Berfikir Konvergen dan Divergen dalam Perancangan DeKaVe

Fenomena penciptaan seni atau proses kreatif menurut Saini KM (2001) masih dianggap sebagai sesuatu yang misterius, dan irasional. Dengan demikian positioningnya berada di luar jangkauan kajian ilmiah. Para seniman dianggap sebagai orang yang mendapatkan bakat alamiah. Ia mampu mencipta karya seni di luar pengendalian diri. Oleh karena itu, ia tidak perlu pemahaman tentang kemampuannya. Dan tidak butuh latihan untuk memelihara ketrampilannya.

Premis semacam itu sulit ditemui di jagat desain komunikasi visual. Sebab dalam aktivitas perancangan desain komunikasi visual, para desainer komunikasi visual senantiasa mendasarkan pada unsur kreativitas dan inovasi. Yakni, suatu proses mental, proses berfikir yang mampu menimbulkan ide-ide baru dan bila diaplikasikan secara praktis akan menghasilkan cara-cara yang lebih efisien.

Orang kreatif dan inovatif biasanya berfikir secara konvergen dan divergen. Ia akan melahirkan fantasi dan imajinasi cemerlang yang sangat berguna untuk menghasilkan berbagai macam ide pada karya desain komunikasi visual yang komunikatif dan persuasif.

Manakala menyusun sistem dan metode perancangan karya desain komunikasi visual seyogianya dibiasakan mengajukan berbagai pertanyaan dalam kemasan teori jurnalistik, meliputi 5 W + 1 H: what, when, why, where, who dan how. Semuanya itu merupakan kata kunci keberhasilan dari proses berfikir kreatif dan inovatif.

Keberhasilan dari proses berfikir kreatif dan inovatif tersebut bisa terlihat dari kemampuannya yang peka terhadap berbagai permasalahan komunikasi visual, lancar dan original dalam proses berfikir, fleksibel dan konseptual, cepat mendefinisikan dan mengelaborasi berbagai macam persoalan yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat di berbagai bidang (Sumbo, 2002).

Lalu, bagaimanakah berfikir kreatif secara konvergen dan divergen dalam konteks desain komunikasi visual?

Bekerja dan berfikir dengan dua pendekatan kreatif konvergen dan divergen sangat signifikan bagi para desainer komunikasi visual. Hal itu diyakini benar oleh Imam Buchori (1991).

Berdasar kenyakinan teoretis itulah, maka lebih jauh Imam Buchori menjelaskan pendekatan kreatif konvergen dan divergen yang dinilai sangat signifikan dalam memecahkan masalah komunikasi visual. Pertama, pendekatan konvergen. Konsep ini senantiasa mengedepankan ketrampilan sebagai panglimanya. Keberadaannya diramu dengan intuisi dan citarasa yang tinggi untuk mengolah bahan. Cara semacam ini tidak terlalu mempermasalahkan faktor eksternal selain yang ia kuasai. Pendekatan konvergen menisbikan masalah-masalah material dan kemungkinan bentukannya. Tujuan hanya satu: mencari keunikan dan keindahan. Oleh kaum metodologis, ungkap Iman Buchori, cara seperti itu disebut dengan pendekatan tradisional.

Pendekatan kedua, secara divergen. Artinya, ia bekerja dengan merumuskan (menganalisis) seluruh permasalahan yang ada. Mencari sintesisnya, dan melakukan evaluasi.

Kedua pendekatan ini bisa dianggap tidak ada bila dilihat dari kenyataan sejarah bahwa pendekatan divergen itu merupakan estafet pendekatan konvergen. Hal itu terjadi karena dalam dogma kreatifnya, Guru Besar Desain dari ITB ini menegaskan bahwa pendekatan kreatif konvergen dan divergen merupakan gabungan proses berfikir kreatif yang mengkawinkan pendekatan tradisional dengan mengedepankan ketrampilan sebagai panglimanya yang diramu pendekatan modern dengan acuan analisis, sintesis dan evaluasi sebagai ujung tombaknya. Penggabungan kedua kekuatan ini memperlihatkan spesifikasi dari fitrah desainer komunikasi visual yang memiliki kemampuan linuwih, peka terhadap berbagai permasalahan, lancar dan original dalam proses berfikir, fleksibel dan konseptual, cepat mendefinisikan dan mengelaborasi berbagai macam persoalan komunikasi visual yang dipecahkan dalam bentuk solusi konkrit desain komunikasi visual yang komunikatif dan persuasif.

Materi perancangan DeKaVe yang disajikan meliputi studi teoretis penyusunan konsep desain dan karya desain komunikasi visual terdiri dari paket informasi yang lengkap sesuai dengan jalur pilihan bidang desain masing-masing. Sebagai kelengkapannya, selain matrik, bagan dan gambar rencana desain diserahkan pula tulisan yang berisi keterangan rinci tentang pemikiran dan segi-segi teknis lainnya.


Berikut ini beberapa contoh metode perancangan kampanye publik (desain sosial), desain iklan komersial, dan desain komunikasi visual (desain grafis):

Metode Perancangan Kampanye Publik (Desain Sosial) Versi Butet Kertaradjasa, Galang Comm:

Tujuan Kreatif:
Menciptakan persepsi dan membangun opini dalam benak khalayak agar mengambil sikap yang positif atas gagasan yang dikombinasikan, dengan menggunakan ‘’kunci gambar’’, ‘’kunci kata’’, kunci bunyi’’

Strategi Kreatif:
Menentukan cara untuk mencapai tujuan. Seperti perang kita bersiasat. Strategi kreatif adalah pendekatan atau sistem berfikir yang nantinya akan membantu dalam penyusunan konsep komunikasi.

Strategi kreatif yang dipersiapkan harus mengacu pada intisari gagasan supaya diperoleh fokus yang tajam dengan cara: a) mempertimbangkan/menentukan khalayak sasaran. b) melihat kondisi lapangan. c) mengingat situasi momentumnya.

Sementara itu, kegiatan yang dilakukan adalah: a) mengumpulkan data, b) memahami gagasan/penalaran dan melakukan analisa, c) menghitung waktu pelaksanaan, d) pemilihan media, e) menentukan teknik sajian, f) mengkalkulasi pembiayaan, g) mengambil keputusan.

Yang harus diingat dalam konteks ini adalah: merumuskan gagasan besar secara ringkas dalam satu halaman – satu alinea – satu kalimat – satu kata. Pada intinya, kegiatan ini adalah ‘mempersempit masalah’

Rencana Kreatif:
Usaha menerjemahkan hasil persempitan yang diolah dalam strategi kreatif, dan menghadirkannya dalam bahasa gambar (visualisasi), bahasa teks (penulisan), maupun bahasa bunyi (jingle). Masing-masing bahasa itu mempunyai tugas: menyerobot perhatian dan menyampaikan informasi. Tergantung kreator dan media yang digunakan. a) Televisi: bahasa gambar, bahasa bunyi, bahasa teks. b) Radio: bahasa bunyi yang bersumber dari bahasa teks. c) Koran, poster, brosur, dan media cetak lain: bahasa atau bahasa teks.

Memahami Kampanye Publik (Desain Sosial) Versi Butet Kertaredjasa Galang Comm:

Kalau kita terpesona lawan jenis, boleh juga kawan sejenis, lalu setelah itu kita coba-coba
cari perhatian atau jual simpati, saat itulah sesungguhnya kita sedang mengkampanyekan diri kita. Mencoba merebut empati. Banyak trik dilontarkan: bikin puisi, nyanyi-nyanyi, sok alim, ngobral janji, menebar kata-kata berbunga, dll.

Pendeknya merayu. Gombal-gombalan atau bahkan serius sok intelektual. Karena yang harus dirayu bukan segelintir orang, tapi jumlahnya sangat buaanyak, sejumlah orang, sering pula disebut masyarakat alias publik, maka jadinya merayu publik. Kampanye untuk masyarakat. Kampanye publik. Kita membujuk. Kita memberi janji. Memberi harapan. Menyodorkan idealisasi. Entah apa: mungkin jaminan keamanan di saat nanti, mungkin iming-iming surgawi, mungkin cita-cita kehidupan yang lebih baik. Tak henti-hentinya kita berusaha meyakinkan bahwa apa yang kita pikirkan, kita gagas, adalah sesuatu yang baik dan mulia. Kini, kita coba memahami lebih jauh melalui jurus 5 W + 1 H

Apa?
Sebuah ikhtiar dalam berkomunikasi untuk merebut simpati. Menyusupkan ide maupun pemikiran supaya masyarakat mengerti, mengenal, senantiasa ingat dan sadar atas gagasan-gagasan yang dikomunikasikan. Melalui kampanye diharapkan tumbuh kesadaran baru dalam masyarakat, sehingga nantinya terjadi perubahan perilaku, perubahan dalam cara pikir dan cara pandang masyarakat atas persoalan-persoalan yang dikomunikasikan itu.

Diibaratkan perang, medan pertempuran kampanye publik adalah otak manusia. Memperebutkan yang hanya secuil, lalu menanamkan informasi di situ selama-lamanya. Kemenangan dalam konteks ini adalah keberhasilan menancapkan informasi. Dan karenanya, informasi yang telah berhasil singgah ke dalam benak orang itu, harus senantiasa dipertahankan.

Mengapa?
Karena ada sementara anggota masyarakat yang mengidealkan sebuah kehidupan yang lebih baik dari yang terjadi sekarang. Idealisasi itu berangkat dari sebuah keprihatinan atas persoalan-persoalan kemasyarakatan, sekaligus merupakan semacam perlawanan dari tabiat tradisi masyarakat.

Tema-tema yang dihadirkan dalam kampanye publik diyakini akan membuat kehidupan masyarakat bergerak menuju ke sebuah tatanan yang ideal, yang berkeadilan, yang menghiraukan masa depan manusia, dan memihak pada kemanusiaan dalam arti seluas-luasnya. Pendeknya, menuju ke suatu kehidupan yang lebih baik. Dan karena itulah, kampanye publik terasa kurang popular bagi masyarakat, sebab mayoritas masyarakat – pada dasarnya- lebih suka bergumul dengan kehidupan yang lebih buruk. Lebih mudah terbangkit nafsu-nafsu rendah, naluri primitifnya yang bersifat badaniah, daripada yang bersifat rohaniah.

Bagaimana?
Kampanye publik berbeda dengan iklan. Bahkan bisa dikatakan saling berpunggungan. Saling bertolak belakang, meskipun targetnya sama: yaitu mempengaruhi orang. Iklan menginformasikan dan mengkampanyekan sebuah produk, benda atau jasa. Bersifat pragmatis dan mendorong konsumen untuk mengkomsumsi produk yang diiklankan, tidak peduli produk itu punya relevansi dengan kehidupan masyarakat atau tidak. Bahkan mendorong terciptanya kebutuhan baru, sekalipun kebutuhan itu (adakalanya) secara substansial kurang membawa manfaat bagi kehidupan manusia. Ini bisa dimaklumi, karena iklan memang merupakan bagian dari mata rantai industri yang berwatak rakus dalam mendapatkan keuntungan.

Kampanye publik biasanya lebih bersifat ideal. Yang dikomunikasikan adalah ide, horizon harapan, cita-cita. Semua idealistik. Bahkan bisa dibilang melawan arus. Melawan nilai-nilai dominan yang menjadi kecenderungan hidup masyarakat. Dan karena itulah, dibanding produk industri, isu dalam kampanye publik selalu berada dalam posisi yang lemah, kurang menarik dan tidak laku. Ibarat perang, musuh menggunakan amunisi dan persenjataan canggih, kampanye publik hanya bersenjatakan bambu runcing dan ketapel. Lalu bagaimana caranya? Bagaimana strateginya?

Siapa?
Siapa sasarannya? Masyarakat yang diasumsikan perlu disadarkan, perlu diberi pengetahuan baru, sehingga nantinya mereka mempunyai wawasan baru dalam memandang persoalan yang dikomunikasikan. Karena bersifat melawan arus, kampanye publik sering dinilai ngrecoki: meminta masyarakat untuk melakukan hal-hal yang belum tentu disukai. Siapa sih yang mau diminta duitnya, mau diminta menghentikan kebiasaan-kebiasaannya, mau dibebani persoalan-persoalan baru?

Siapa pembuatnya? Secara bercanda masyarakat industri sering menyebut praktisi dalam kampanye publik ini sebagai: orang atau lembaga yang kurang kerjaan. Karena hasil yang diperolehnya tidak riil. Abstrak. Secara serius bisa dikatakan, praktisi dalam kampanye publik merupakan masyarakat minoritas yang idealistik, mempunyai cita-cita luhur, merindukan kehidupan yang lebih baik, yang berkeadilan, dan memihak pada kemanusiaan.

Kapan?
Kapan saja, di setiap kesempatan. Tergantung isu yang akan dikampanyekan. Isu-isu bersifat laten-permanen (lingkungan, kedisiplinan, ketertiban, keamanan, kesehatan …) dilakukan secara rutin berkesinambungan. Sedangkan isu bersifat temporer dilakukan sesuai tuntutan atau desakan aktualitas: misalnya Pemilu, krisis ekonomi, tawuran pelajar …

Mengingat sifat kampanye publik yang melawan arus, tidak disukai, miskin amunisi, maka diperlukan strategi jitu untuk menentukan saat yang paling tepat untuk menyerbu. Harus jeli dalam mengatur strategi. Itu sebabnya serbuan dilakukan ketika target sasaran dalam posisi lengah. Yaitu saat konsentrasi sasaran dalam setiap keadaan siap menerima informasi tanpa ada halangan apa pun. Jika kampanye diluncurkan pada saat seperti itu, niscaya akan lebih mudah informasi singgah dan tertanam dalam benak orang. Misalnya: di sekolah, masjid, gereja, seminar …

Di mana?
Di media komunikasi. Alat atau kegiatan yang menghubungkan komunikan (pemilik gagasan) dengan masyarakat, dengan mempertimbangkan aspek: efektivitas, kemudahan, dan efisiensi dalam pembiayaan. Misalnya: koran, majalah, tabloid, selebaran, poster, buku, radio, televisi, stiker, brosur/leaflet, TV-sirkuit, billboard, slide bioskop, bahkan seni pertunjukkan rakyat.

Masing-masing media komunikasi mempunyai karakter khusus, yang membawa akibat pada pembiayaan dan efektivitas sasarannya.


Studi Kasus Rancangan Kreatif Kampanye Publik ‘’Suami Siaga’’ Versi Indo-Ad:

Data Verbal Realita Lapangan

Upaya Mencegah 3 Terlambat:
1. Terlambat mengenali bahaya dan memutuskan untuk mencari bantuan rujukan
2. Terlambat membawa ibu ke fasilitas rujukan (transportasi dan sarana lainnya)
3. Terlambat memperoleh tindakan pertolongan di fasilitas rujukan

Tujuan Kampanye:
1. Membangun kesadaran akan masalah kematian ibu hamil pada umumnya dan pada khususnya pengetahuan akan persiapan yang sebaiknya dilakukan agar tidak membahayakan kehamilan (lihat data verbal realita lapangan: Tiga Terlambat).
2. Mengembangkan perubahan sikap dan perilaku guna menanggulangi Tiga Terlambat tersebut.

Strategi Kampanye:
Kampanye ini memfokuskan pada mempengaruhi persepsi, sikap, dan perilaku target group sebagai kuncinya. Target group tersebut adalah:
1. Sasaran Utama: laki-laki di usia subur, kurang/tanpa pendidikan, penghasilan rendah
2. Sasaran Sekunder: perempuan, menikah di usia subur, pimpinan masyarakat maupun daerah (Bupati, Camat, Kepada Desa …), penyelenggara kesehatan (bidan …)

Masalah:
Tiga (3) alasan sosial yang menambah tingginya angka kematian ibu hamil di Indonesia:
1. Ketidakpedulian (ignorance), sebagian besar masyarakat tidak mengetahui adanya solusi
2. Kelalaian (indifference), kurang perhatian dari penyelenggara kesehatan di tingkat daerah maupun nasional
3. Ketidakpekaan (insensitivity), sebagian besar masyarakat tidak sadar akan kenyataan bahwa kehamilan dan persalinan yang aman merupakan tanggung jawab dari setiap keluarga maupun masyarakat

Perilaku tersebut memiliki arti bahwa praktik-praktik yang sudah menjadi tradisi akan tetap berlanjut dan memperkuat pandangan yang salah mengenai kematian ibu hamil.

Pendekatan:
1. Mengidentifikasikan panutan dalam melakukan perubahan: para suami memegang peranan penting.
2. Mengangkat dan memanfaatkan dari sisi psikologi pria: dalam peranannya sebagai bapak/suami, pria memandang diri mereka sebagai pemberi nafkah dan pelindung.

Pria menghargai peranannya yang sudah menjadi tradisi. Mereka lebih memilih dipandang sebagai yang kuat. Mereka ingin menjadi pemimpin dan dihormati. Secara turun menurun, anggapan klise mengenai peran pria maupun perempuan dalam keluarga sudah mendarahdaging. Mengingatkan mereka mereka bahwa sikapnya sekarang ini adalah salah, sangat sulit, dan tidak mungkin dilakukan, sebab hal tersebut justru memberikan kesan yang meremehkan citra diri laki-laki sejati mereka.

Untuk itu, ingin dibangun citra diri pada para suami bahwa dengan memberikan perhatian kepada istri mereka merupakan simbol dari kejantanan, sebagai pelindung sejati.

Gagasan Kreatif:
‘’Suami sejati setia mendampingi istrinya’’
Interpretasi kreatif: ‘’Suami SIAGA’’
SIAGA, pendekatan secara positif dari Tiga Terlambat, singkatan dari: SIap, waspada dan bertindak (mengantisipasi) jika melihat tanda bahaya kehamilan. Antar, merencanakan system angkutan dan menyediakan donor darah bila diperlukan. jaGA, berkonsentrasi dalam meraih satu tujuan, yaitu membangkitkan hasrat para suami untuk menjadi ‘’Suami SIAGA’’

Isi dari Pesan:
Pertama, menghindari pemberian keterangan mengenai Tiga Terlambat secara khusus, namun lebih menitikberatkan pada tiga tindakan positif yang sebaiknya dilakukan, seperti tersirat dalam ‘SIAGA’. Kedua, berkonsentrasi dalam meraih satu tujuan, yaitu membangkitkan hasrat pada suami untuk menjadi ‘’Suami SIAGA’’

Penggabungan Berbagai Disiplin Komunikasi:
Periklanan, Humas, Media, Program Pelatihan.


Metode Perancangan Desain Iklan Komersial Versi Perwanal DMB&B:

Iklan adalah suatu bentuk komunikasi dari penjual kepada calon pembeli tentang suatu barang, jasa atau gagasan (ide) yang ditawarkan.

Untuk mewujudkan hal tersebut perlu dirancang sebuah alur kerja strategi perencanaan yang signifikan, sebagai berikut:

1. Pengarahan dari Pengiklan

1.1. Uraian tentang produk/jasa yang ditawarkan. Termasuk di dalamnya: harga, distribusi, dan manfaat.
1.2. Uraian tentang pengguna produk/jasa dan pola penggunaannya.
Siapa yang menggunakan produk? Siapa yang menentukan merek? Ciri-ciri demografis dan psikografis. Kapan digunakan? Seberapa sering? Di mana? Kapan dibeli? Seberapa sering? Di mana?
1.3. Rencana kegiatan pemasaran.
Kegiatan-kegiatan khusus yang perlu didukung iklan.
1.4. Tujuan Periklanan.
Peluncuran produk, pengembangan produk, kegiatan promosi, membangun merek/citra, mengingatkan.
1.5. Hasil yang ingin dicapai dari penggunaan media
Jangkauan geografis, jangkauan populasi, kesempatan lihat.
1.6. Anggaran periklanan.
1.7. Periode kegiatan periklanan.

2. Sasaran dan Strategi Media

2.1. Sasaran penggunaan media
Apa yang ingin dicapai dengan beriklan di media. Sebaiknya berisi hal-hal yang dapat diukur, misalnya: a) menjangkau 90 persen daro khalayak sasaran minimum 1 kali lihat. b) Berapa kali rata-rata iklan dilihat oleh khalayak sasaran. c) Meningkatkan awereness dari 50 persen menjadi 60 persen.
2.2. Khalayak sasaran
Uraian demografis dan psikografis dari khalayak yang ingin dicapai oleh kegiatan periklanan. Contoh: Sasaran utama, pria 40-60 tahun dari klas sosial ekonomi A-B. Sasaran kedua, pria 15-25 tahun, belum berkeluarga.
2.3. Jangkauan Geografis
Lokal atau Nasional, perkotaan, pedesaan, atau, skala prioritas.
2.4. Musim/waktu khusus
Adakah waktu/musim di mana produk/jasa cenderung lebih banyak digunakan. Misalnya: hotel/travel pada masa liburan sekolah dan akhir tahun. Obat batuk pada musim pancaroba.
2.5. Pemilihan media:
Jenis media apa yang tersedia. Karakter media, Menentukan media utama, pendukung serta fungsi masing-masing.
2.6. Bobot pemasangan pada media terpilih:
Berapa jumlah pemasangan yang diperlukan untuk mencapai sasaran yang diinginkan. Bagaimana pembagiannya permedia.
2.7. Pola pemasangan iklan:
Berkesinambungan, periodik. Waktu maksimum antar periodik, kegiatan beriklan.
Strategi pemasangan: perminggu, perbulan atau perperiodik. Bila lebih dari satu versi, bobot pemasangan antar versi.
2.8. Materi yang digunakan:
Jumlah versi media terpilih. Ukuran atau durasi masing-masing versi.
2.9. Data-data pendukung:
Riset media, kegiatan pesaing …

3. Karakteristik Media:

3.1. Televisi
3.2. Radio
3.3. Internet
3.4. Bioskop
3.5. Koran
3.6. Majalah
3.7. Media Luar Ruang

4. Pelaksanaan:

4.1. Rancangan media untuk satu periode (biasanya per 12 bulan) disetujui pengiklan
4.2. Membuat jadwal pemasangan bulanan dan mendapat persetujuan pengiklan
4.3. Pengiklan memberikan perintah pelaksanaan jadwal pemasangan
4.4. Formulir pemesanan tempat ke media. Informasi yang mutlak perlu: produk, merek, versi iklan, ukuran-durasi, jumlah spot, tanggal tayang, jam tayang, biaya pemasangan.
4.5. Media memberikan konfirmasi penerimaan pemesanan serta memberitahukan apakah tempat masih tersedia. Bila tempat sudah penuh perlu kembali ke pengiklan untuk menentukan pengganti
4.6. Setelah pemasangan media memberi bukti iklan yang telah terpasang (bagi media cetak berupa contoh majalah atau surat kabar, bagi media elektronik berupa bukti siar)
4.7. Tagihan dari media berikut bukti iklan dicocokkan dengan pemesanan lalu diteruskan ke bagian keungan untuk penagihan kepada pengiklan

5. Penilaian Hasil Kegiatan Periklanan:

5.1. Setelah kegiatan periklanan berakhir, perlu diadakan evaluasi terhadap hasil yang dicapai. Untuk itu perlu kembali kepada sasaran yang ditetapkan/disetujui pada dokumen awal ‘’Sasaran dan Strategi Media’’
5.2. Pertama yang dilihat apakah pelaksanaan sesuai dengan perencanaan. Semakin kecil penyimpangannya semakin baik. Bila ada penyimpangan perlu dilihat penyebabnya agar dapat diadakan perbaikan pada kegiatan periklanan berikutnya.
5.3. Kedua, yang dinilai adalah hasil dari kegiatan periklanan itu sendiri. Apakah sasaran yang telah disetujui sudah tercapai atau belum. Mengapa? Di sinilah pentingnya merumuskan sasaran-sasaran yang dapat diukur.
5.4. Ada baiknya setiap selesai kegiatan periklanan selama satu tahun, diadakan penelitian yang disebut tracking studi, yaitu melihat perubahan-perubahan yang terjadi sehubungan dengan jenis produk tersebut dan melihat seberapa jauh perubahan tersebut dihasilkan oleh kegiatan periklanan baik merek yang kita tangani maupun competitor.

6. Riset Media:

Memonitor kegiatan periklanan yang ada pada media elektronik dan media massa cetak. Data yang dihasilkan berupa: produk/merek yang beriklan. Seberapa banyak pemuatan/spot. Kapan saja termuat/tertayang. Biaya yang dikeluarkan. Materi yang digunakan (ukuran dan versi). Khusus untuk media televise ada yang dikaitkan dengan data TV Diary, sehingga memungkinkan analisa tambahan berupa: berapa banyak pemirsa yang ada pada kurun waktu 15 menit iklan tertayang. Berapa kali iklan tersebut dilihat oleh berapa banyak orang dalam kurun waktu tertentu.


Metode Perancangan Desain Komunikasi Visual (Desain Grafis) Versi Inkara Design Strategic Team:

Desain komunikasi visual berakar dari fungsi universal yang sama yaitu komunikasi. Estetika merupakan peripherial messages yang mendukung keberhasilan penyampaian central messages yang merupakan definisi dari sebuah perusahaan, produk, layanan, kepribadian, filosofi hingga visi dan misi.

Sebagai contoh, dalam proses brand identity development, strategi komunikasi perlu dilaksanakan sebelum desain visual logo dimunculkan di atas kertas.

Tahap pertama adalah memahami khalayak sasaran. Bagaimana persepsi yang dimiliki saat ini oleh merek dari produk atau layanan si klien? Hal-hal apa sajakah yang menyebabkan khalayak menggunakan atau menolak produk/layanan tersebut?

Tahap kedua adalah tahap memahami industri dan pesaing dari produk/layanan yang dimiliki oleh klien. Bagaimana situasi dan kondisi industri kategori dari produk/layanan tersebut dalam dua tahun terakhir dan dua tahun ke depan? Siapa sajakah pemainnya? Siapa yang memimpin pasar? Bagaimana kekuatan dan kelemahannya, terutama bila ditinjau dari kacamata citra? Tentunya tidak boleh ketinggalan pemahaman luar dalam terhadap produk/layanan yang dimiliki oleh klien. Misalnya, keunggulannya dibandingkan pesaing lain, karakter yang terbentuk selama ini, citra yang ingin dibangun dan apakah citra tersebut sesuai dengan realita yang ditawarkan.

Riset pradesain dapat dijalankan dengan metode kuantitatif lewat survei dan eksperimen. Secara kualitatif dapat dilaksanakan wawancara mendalam, focus group dan observasi. Tahapan pradesain ini juga menguji atribut desain. Bagaimana asosiasi khalayak terhadap warna dan bentuk yang dipilih? Apakah desain tampil beda dengan pesaing? Apakah desain tampil beda dengan pesaing? Apakah desain menarik dan sensitif terhadap kebutuhan khalayak?

Temuan riset pradesain akhirnya menghasilkan petunjuk desain (design brief) yang menjadi instrumen dalam menerjemahkan bahasa positioning dan marketing ke dalam bahasa visual.


Dari beberapa paparan metode perancangan desain komunikasi visual yang bersifat komersial ataupun sosial di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendekatan kreatif konvergen dan divergen berbasiskan data verbal-visual, serta didukung riset yang mendalam, sangat berguna untuk mempertajam analisis, sintesis dan evaluasi perancangan desain komunikasi visual tersebut. Kristalisasinya dimanfaatkan untuk menentukan tujuan kreatif, strategi kreatif dan rencana kreatif yang dihadirkan dalam bentuk bahasa gambar, bahasa teks maupun bahasa bunyi yang efektif, komunikatif dan persuasif.

Sumbo Tinarbuko, Konsultan Desain, Dosen Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa dan Program Pascasarjana ISI Yogyakarta.


Kepustakaan

Achjuman A Achjadi, ‘’Strategi Media’’, Materi Presentasi Diskusi Periklanan, Keluarga Besar Mahasiswa Advertising Fisipol Universitas Gadjah Mada, Jayakarta Hotel Yogyakarta, 1996.

Asnar Zacky dalam Butet Kertaradjasa, ‘‘Sketsa Ilustrasi: Mencoba Memahami Kampanye Publik’’

Butet Kertaradjasa, ‘’Mendesain Kampanye Publik’’

Butet Kertaradjasa, ‘’Mencoba Memahami Kampanye Publik’’

Indo-Ad, Presentasi Kreatif Kampanye ‘’Suami SIAGA’’

Imam Buchori, ‘’Cara Pencapaian Tujuan Pendidikan dalam Lingkup Pendidikan Seni Rupa’’, Seminar Evaluasi Rencana Induk Pengembangan ISI Yogyakarta, 1991.

Inkara Design Strategic Team, ‘’Strategi Kawin Campur’’, Rubrik Design Plus + Plus, Majalah Cakram, Jakarta, 2003.

Sumbo Tinarbuko, ‘’Desain Grafis, antara Mitos Pembaharu dan Agen Perubahan Kebudayaan’’, Rubrik Desain, Kompas Minggu, 3 Maret 2002.

Saini KM, ‘’Penciptaan Seni, Menapak Meninggi’’, Seminar Sehari tentang Penciptaan Seni, Program Pascasarjana ISI Yogyakarta, 2001.

Quoted

“Seorang desainer harus memiliki keberpihakan pada konteks membangun manusia Indonesia. Peka, tanggap, berwawasan, komunikatif adalah modal menjadikan desainnya sebagai alat perubahan”

Arif 'Ayib' Budiman