Nonton Wayang (01/03)

130106-pagelaran-wayang-kulit

Saat masih sekolah dasar dahulu, pengalaman tak terlupakan adalah saat dapat hadir sekian kali di pertunjukan wayang kulit. Jangan bayangkan tempat pertunjukkan yang berpendingin udara lengkap dengan tempat duduk ala konser. Tempat yang ada adalah rumah joglo si pemilik acara, yang dibuka sekat depannya. untuk dapat menampung para tamu.

Menonton wayang kulit adalah satu ritual komplet yang tidak berhenti di sensasi menonton gelaran wayang kulitnya. Saat itu, perjalanan menuju tempat acara sudah menjadi sensasi tersendiri. Listrik yang saat itu belum masuk daerah simbah saya membawa langkah harus berjalan dalam kelompok-kelompok pejalan kaki. Dilengkapi dengan lampu senter yang kadang tidak kami gunakan karena rembulan bersinar menyinari perjalanan. Temaram malam, dengan bintang yang berserak di langit serta rembulan yang memancarkan cahaya peraknya, suara binatang malam, langkah kaki yang terdengar jelas dan senda gurau dalam bahasa jawa menjadi satu kesatuan ritual awal untuk menonton pertunjukkan. Kadang perjalanan tak hanya melintas aspal, namun juga melewati jalan bebatuan, naik turun bukit.

Tiba di tempat acara, akan disambut keriaan yang eksotis. Para pedagang berjejer di kiri kanan jalan, di depan rumah pemilik acara. Ada diesel seadanya sebagai sumber listrik guna penerangan, sedang lampu petromax yang tersebar menjadi penerang utama di keriaan. Dari makanan kecil (legendar, pecel, kacang rebus, kacang goreng, kue kolong singkong), kelengkapan rokok klobot/linting, hingga judi dadu membaur menyatu. Saya lupa siapa yang berkisah, penjual serta judi dadu di keriaan belumlah lengkap tanpa hadirnya orang gila. Yap, kehadiran orang gila akan melengkapi keriaan malam pertunjukkan.

Masuk ke rumah pemilik acara, bila acaranya itu berbentuk kondangan, maka kita akan dipersilakan untuk makan malam terlebih dahulu. Teh manis hangat dan juga kopi tersaji ruah, dipersilakan untuk dinikmati. Sedang rokok kretek dikeluarkan dari bungkusnya ditaruh di gelas-gelas, tersaji bersama kelengkapan rokok linting, dari kertas papir, tembakau, cengkeh. Asbak serta pematik api kaleng berbahan bakar bensin, akan lengkap menemani.

Berada di ruang pertunjukkan, kita akan disuguhi kelir kain putih yang membentang, deret wayang kulit warna-warni terjejer rapi dengan dua gunungan bersilangan tertancap gagah pada gedebok pisang. Para niyaga siap di balik alat musik masing-masing, begitu pun para sinden telah duduk simpuh di satu sisi. Duduk simpuh adalah ritual yang tak kalah dasyat dengan duduknya dalang. Bayangkan selama semalam suntuk para sinden dalam posisi duduk simpuh, kaki terlipat menahan beban tubuh, menahan kantuk, menembangkan bait-bait kidung.

 

Baca juga: Nonton Wayang 02

 


Terbit perdana di situs pribadi widhyatmoko.wordpress.com pada 7 Januari 2013.
Foto milik flydime (This file is licensed under the Creative Commons Attribution 2.0 Generic)

Quoted

Limitations and distractions are hidden blessings

Nigel Sielegar