Di desa tempat almarhum simbah saya tinggal, dulu ada seorang dalang. Dalang turun temurun, Warno namanya. Selain mendalang dan membuat wayang, kesehariannya ya sebagai petani ladang, karena tidak pasti tiap minggu bakal naik pentas. Tiga tahun yang lalu saat saya berkunjung ke desa kecil itu sudah berniat untuk melakukan riset kecil-kecilan, niat untuk ‘ngobrol ngalor-ngidul seputar wayang, terlebih tatahan wayang yang ia hasilkan relatif halus, dengan pewarnaan yang juga rapi. Namun rencana tinggal rencana, beberapa waktu sebelumnya ajal sudah lebih dahulu menjemput, kandas sudah rencana untuk ‘belajar’.
Saat masih di sekolah dasar dan juga sedang berlibur di rumah simbah saya, satu kali saya pernah gagal menonton pertunjukkan wayang, kali itu dalang yang akan pentas bukan dalang Warno. Gagal menonton itu semakin membuat penasaran karena semenjak beberapa hari sebelumnya desa kecil di pegunungan Sewu tersebut sudah ramai memperbicangkan pentas wayang kulit yang akan membawakan wayang keramat Kyai Brayut dan Nyai Brayut. Aroma mistis langsung menyeruak, konon tidak sembarang dalang mampu membawakan dua wayang tersebut. Pentas itu sendiri akan berlangsung di desa tetangga, sekian kilometer mesti ditempuh, tak ada aspal, yang ada adalah batu kapur yang dipecahkan lalu ditata menjadi jalan. Desa tetangga itu sendiri berada di balik pegunungan di sisi telaga yang kini telah kering menjadi ladang.
Pas malam pentas tiba, hujan badai melanda, turun deras tak terkira. Saya tak jadi keluar rumah, hanya sanyup terdengar dari kejauhan suara gending membelah malam. Obrolan malam itu akhirnya dipenuhi dengan saling menghubungkan ini-itu, mengapa sampai turun hujan deras di saat pentas berlangsung, aroma mistis dan klenik menyeruak menjadi bumbu bahasan.
Kyai Brayut dan Nyai Brayut sendiri menurut Eksiklopedi Wayang Indonesia merupakan figur peraga wayang kulit berupa tokoh perempuan menggendong dan menuntun anaknya, serta tokoh laki-laki memikul beberapa anaknya di dalam keranjang yang dibawa. Si perempuan disebut Nyai Brayut, yang laki-laki disebut Kyai Brayut. Wayang Kyai Brayut dan Nyai Brayut ini digunakan untuk upacara ritual peringatan tujuh bulan orang mengandung (mitoni, tingkeban, atau tujuh bulanan), dengan harapan dapat mempunyai keturunan dan bayi yang dikandung dapat lahir dengan selamat. Menurut kepercayaan tradisi lama di Jawa Tengah dan Jawa Timur, peraga wayang tokoh Brayut akan mempunyai kekuatan magis yang berpengaruh baik bagi wanita yang mengandung, jika penatahnya seorang jejaka yang belum dikhitan. Itulah sebabnya peraga wayang Brayut kebanyakan bukan wayang yang ditatah dan disungging dengan kualitas seni yang tinggi.
Akhirnya saya kehilangan kesempatan untuk melihat wayang ‘keramat’ itu, dan hingga hari ini belum pernah sekalipun melihat bentuk aslinya, apalagi menyaksikan pada saat dipentaskan.
Bagi saya pentas wayang kulit adalah sebuah pentas yang tak pernah sepenuhnya saya pahami baik bahasa apalagi cerita yang dibawakannya, dahulu itu simbah kakung saya pasti “terganggu” bila menonton wayang kulit bersama saya, terpaksa harus meladeni anak kecil yang sepanjang waktu terus bertanya ini-itu bermakna apa. Nuansa keriaan yang terciptalah yang membawa diri ini selalu berkeinginan untuk menikmatinya lagi. Hingga kini masih tak terbayang betapa ramainya suasana seperti yang pernah bapak saya ceritakan saat beliau masih muda dulu, di daerahnya pernah digelar wayang kulit 7 malam berturut-turut membawakan lakon perang Bharatayudha yang menurut pakem ceritanya berlangsung selama 14 hari. Bayangkan betapa riuh dan mistisnya suasana 7 malam itu, dipenuhi lakon perang ‘bersimbah darah’ Kurusetra.
Nonton Wayang 01 | Nonton Wayang 02
Terbit perdana di situs pribadi widhyatmoko.wordpress.com pada 9 Januari 2013.
Foto: Eksiklopedi Wayang Indonesia
The fate of a designer is not determined by the public system, but by the way he sees his own life