Type :Collective Exhibition
Year :2010
Designer :Indieguerillas
INTERVIEW DENGAN INDIEGUERILLAS:
Apakah Indieguerillas itu? (Pertanyaan ini bisa dijawab dengan ‘credo’ indieguerillas: “we are designer/artist, we are husband and wife, we are javanese yet a global citizen, we love gending and also heavy metal… dst, tapi tentunya juga terbuka bagi jawaban lainnya.
SANTI: Indieguerillas itu work and play. Yang hasilnya kemudian adalah: liburan sambil bekerja, dan bekerja sambil liburan, alias tidak ada hari libur.
MIKO: Indieguerillas adalah catatan dari masing-masing anggotanya. Tentang apa yang kami rasakan pada diri kami dan lingkungan sekitar kami tinggal.
Bisa kalian ceritakan mengenai awal mula Indieguerillas?
Dibentuk tahun 1999, niatnya sebagai tempat praktek ilmu desain grafis yang didapat dari sekolah (dan pergaulan) sekaligus syukur-syukur bisa nambah uang saku dari proyek-proyek kecil yang didapat. Lama-lama bisa juga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan bisa juga buat menabung yang membuat kami mantap untuk menjadikannya sebagai ladang penghasilan. Setelah sekian lama bergelut di dunia desain grafis yang bersinggungan langsung dengan kepentingan pihak lain, kami membutuhkan katup lain yang bisa menyenangkan diri kami sendiri, bekerja untuk kepuasan pribadi lah, saat itu bersama beberapa rekan penulis di Jogja membuat majalah bernama outmagz sebagai outputnya, yang kemudian membawa bibit awal untuk lebih tertarik di dunia seni rupa yang lebih luas.
Bila ada, bagaimana ‘pembagian lahan’ kerja di antara kalian berdua?
Pembagian lahan kerja memang ada di indieguerillas, itu merupakan sesuatu yang tradisional di kelompok ini. Kami melakukannya secara bergiliran, misalnya : ide dasar bisa muncul dari salah satu dari kami dan lainnya bertugas mengeksekusinya, tentu saja dengan bantuan sang penggagas ide. Pada saat mengeksekusi sebuah painting pun kami membaginya dengan cara ketika salah satu membuat background, maka yang lainnya membuat foreground, atau bila foreground nya sudah terbentuk maka salah satu mengisi fill dan yang lain membuat outlinenya. Prinsip dasarnya seperti itu. Gotong Royong
Adakah prinsip-prinsip kerja yang ditaati saat berkarya?
Prinsip kerja kami adalah battle, seperti yang banyak dilakukan oleh street artist. Lebih ke-battle of ideas sebenarnya, karena pada saat eksekusi kami lebih condong ke team work. Ketika kami bekerja dalam satu frame, biasanya apa yang ada dalam frame tersebut akan terus tumbuh sampai kami berdua merasa puas akan hasilnya.
Adakah kesadaran kapan kalian berkarya dengan menempatkan diri sebagai desainer dan kapan sebagai artis? Disiplin mana yang lebih dominan di antara keduanya?
Pertanyaan yang bagus, mengingat kami merasa bukan pure artist dan juga bukan desainer sejati, tapi saya merasa ketika saya membuat sebuah karya, katakanlah sebuah karya di atas kanvas, saya tetap ingat dan patuh pada hal-hal yang saya lakukan ketika saya belajar desain dulu. Saya secara imajiner membagi kanvas dalam beberapa grid kemudian menentukan berapa buah karakter yang akan dibuat. Selain itu, kami juga punya kebiasaan me-layout karakter tersebut di Mac terlebih dahulu, dengan modal sketsa-sketsa awal yang lalu di-scan. Kami juga hampir pasti mempertimbangkan warna-warna apa saja yang akan dipakai. Kadang kami juga membayangkan terlebih dahulu siapa saja yang berpotensi menikmati karya tersebut, lalu menyertakan beberapa karakteristik sang calon penikmat sebagai detail dari karya. Jadi ketika ada pertanyaan kapan berperan sebagai desainer atau kapan sebagai artis saat berkarya, maka saya cenderung menjawab bahwa dua-duanya sudah bercampur, saling mendukung, saling mempengaruhi.
Bagaimana proses pencarian identitas karya-karya Indieguerillas?
MIKO: Kami terpengaruh oleh dua kelompok besar yang mungkin saling bertolak belakang. Yang pertama adalah kultur budaya Jawa, seperti huruf jawa, wayang, ketoprak, dan gamelan. Tapi kami juga sangat menyukai pop art. Pop art , seperti manga, kemudian komik, film kartun sampe ke seniman-seniman pop art seperti Warhol, Murakami, Liechtenstein. Itulah dua kelompok besar yang mempengaruhi karya-karya kami. Kami juga dipengaruhi oleh scene musik , dalam hal ini punk, rave, kemudian Rock ‘n Roll, & Heavy Metal.
SANTI: Ya, karena kami berdua itu tumbuh di era 80-an. Di saat itu kan, terutama di Zaman Orba, itu hampir semua tontonan yang kita tonton itu sama, pemerintah saat itu berupaya untuk menampilkan tampilan-tampilan yang berbau nasional dan kedaerahan. Contohnya acara Ria Jenaka, ketoprak atau wayang orang, yang sampai sekarang masih menempel di ingatan kami. Setelah kami kuliah, otomatis pengaruh budaya luar, budaya pop, dan internet sangat kuat juga. Jadi, bercampurlah dan keluar jadi karya-karya yang seperti sekarang ini.
Karya-karya Indieguerillas memperlihatkan dengan kuat warna ke-Indonesiaan yang dibalut secara kontemporer. Mengapa identitas ke-Indonesiaan dianggap penting dalam berkarya?
Itu semua berawal dari satu hal yang sebenarnya sederhana. Ketika karya kami disandingkan dengan karya dari seniman mancanegara, apa sih bedanya? Awalnya dari situ, sampai kemudian kami menoleh dan membajak bentuk visual tradisional Indonesia (khususnya Jawa) sebagai salah satu jawabannya. Kami menoleh ke tradisi Jawa, lebih karena kami orang Jawa, karena kami merasa dekat dengannya, karena semenjak lahir, inilah yang kami temui, kami lihat dan kami rasakan. Mungkin bagi beberapa orang, itu adalah sebuah alasan yang amat banal, hanya permukaannya saja, tapi bagi kami pribadi, setelah belajar -meski baru sedikit- tentang warisan budaya (visual) Jawa, justru yang muncul adalah kebanggaan sekaligus rasa malu. Betapa banyak hal yang bisa dieksplorasi dari situ. Betapa kayanya budaya tradisional ini. Betapa selama ini kami menganggapnya sebagai hal yang ketinggalan jaman dan kampungan. Sampai ketika kami menyadari juga, kalau bukan kita yang melestarikannya lalu siapa? Itu dari segi visual saja, belum lagi hal-hal penting yang lain.
Indieguerillas acapkali menggunakan karakter wayang –terutama punakawannya– sebagai idiom penyampaian pesan; refleksi dari diri sendiri atau karena kontekstual dengan kondisi sosial saat ini?
Betul, kami merefleksikan diri pada tokoh Punakawan. Punakawan adalah rakyat jelata, grassroots. Demikian pula kami. Kami hanya mengambil sesuatu yang dekat-dekat dengan kami saja. Punakawan adalah suara rakyat yang melempar isu, any issues, dengan riang gembira dan playful. Itulah semangat yang coba kami terapkan, kami menertawakan diri kami sendiri, membahas kelakuan-kelakuan kami yang sok pintar, sok tahu, merasa yang paling cutting edge dan paling updated. Self criticism dengan bahasa visual yang memberikan kegembiraan dan hiburan, minimal untuk kami sendiri. Kalau untuk kondisi sosial yang lebih luas sebenarnya tidak juga, mungkin belum, mengingat hampir semua karya kami lebih ditujukan untuk kritik terhadap diri kami sendiri. Kalaupun sedikit kontekstual dengan keadaan sekarang itu sebenarnya lebih ditujukan untuk youth culture di lingkungan sekitar kami. Kami merasa masih menjadi bagian dari youth culture saat ini. Youth culture yang bersifat global tapi mulai kehilangan roots lokal.
Indieguerillas begitu fasih mempertemukan barat dan timur dalam berbagai medium, adakah yang ingin disampaikan oleh Indieguerillas melalui bahasa visualnya ini?
Belum fasih juga ah, yang jelas sih kami ingin membangun jembatan yang selama ini terputus antara kami dan kebudayaan tradisional kami sendiri. Ke akar kami sendiri. Kami merasa kami tidak tahu apa-apa tentang hal ini, sehingga kami menciptakan semacam teaser supaya semakin bersemangat untuk tahu lebih banyak. Kalau hal ini kemudian juga memberi semangat untuk teman-teman yang lain, well that’s good. Paling tidak, sekarang kami mulai belajar konservasi kecil-kecilan terhadap budaya kami sendiri, kami juga mulai membuka-buka buku tentang Ensiklopedi Wayang atau buku tentang Antropologi orang Jawa, sebagai referensi untuk membuat karya, yang –ehm– ditulis oleh orang asing. But that’s good for a start though.