Home > Read > News >
“Selamat Natal dan Tahun Baru 2008”

Bersama ini kami segenap pengelola situs DGI mengucapkan Selamat Natal bagi yang merayakannya, dan Selamat Tahun Baru 2008. Marilah kita menutup tahun 2007 ini dengan kenangan manis akan begitu banyaknya acara-acara desain grafis yang kita lewati bersama di tahun 2007 dan semoga di tahun depan kita semua bertemu kembali di dalam acara-acara yang lebih inspiratif dan semakin semarak yang diselenggarakan di tanah air kita ini.

Sebagai kenangan, kami tayangkan di sini 4 buah kartu Natal dan Tahun Baru yang diciptakan pada tahun 1980-an oleh Studio Desain Grafis “Citra Indonesia” (alm. Tjahjono Abdi, Soedarmadji Damais, Erwin Indarto dan Hanny Kardinata). Kartu-kartu ucapan yang dirancang oleh “Citra Indonesia” pada masa itu jauh dari penampilan visual berupa atribut-atribut yang lazim muncul pada setiap event, seperti ketupat dan bedug pada Idul Fitri atau pohon cemara dan lilin pada saat Natal, tetapi lebih kepada penampilan budaya tertentu yang atmosfirnya merupakan metafora dari event tersebut masing-masing.

Sebagai penutup kami sertakan sebuah renungan Natal yang disampaikan oleh Sumbo Tinarbuko.

Salam damai.


citra-indonesia-19823

“A contemporary Chinese painting with a symbolic meaning”

The five children symbolize the Asean member countries. Indonesia is represented by the child in the red and white dress flying the kite. The kite’s rope consist out of Chinese micro characters. The poem runs:

Children on picnic, playing according to their nature
Considering to chase a far, far away little cloud
Together flying a paper kite and win together
Into the blue sky the kite flying higher and higher.

The painter Wen Yongchen (Wan Wing-Sum), British citizen, born on 13th April 1922 is a self-taught artist, he became a wellknown microcalligrapher and painter of watercolours. One of his paintings is in the permanent collection of the Wellington Museum in New Zealand.

From the Adam Malik collection.

Graphic Design Studio: Citra Indonesia
Client: Adam Malik, The Vice President of the Republic of Indonesia
Published: 1982

 


 

citra-indonesia-1983-12

“Madonna Membaca“, Fabergé, kayu, cat minyak, perak, email, 31 x 35 cm, 1903

Graphic Design Studio: Citra Indonesia
Client: Joop Ave
Published: 1983

 


 

citra-indonesia-19843

“Sarung wanita Dayak Tanjung Issuy”, Kalimantan Timur

Graphic Design Studio: Citra Indonesia
Client: Joop Ave
Published: 1984

 


 

citra-indonesia-1985-32

“Pengantin Kuda Kencak”, Jawa Timur

Graphic Design Studio: Citra Indonesia
Client: Mitra Adhisanka
Published: 1985

 


 

Renungan Natal 2007

NATAL BULAN PENUH DISKON
Oleh Sumbo Tinarbuko

Belakangan ini perayaan Natal lebih banyak diposisikan sebagai bulan terang yang membahagiakan bagi parapengumbar ideologi pasar. Mengapa demikian? Karena begitu gulungan kalender bulan Desember terbuka, maka paraprodusen yang menghasilkan ratusan komoditas berlomba-lomba untuk mempromosikan produknya kepada masyarakat dengan memanfaatkan momentum perayaan kelahiran Yesus Kristus. Mereka mampu mengendalikan seluruh media komunikasi visual seperti: televisi, radio, majalah, koran, bilboard, spanduk, untuk dipenuhi iklan dengan menggunakan momentum perayaan Natal sebagai alasannya. Mereka mampu menyihir umat Kristiani dengan jargon bahwa merayakan Natal tidak lengkap tanpa belanja produk dan jasa yang ditawarkan. Setiap menjelang bulan Desember senantiasa disetel menjadi mesin hawa nafsu belanja. Mereka melibatkan beberapa outlet window shopping jaringan internasional, seperti: mall, hypermarket, supermarket, hotel, restoran, kafe, rumah mode, dan layanan jasa publik lainnya untuk memberikan diskon ketika Natal tiba.

Penyelenggaraan perayaan Natal tidak pernah lepas dari berbagai godaan duniawi dalam kemasan ritual konsumerisme. Hal itu terjadi karena ada kecenderungan formalitas. Ini dapat terjadi dalam kehidupan umat Kristiani. Baik secara pribadi maupun kelompok. Mereka merasa kurang sreg manakala tidak menyelenggarakan perayaan Natal. Dalam konteks semacam ini, penekanan kaum formalis lebih pada bentuk perayaannya. Bukan pada esensinya. Mereka akan merasa terhormat dan tersanjung ketika merayakan Natal dengan pestapora di hotel berbintang, restoran modern, mal, atau tempat hiburan lainnya. Dampaknya, isi atau inti perayaan itu menjadi miskin nilai dan mengaburkan makna Natal yang sesungguhnya.

Kecenderungan lainnya berbentuk kemasan showbiz. Cirinya, acara tersebut digelar secara komersial. Dipersiapkan dengan konsep promosi yang terkesan sangat humanis dan religius guna menyambut Natal. Tempat penyelenggaraannya tidak terbatas di gereja, di rumah umat Kristiani, beberapa hotel berbintang, restoran, kafe, mal, atau ruang publik lainnya. Siapapun dapat melakukan dan menyelenggarakannya, tentu dengan motivasi pamrih beragam.

Parapenyelenggara merancang acara tersebut biasanya dengan menghadirkan artis, selebritis, penyanyi, pelawak, pesulap, dan MC kondang untuk mendongkrak target penjualan tiket. Penonton diiming-imingi doorprize barang-barang elektronik kebutuhan rumah tangga, kendaraan bermotor hingga rumah mewah jika mau membeli undangan yang ditawarkan.

Pada titik inilah terjadi komersialisasi perayaan Natal. Artinya, perayaan Natal dijadikan ajang promosi berburu rupiah. Akhirnya, Natal yang sejatinya peristiwa religius, di mata para produsen, pengelola hotel, restoran, mal, dan departemen store merupakan kesempatan berpromosi dengan kemasan diskon besar-besaran. Natal bulan penuh diskon lalu diposisikan sebagai peristiwa pemasaran yang menjanjikan untung besar.

Gaya hidup modern yang dicontoh mentah-mentah oleh sebagian besar masyarakat kita di dalam merayakan Natal, seringkali tak lain merupakan wujud dari wajah konsumerisme. Sementara itu, konsumerisme diyakini sebagai anak kandung dari materialisme. Mereka yang mengkonsumsi berusaha memuaskan hasratnya akan materi dan gengsi. Sebaliknya sang penjual hasrat senantiasa menjual produk dan jasa demi memuaskan nafsunya untuk terus menumpuk kekayaan duniawi.

Dengan jujur dikatakan, sebagai manusia kita membutuhkan materi. Hidup dan kehidupan ini tidak akan berputar tanpa dukungan materi. Namun yang perlu diupayakan, bagaimana menjadikan materi sebagai tujuan utama kita membangun manusia Indonesia dalam konteks mencapai ketinggian derajat kemanusiaan secara proporsional. Yang harus dihindari adalah upaya untuk mengarahkan seluruh energi kemanusiaan demi memberhalakan materi. Kalau itu terjadi, maka kita tidak ubahnya menjadi sampah kapitalisme yang dibungkus jubah hedonisme.

Materi atau kesejahteraan haruslah menjadi salah satu sarana penting, sebagai jembatan untuk mencapai kebahagiaan sejati yang harus terus-menerus diperjuangkan oleh setiap manusia.

Pertanyaannya sekarang, sanggupkan perayaan Natal menjadi kekuatan antiklimaks guna membangun kembali manusia yang terjebak arus kemajuan ilmu pengetahuan dan revolusi teknologi di abad informasi yang demikian pesat? Masalah semacam itu menjadi ganjalan kita semua karena zaman yang sedang kita gapai sekarang ini adalah suatu era yang penuh tanda tanya. Di dalamnya sarat perubahan dan tantangan yang berputar sangat cepat. Untuk itu sangat diperlukan kemampuan analitis dan introspektif untuk menghadapi kedatangannya.

Sebab sejatinya, kisah Natal merupakan cerita perihal rakyat jelata yang suratan hidupnya banyak ditentukan oleh keterpaksaan. Dengan situasi kepepet itulah, Yesus lahir di dunia. Ia terpaksa dilahirkan di sebuah kandang hewan dan (sekali lagi) terpaksa ditidurkan di sebuah palungan (tempat makanan binatang) karena tidak ada lagi tempat bagi keluarga itu untuk menginap di rumah penginapan.

Cerita Natal, yang melibatkan peristiwa kelahiran Yesus Kristus, ingin memperlihatkan kepada kita bahwa untuk bisa jujur dengan kenyataan, manusia harus kembali menjadi ‘bayi’. Minimalnya memiliki jarak dan sikap yang kritis terhadap harta maupun kekuasaan.

Selamat Natal. Salam damai menyertai kita semua.***

 


Sumbo Tinarbuko Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta dan Kandidat Doktor FIB UGM.

 

Quoted

Designers need to think about others for the sake of improving the human existence. What we have received is a gracious blessing. Without it, we are nothing. Which is why we need to give it back.

Yongky Safanayong