Dari Nirmana
Tulisan ini berawal dari usaha memahami kerja mendesain (dkv) dari sisi ruang dan ruang kosong. Umumnya mendesain, lebih spesifiknya desain tata letak, dipahami sebagai kegiatan menata berbagai unsur di ruang tertentu seperti halaman buku, surat kabar, undangan, iklan, dsb. Kerja mendesain lebih tertuju pada sisi yang terlihat, termasuk ruang. Rasa penasaran saya muncul manakala menjumpai penjelasan tentang ruang yang terdapat di halaman 127 buku “Nirmana Elemen-elemen Seni dan Desain” karya Sadjiman Ebdi Sanyoto penerbit (Jalasutra, cetakan II, September 2010). Pada paragraf pertama di halaman tersebut tertulis demikian with this post:
“Setiap bentuk pasti menempati ruang. Oleh karena itu, ruang merupakan unsur rupa yang mesti ada, karena ruang merupakan tempat bentuk-bentuk berada (exist). Dengan kata lain bahwa setiap bentuk pasti menempati ruang”.
Dalam buku tersebut dijelaskan pula bahwa ada dua hal mendasar dalam Nirmana yaitu unsur dan prinsip. Dalam buku lain, “Strategi Visual” karya Andry Masri (Jalasutra, Desember 2010), memilih penamaan unsur visual dan unsur perseptual. Unsur visual seperti pengertian unsur dalam buku Nirmana, dan unsur perseptual tertuju pada prinsip. Sebagai catatan, kedua buku tersebut memiliki kesamaan juga perbedaan dalam mengentry unsur/visual maupun prinsip/perseptual.
Tulisan ini tidak membahas perbedaan atau kesamaan penamaan dalam kedua buku tersebut. Tulisan ini berangkat dari penjelasan tentang ruang. Bahwa di buku Nirmana dituliskan dua kali “setiap bentuk pasti menempati ruang”. Kata pasti di situ, dan dua kali ia dituliskan, mengandaikan hal yang niscaya. Hal niscaya lainnya terkait unsur juga dituliskan dalam buku Nirmana. Dengan demikian dalam memahami Nirmana (dan desain) terdapat tiga hal dasar yaitu unsur, prinsip, dan dalil. Hanya saja dalam buku Nirmana tidak memilih istilah dalil namun hubungan-hubungan antar unsur. Dalam hal dalil atau hubungan-hubungan antar unsur inilah tulisan ini mencoba memahami ruang dan ruang kosong sebagai satu cara memahami kerja mendesain.
Ke Karya
Di kesempatan lain saya melakukan pengamatan terhadap desain tata letak buku. Seorang rekan desainer tata letak, yaitu Gamaliel W Budiharga, kerap saya sapa dengan bung Gama, desain tata letak garapannya memiliki kekhasan, katakanlah kematangan. Bung Gama kerap mendesain dengan mengalokasikan ruang kosong yang cukup mendapat perhatian lebih dibanding misalkan desainer lain. Latar belakangnya yang tidak mengenyam pendidikan formal dkv (S1) membuat saya penasaran. Selain mengalokasikan ruang kosong bung Gama juga kerap mengelola tipografi. Bisa jadi karena tidak menggambar ilustrasi maka cara bung Gama ‘menggambar’ yaitu menggunakan ruang kosong dan tipografi, selain juga pilihan material (kertas). Ruang dan tipografi merupakan unsur visual, artinya ia terlihat. Cara mengelola keduanya itulah yang memerkuat taste desain garapannya.
Kembali pada pernyataan bahwa setiap bentuk pasti menempati ruang. Ruang ini terlebih dahulu ada sebagai satu syarat agar bentuk-bentuk berada (exist). Maka, dalam hal apakah desainer tata letak buku memiliki kesamaan dan perbedaan bisa dijelaskan dari situ. Umumnya kesamaan para desainer tata letak yaitu mereka menghadapi ruang yang sama, yaitu ruang kosong. Perbedaannya yaitu dalam mengelolanya. Ada desainer tata letak yang mengalokasikan ruang kosong lebih banyak dan operasional/terkendali dibanding desainer lain. Ada desainer yang bermain dengan melibatkan ilustrasi dalam bentuk gambar atau foto. Ada pula desainer yang memilih huruf dan/atau ruang kosong sebagai satu cara mengelola visual tata letak halaman, dan berbagai unsur-prinsip lain. Meski ruang kosong merupakan ruang yang pertama kali dihadapi para desainer tata letak, sangat sering (hampir selalu) ruang kosong ini ada hingga akhir atau hingga desain selesai. Seperti apa penjelasannya?
Berkunjung ke Ruang(-ruang) Kosong
Ruang kosong dalam desain tata letak bisa tertuju ke berbagai hal (anatomi) seperti margin, jarak antar kolom (gutter), jarak antar baris. Ruang kosong juga bisa tertuju pada unsur desain seperti huruf, yaitu pada ruang negatif huruf. Ruang kosong juga bisa tertuju pada ilustrasi, misalkan bidang langit biru pada sebuah foto landscape, atau langit gelap. Ruang kosong juga bisa tertuju pada penempatan objek berjarak seperti yang terdapat dalam katalog belanja. Ruang kosong juga bisa tertuju pada wilayah bersih keliling logo. Ruang kosong juga bisa menunjuk pada jarak antar panil dalam komik (parit).
Contoh-contoh di atas menggambarkan keragaman ruang kosong. Singkat kata, ada ruang kosong yang dipahami sebagai ruang sisa atau sejak awal kurang terencana, ada ruang kosong yang terberi/bawaan (misal, seperti ruang negatif pada huruf, atau bidang kosong pada foto), dan yang sejak awal dikelola (misal, seperti pada katalog, corporate identity).
Kerja Ruang Kosong
Ruang kosong tidak bekerja sebatas untuk keperluan estetik. Ruang kosong juga bekerja untuk memisahkan satu unsur dengan unsur lain. Hal ini sangat terasa sewaktu mendesain katalog produk termasuk berbagai logo yang harus dibaringkan di situ. Ruang kosong juga bisa memercepat pelihat dalam membaca pesan sebuah papan penanda/sing board, atau billboard, atau plang nama. Justeru papan penanda yang mengalokasikan ruang kosong cukup luas di keliling tepinyalah yang memudahkan terbaca konten di dalamnya. Kecepatan membaca di situ disebabkan sign board terpasang di sebuah ruang yang memiliki latar (background) lingkungan seperti pepohonan, bangunan, langit, dsb. Ruang kosong keliling papan itulah yang bertugas memisahkan konten dalam sign board dengan lingkungan yang menjadi latarnya. Sign board yang penuh sesak bisa berpotensi memerlemah kecepatan membaca karena mata pelihat juga bertugas memisahkan sign board dengan lingkungan.
Meruangkan Kosong
Pemahaman ruang dan ruang kosong seperti yang dimaksud di atas setidaknya bisa menjelaskan pada kita bahwa mendesain tidak selalu dipahami sebagai kerja menata letak berbagai unsur visual dan prinsip. Kerja mendesain juga bisa dipahami sebagai cara mengelola ruang kosong mengingat ruang kosong merupakan sesuatu yang ada sejak awal hingga akhir dalam kerja mendesain. Tentu, tiap peruntukkan media memiliki karakter, keber-ada-an, dan persepsi ruang kosongnya masing-masing seperti desain untuk kebutuhan administrasi, desain untuk anak-anak, desain vernakular, dsb.
Jika sebelumnya saya fokus pada hal-hal yang terlihat, kini saya menikmati dan memahami sebuah desain dari cara ruang kosong dikelola di situ. Barangkali ini bisa menjelaskan mengapa harga desain tata letak buku oleh sebagian pihak susah diapresiasi dan karenanya yang dihitung dari luas halaman. Cara ini kurang dapat menjelaskan fenomena kerja mendesain. Justeru bagaimana ruang kosong dikelola itulah yang perlu mendapat perhatian dan apresiasi mengingat ruang kosong juga bekerja untuk berbagai hal: membaringkan konten, memisahkan sekaligus menyatukan/menghubungkan antar konten, estetik, keteraturan, variabel, ergonomi, dan berbagai hal lain yang melibatkan ruang kosong.
Kerja mendesain dalam pengertian mengelola ruang kosong ini lebih terasa untuk desain multiple pages seperti buku, katalog, meski prinsip dasarnya bisa untuk kebutuhan mendesain seperti papan nama, desain kemasan, graphic interface, dan media lain. Hal-hal ini yang belum tentu bisa dihitung berdasarkan luasnya, namun dari cara serta kompleksitas dalam mengelolanya.
Yogyakarta, Maret 2018
Koskow
Catatan:
Pustaka:
“Seorang desainer harus memiliki keberpihakan pada konteks membangun manusia Indonesia. Peka, tanggap, berwawasan, komunikatif adalah modal menjadikan desainnya sebagai alat perubahan”