimana sistem pembagiannya, itu hanya masalah prosentase saja. Akhir-akhir ini, dengan banyaknya saingan, orang mulai mengali bahasa visual untuk dikembangkan sebagai daya tarik utama.
Dalam perkembangan berikutnya, bentuk poster kembali ke bentuk yang bersifat simple. Poster sekarang untuk kepentingan komunikasi. Teknisnya bergaya ilustrasi. Visualisasinya kembali seperti dulu, cenderung lebih sederhana. Poster sekarang boom product. Isinya singkat, padat, dan mudah dimengerti oleh publik. Kecenderungan semacam itu terjadi disebabkan karena apresiasi masyarakat terhadap desain poster semakin tinggi.
Poster sebagai salah satu media komunikasi visual, keberadaannya dianggap oleh sementara pihak sangat efektif. Karena poster dapat membawa masyarakat untuk berkomunikasi dua arah. Efektivitas sebuah poster juga tergantung bagaimana pesan-pesan tersebut disampaikan dalam kemasan bentuk informasi yang komunikatif, unik, dan persuasif.
Paparan di atas adalah narasi tentang desain poster komersial dengan segala atribut pro dan kontra terhadap keberadaannya selama ini. Sebagai counter image atas wacana desain poster komersial, beberapa praktisi desain komunikasi visual dan periklanan menggagas munculnya desain poster sosial.
Dalam konteks ini, mereka melakukan eksperimen kreatif dan mencoba mengangkat posisi karya desain komunikasi visual dari sekadar objek menjadi sebuah subjek. Artinya, mereka berupaya mengangkat karya desain komunikasi visual menjadi sebuah wacana yang bisa didiskusikan dalam perspektif lintas ilmu. Mereka berusaha merancang desain sosial tersebut untuk melewati dimensi waktu. Ketika fungsi informasi yang diemban oleh karya desain telah berakhir, keberadaan karya desain sosial tersebut masih bisa dimikmati sebagai sebuah karya visual yang artistik, menarik dan indah ketika di pajang disudut ruang kantor atau rumah tinggal.
Mereka memilih desain sosial sebagai wahana untuk mensosialisasikan pesan-pesan sosial dengan asumsi dasar bahwa desain sosial sebagai wacana ekspresi artistik tidak semata-mata mengabdi untuk kepentingan komersial dan kepanjangan tangan kapitalistik, tetapi karya desain sosial sebagai sebuah karya seni tetap bisa dipajang, dinikmati dan dipahami makna pesannya tanpa harus mengalami masa kadaluwarsa.
Secara sederhana, desain poster sosial diterjunkan sebagai alat untuk menyebarluaskan pesan-pesan sosial kepada masyarakat dengan cara penyampaian yang berpedoman pada metode periklanan komersial. Tujuannya agar kelompok tertentu dalam masyarakat mau memikirkan, syukur-syukur turut terlibat secara aktif seperti yang dimaksudkan oleh pesan tersebut. Misalnya, desain poster sosial gerakan Anti Narkoba, Kesetaraan Jender, Pemberdayaan Perempuan, Trafficking, Ayo Sekolah, Subsidi Listrik, Pemilu yang Jujur dan Adil, Kerusuhan Antarsuku, Kebakaran Hutan, Bencana Alam, Kerukunan Agama, Ras dan Suku, Pelestarian Lingkungan Hidup, Konservasi Hutan, Imunisasi Nasional, Membudayakan Pengunaan Helem dan Sabuk Pengaman, Tertib Berlalulintas, Sosialisasi Uang Palsu, Demam Berdarah, Virus SARS, Pariwisata, Bahaya Terorisme, Mencintai dan Menggunakan Produk dalam Negeri, Kebebasan Pers, Sosialisasi HAKI, dan sebagainya. Biasanya tema-tema tersebut disesuaikan dengan masalah nasional yang sedang aktual di tengah masyarakat.
Melalui desain poster sosial orang bisa diajak berkomunikasi guna memikirkan sesuatu yang bersifat memunculkan kesadaran baru yang bersumber dari nurani individual maupun kelompok. Di antaranya, hal-hal yang berorientasi tentang lingkungan hidup, sosial kemasyarakatan, religiusitas agama, dan kebudayaan. Semuanya itu adalah fenomena yang ada di seputar kita yang sebenarnya telah kita ketahui dan rasakan, namun tak pernah terpikirkan karena mungkin tidak menghantui, menyangkut, bahkan mengusik kepentingan kita secara langsung!
Sumbo Tinarbuko, Konsultan Desain dan Dosen Desain Komunikasi Visual FSR-ISI Yogyakarta.
Sekolah membuat desainer menjadi pintar, bekerja membuat desainer menjadi paham, pengalaman panjang membuat desainer menjadi arif