Percakapan Luar-Dalam

Gamaliel W. Budiharga

Catatan: Tulisan ini adalah pengantar buku Percakapan Huruf: Prinsip Tipografi Desain yang ditulis oleh FX ‘Koskow’ Widyatmoko. Buku tersebut diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, September 2021 dalam format buku digital dan print on demand.


“Buku itu seperti benih. Buku bisa tergeletak terlantar selama berabad-abad lalu berbunga di tanah yang tak terduga. “(Carl Sagan, 1980)

Tentang Koskow dan Percakapannya

Percakapan berarti pengakuan bahwa kita cuma punya separuh kebenaran. 

Gagasan yang dituliskan Koskow selalu diolah dari percakapannya dengan seseorang, entah itu kerabatnya, muridnya, temannya atau sekadar orang asing yang ditemuinya. Namun, bukan hanya orang yang diajaknya bercakap, materi lain seperti huruf, koran dan buku pun diajaknya bercakap. Tentunya bukan dalam nuansa yang mistis, melainkan nuansa intelektual. Lewat percakapan dia berusaha menyentuh pribadi dan materi. Lewat percakapan pula dia punya ruang untuk bertanya dan dipertanyakan. 

Selain diolah dari percakapan, tulisannya juga berasal dari pengamatan. Koskow adalah pengamat yang jeli. Dia mengamati obyek desain yang berada dalam jangkauannya, buku yang baru saja dia dapatkan, tugas yang baru diselesaikan muridnya atau kemasan makanan yang baru saja dimakannya. Sesuatu yang nampaknya sederhana dan sehari-sehari ternyata bisa mengagetkan jika diamati dan dipertanyakan terus menerus. Caranya bercakap, bertanya dan mengamati, membuat desain bukan sekadar obyek yg diteliti secara akademis, namun juga obyek yg punya kaitan langsung dengan kegelisahannya dan mungkin juga kegelisahan kita. 

Setelahnya, semua itu diendapkan dan dituliskannya bersama sunyi. 

Dulu ketika saya masih tinggal di Yogya, hampir setiap bulan dia menyodorkan tulisannya kepada saya dan teman-teman. Ujarnya: untuk sekadar dibaca, dikoreksi atau dijadikan bahan percakapan. Kadang dia kirimkan tulisannya ke DGI (Desain Grafis Indonesia), kadang dia bagi di akun media sosialnya dan kadang juga diberikan langsung kepada murid-muridnya. Menulis menjadi caranya untuk mengungkapkan gagasannya selain menggambar. Tulisannya mudah dikenali. Dia bercerita lewat tulisan dan kerap membuat istilah atau frasa baru dalam tulisan-tulisannya, yang paling sering adalah gabungan dua kata dengan tanda hubung di antaranya, seperti: menyumur-dalam, alasan-tujuan, bertemu-daya, mengamat-kenali, ditata-kelola dan sebagainya. Hal ini sengaja dilakukan untuk membangun makna yang lebih rinci dan lebih dalam atau dalam frasa khas Koskow: menyumur-makna. 

Menjadi sebuah kebahagiaan bila tulisannya dibukukan dan akhirnya diterbitkan. Buku selalu menjadi alasan-tujuannya. Sebagai intelektual dia terpikat pada isinya, sebagai seniman-desainer dia terpikat pada bentuknya. Tumpukan buku yang semrawut adalah pemandangan di rumahnya. Buku-buku itu menjadi teman bercakap sekaligus sumber inspirasi yang tidak habis-habis. Bahkan, selama ini tulisan-tulisannya banyak berkutat di sekitar buku: perwajahan, tata letak dan tipografi. Buku pula tujuan akhir, tempat gagasannya ditata-letakkan untuk kemudian menjadi meme, berpindah dari orang ke orang. 

Percakapan, pengamatan dan kesunyian adalah khas ilmu pengetahuan. 

Tentang Prinsip Tipografi Desain

“Tipografi desain menempatkan desain sebagai faktor yang turut memengaruhi seperti apa dan bagaimana huruf diperankan. Faktor itulah yang mau dilihat dalam term tipografi desain.” -Koskow, 2021

Frasa ‘tipografi desain’, seperti yang disebutkan Koskow di buku berjudul Nirmana Tipografi Desain (2019), sudah akrab di Kampus ISI dan sudah dipakai sebagai judul mata kuliah. Tipografi desain memberikan penekanan pada praktik tipografi yang ditemukan di berbagai media. Ada dua prinsip yang diperkenalkan dalam tipografi desain, yaitu prinsip internal dan eksternal.

Prinsip internal berkaitan dengan huruf sebagai teks yang mencakup dasar tipografi bahwa untuk mencapai efektifitas komunikasi huruf harus jelas dan terbaca di mana pun medianya. Sedangkan, prinsip eksternal berkaitan dengan huruf dalam konteks bahwa ketika berada di sebuah media, ada syarat-syarat lain diterapkan untuk mencapai efek komunikasi tertentu. Syarat semacam itu terkadang membuat ‘aturan’ teknis dalam tipografi menjadi tidak relevan. Misalnya, ajaran bagaimana mengelola tipografi yang baik, seperti memberbesar dan mengecilkan font dengan proporsional, bisa jadi tidak berlaku di sebuah surat kabar cetak.

Amatannya terhadap layout koran memperlihatkan nalar kerja jurnalistik yang ritmenya cepat dan ruangnya terbatas. Ada prinsip atau aturan yang diterapkan dalam sebuah surat kabar, seperti sambungan yang harus selesai dalam satu kalimat. Artinya tidak ada sambungan di tengah-tengah kalimat dan sekaligus menjadi akhir dalam sebuah paragraf. Nah strategi yang kerap diambil untuk mengatasi hal tersebut, salah satunya dengan memipihkan huruf dan mengatur kerning huruf. Memipihkan huruf adalah teknik mengubah huruf yang tidak proporsional dan bahkan dianggap ‘memperkosa’ huruf. Hal ini terjadi karena ada aturan atau batasan luar yang tidak bisa dikendalikan desainer. Maka pada konteks media seperti ini, muncul yang dia sebut sebagai prinsip kecepatan. 

Bryan Lawson (1980) dalam How Designers Think pernah menyebut soal batasan desain. Batasan ini menyangkut batasan internal dan batasan eksternal. Batasan internal adalah batasan yang masih di dalam kendali desainer sedangkan batasan eksternal adalah batasan yang berada di luar kendali desainer. Paul Rand (1970) menyebut “material terberi” adalah batasan eksternal bagi desainer grafis. “Material terberi” misalnya produk yang harus didesain, format dan medium, serta proses produksi. Faktor-faktor tersebut ada di luar kendali desainer dan mau tidak mau harus terhubung dengan karyanya. Prinsip eksternal dalam tipografi desain muncul karena adanya syarat atau batasan-batasan tersebut.  

Pembagian luar-dalam untuk melakukan analisis atau kritik terhadap sebuah karya jamak ditemukan di setiap disiplin keilmuan. Misalnya dalam kajian sastra, dikenal adanya analisis unsur intrinsik dan analisis unsur ekstrinsik. Unsuk intrinsik adalah unsur pembangun dalam sebuah karya sastra dan unsur ekstrinsik adalah unsur di luar karya sastra yang mempengaruhi karya tersebut. Dalam kajian bahasa dan budaya pun dikenal model analisis struktur dan analisis wacana. Dalam kritik desain atau kajian desain juga dimungkinkan pendekatan dari luar bidang desain. Misalnya, dengan pendekatan budaya, ada berbagai macam teori dan metode yang ‘dipinjam’ dari ilmu sosial-budaya yang berkutat di sekitar konteks dan pemaknaan desain, seperti: teori ideologi dan teori wacana dan semiotika. Analisis luar-dalam saling melengkapi satu sama lain serta memperkaya pemahaman kita dalam melihat desain. Dalam buku ini, ideologi menjadi istimewa untuk dibicarakan karena berkait dengan alasan-tujuan faktor eksternal. 

Tentang Ideologi

“… selain menyangkut ketrampilan teknis dan pengetahuan teoritis desain juga diwarnai oleh berbagai kepentingan dan tujuan. Inilah nanti saya sebut sebagai faktor eksternal. Faktor eksternal ini bisa berawal dari pikiran ideologis.” -Koskow, 2021

Sejarawan Yuval Noah Harari (2020) dalam Sapiens mengungkapkan bahwa revolusi kognitif yang dimulai sejak 70.000 tahun silam, memunculkan cara-cara baru dalam berkomunikasi akibat munculnya bahasa. Yang istimewa dari bahasa manusia adalah kemampuannya untuk menyampaikan informasi yang sama sekali tidak ada atau fiksi. Dari situ munculah legenda, mitos dewa dewi hingga agama. “Singa adalah arwah pelindung suku kita.” Ini contoh ungkapan khas manusia yang tidak bisa ditiru oleh hewan lain. Fiksi  tidak hanya memungkinkan kita untuk berkhayal sendirian, tapi juga merajut mitos bersama, seperti: kisah-kisah penciptaan, gagasan raja dan gagasan negara bangsa.

Lebih lanjut Harari menyatakan bahwa mitos bukan cuma kisah masa lampau, namun juga kisah hari ini. Lembaga-lembaga modern kita pun, seperti negara, korporasi, dan pengadilan, berjalan dengan nalar mitos. Brand atau merk yang hari ini digeluti oleh para desainer grafis, sebenarnya adalah mitos yang sama dengan brand Firaun. Firaun, Sri Sultan, Jawa dan Indonesia adalah brand. Brand melampaui tubuh biologis, karena brand adalah mitos dan berada dalam imajinasi lewat cerita-cerita yang disebarluaskan oleh orang-orang.  Lewat mitos, ideologi disebarluaskan. Mitos dibangun untuk mengkonkretkan ideologi yang abstrak. Misalnya ideologi keindonesiaan bisa dibangun lewat mitos proklamasi 1945, bendera merah putih, garuda pancasila dan lagu Indonesia Raya. Roland Barthes menyebut mitos sebagai pelayan dari ideologi yang berfungsi mengalamiahkan sejarah sehingga menjadi hal yang lumrah atau tampak wajar.

Dalam konteks politik, ideologi memang identik dengan paham-paham besar yang dipercaya dapat membawa masyarakat sejahtera. Di sini ideologi adalah daya dahsyat yang mampu menggerakkan orang banyak untuk bekerja sama. Namun, dalam arti yang luas ideologi adalah gagasan yang memberikan cara pandang terhadap dunia. Dalam artian ini agama, politik, budaya, gaya hidup sampai aliran musik bisa disebut sebagai ideologi karena menawarkan ideal memandang dan memaknai dunia. 

Prinsip eksternal yang diturunkan dari pengetahuan desain sebenarnya merupakan celah untuk melihat desain dalam bingkai ideologis. Lewat karyanya, desainer juga membangun mitos dan menyebar ideologi. Lalu bagaimana ideologi hadir dan bekerja dalam desain grafis? 

Sebagai desainer grafis, saya sering dimintai bantuan teman yang hendak menikah untuk mendesainkan undangan pernikahannya. Undangan pernikahan yang nampak sederhana, ternyata menyimpan kompleksitas gagasan calon pengantin. “Saya pengen pakai huruf yang seperti ini, seraya menunjukkan jenis huruf script seperti tulisan tangan, sepertinya cocok dengan konsep pernikahan saya yang klasik dan personal.” Kira-kira begitu yang dikatakan teman yang hendak menikah. Selain pilihan huruf atau font, segala hal yang membangun desain (kata-kata, foto, ilustrasi, jenis kertas, warna dan tata letak)  juga diperhatikan dalam kerangka membangun gagasan tersebut. Pilihan terhadap salah satu font, misalnya, mewakili ideal tertentu seperti kemodernan atau kejawaan.

Jika jenis huruf adalah wakil gagasan, maka huruf bisa juga ‘ikut’ berpolitik. Saya mendapat cerita  ini dari artikel yang ditulis D. Hunter Schwarz (2020) di situs Yello, sebuah blog tentang politik visual di Amerika. Dia menceritakan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Katherine Haenschen dan Daniel Tamul (2019). Suatu ketika, Haenschen mengamati kejanggalan alat peraga kampanye seorang kandidat peserta pemilu di Amerika. Di daerah perkotaan seorang kandidat memakai huruf sans serif untuk seluruh alat peraga kampanyenya, sedangkan di daerah pedesaan kandidat yang sama memakai huruf serif untuk alat peraganya. Dia bertanya-tanya apakah kandidat berusaha cari perhatian kepada pemilih yang berbeda dengan identitas visual yang berbeda. Dalam riset yang diberi judul What’s in a Font?: Ideological Perceptions of Typography, mereka menemukan serif dan bold dinilai lebih konservatif, sementara sans serif dan italics dinilai lebih liberal. 

Selain temuan bahwa terlepas dari makna verbalnya jenis huruf memiliki kecenderungan ideologi, bagi saya ada hal lain yang menarik dalam riset ini. Riset ini menunjukkan bahwa dalam konteks kampanye politik yang punya variasi rentang demografis (ras, agama, usia, dsb), panduan desain yang konsisten semacam graphic standard manual bisa jadi tidak bekerja efektif. Justru ketidakkonsistenan desain menjadi kunci untuk menjaring target dari berbagai kalangan. Mungkin inilah yang disebut sebagai prinsip eksternal dalam desain identitas. Dari kasus kampanye tersebut, inkonsistensi semacam itu dimungkinkan karena melihat potensi huruf dalam membentuk makna di benak calon pemilih. Konsistensi yang selama ini disakralkan dalam pendidikan desain grafis dan menjadi satu-satunya panduan dasar dalam desain identitas seolah runtuh dalam konteks komunikasi seperti ini. Konon si kandidat yang diteliti oleh Haenschen dan Tamul tadi berhasil menang dengan ‘trik’ semacam ini.


“Dari situ bolehlah dikenali bahwa kerja menata letak huruf tidak sebatas kerja teknis membaringkan-baringkan huruf. Pilih ini, pilih itu. Taruh sana, taruh sini. Kerja menata letak huruf juga kerja yang menunjukkan kapasitas seorang desainer dalam memahami isi, mencipta, menyusun pola, hingga mengonsep desain secara keseluruhan. Tegangannya yakni memadukan aspek komunikasi informasi dengan estetika.” -Koskow, 2021

Prinsip eksternal yang diperkenalkan dalam buku ini telah berhasil menunjukkan keunikan kerja desain yang tidak cuma terikat pada aturan dasar namun juga bisa melepaskan diri dari aturan dasarnya karena beradaptasi dengan media dan konteksnya. Di samping itu, prinsip eksternal juga menyinggung soal ideologi dalam desain. Harus diakui memang pembicaraan soal ideologi ini masih amat terbatas, karena memang perangkat pengetahuan yang digunakan hanya sebatas teori desain atau seni. Ini memang semacam pintu masuk yang dibuat Koskow untuk menuju ke sana. 

Ada cerita menarik di akhir buku ini yang terjadi di sebuah penerbitan. Cerita soal huruf ‘t’ yang disebut Koskow memiliki ‘teror bentuk’. Mengapa sebuah penerbit takut menggunakan bentuk huruf ‘t’ yang tanpa lengkung atau ekor di bagian bawah? Hal itu disebabkan adanya gagasan tentang bentuk huruf ‘t’ yang berasosiasi dengan salib Kristen dan lebih jauh merepresentasikan proyek Kristenisasi. Di sini nampak bahwa huruf ‘t’ tidak hanya berfungsi sebagai huruf penanda bunyi tetapi juga punya makna lain yang dibentuk oleh agama. 

Melalui cerita di atas, saya rasa Koskow tidak sedang menilai apakah itu baik atau buruk, boleh atau tidak. Cerita itu menyadarkan bahwa kita selalu berpikir dalam kerangka ideologis sehingga membentuk cara kita melihat dunia. Kita kerap terperangkap dalam jerat ideologis karena hal itu kita dianggap sebagai satu-satunya kebenaran. Persis di sinilah pentingnya percakapan, yaitu sebagai jalan keluar dari perangkap ideologi. Percakapan adalah pengakuan bahwa kita cuma punya separuh benar dan dengan rendah hati mengakui bahwa ada separuh kebenaran dalam diri yang lain. Saya berharap percakapan ini membuat kita semakin cakap* mengamati dan memahami desain karena bercakap adalah pintu untuk menjadi cakap.

*) Dalam bahasa Indonesia cakap punya dua makna, selain berarti bicara dan omong, cakap berarti: ahli atau mahir. 

Surabaya, Maret 2021


Gamaliel W. Budiharga adalah pengarah desain sekaligus desainer grafis, lulusan Fisiopl UGM dan Magister Desain ITB. Saat ini bersama Senja Aprela Agustin, teman hidupnya, mengelola Kotasis 333, sebuah studio desain rumahan di Surabaya. Buku karya kolaborasinya bersama Koskow dan Lelaki Budiman, ‘Percakapan Diam-diam’, sempat mendapatkan Pinasthika Award.

Quoted

Ketika dari mata tak turun ke hati, desain pun gagal total

Bambang Widodo