“Out beyond the idea of wrongdoing and rightdoing there is a field. I’ll meet you there. When the soul lies down in that grass the world is too full to talk about.” —Jalaluddin Rumi
Opening:
Thursday, 9th November 2017
7 PM
Performance by:
Lintang Radittya collaboration with Elyandra Widharta and Disonant
*there will be workshop and open studio by the artists since 3rd November 2017
Segregation is a risk that occurs when politic of identity and religion is utilized to climb the power structure. One of the manifestations of fanatic behaviors is how people get easily mobilized by using identity jargons as fuels to slowly inducing segregation and triggering violence to those who hold different identity. But, before we reach that point, the value of unity and tolerance is slowly being put at risk. The philosopher Karl R.Popper believes in a paradox that defending tolerance requires to not tolerating the intolerant. He believes that giving an open stage to the intolerance can put tolerance in danger. On a lighter note, inthis exhibition, the artists chose to address the issue of tolerance using their own approach to try to talk about the social issue through art. Rudy “Atjeh” choses to trace the dissemination of culture and religion through trade that later result in language crossing. He then questions the relationship between the Champa kingdoms in Vietnam with Jeumpa in Aceh. The collective Sambung Hambar is also talking about similar issue by trying to find word uptakes in Indonesian language while questioning the relevance of religion column in the ID card by presenting quiz of obedience instead which is less visible yet showing a more direct relationship to God. Lintang Raditya choses to talk about the fluctuation of human attitude in relation to the change of Schumann Resonance (SR) that ismanifested in an invisible force of electromagnetic field in which the fluctuated vibration disturb the balance of life’s tuning fork, causing human anxiety worldwide. And on the other side of it, Rudy “Atjeh” portray the Sufi whirling dance that was created by Jalaluddin Rumi as a continuous circlingmotion toward perfection as a meditative connection between human and the God. All of which are put together on stage to trigger further discussion about identity and tolerance in daily life.
Lintang Radittya
Lintang Radittya (born in Yogyakarta, 1981) is a multidisiplinary artist. Emphasis his works in art into interactive art, eletronic and performing art. Since 2011, he formed KENALI RANGKAI PAKAI (www.kenalirangkaipakai.blogspot.com), a project of development and socializing DIY synthesiser in Indonesia and in 2013, he initiated SYNTHESIA-ID, a project that actively documenting the development of DIY synth and synth culture in Indonesia (www.synthesia-ind.blogspot.com). In 2014, he join Sewon Foodlabs. Lintang actively making and developing electronic and Synthesiser workshop, and active in experimental music of Yogyakarta.
Rudy ‘Atjeh’ Dharmawan
Rudy artistic practice has been inspired by his personal experience. Particularly when Rudy moved from Nangroe Aceh Darussalam, a special region in Indonesia which known with the Moslem Sharia Law practice to Yogyakarta in 2000. The encounters with different culture during his study period at the Indonesian Institute of the Arts in Yogyakarta, created a space for reflection regarding his cultural identity and perspective about the transcendental relation between man and God that is being politicized. As part of his experimentation as a printmaking artist, Rudy was initially interested in forms of diorama made of paper and stencil. In 2010, Rudy began to explore paper cut in my works beside other medium. Until 2012, he focusing on paper cut as the main medium, mainly because paper has been a challenging material to be explored. Rudy formed a heavy metal band called SANGKAKALA in 2005 and involved in an experimental art and music performance project called PUNKASILA in 2006, both until now. The cross discipline practices enrich the visual references and his artistic practice indirectly. Rudy also an active member of an artist collective in Yogyakarta called Ace House Collective which formed in 2010.
Sambung Hambar
@sambunghambar is a collective by Testa Siregar and Syaura Qotrunadha in 2015. At the same time, they both studied photography in different art school. Testa studied in Whitecliffe College of Art and Design, Auckland, and sayer Studied in Art Institute, Yogyakarta. @Sambunghambar in the early time made as a medium to play exquisite corpse when they were in the two different countries with hashtag #digitalcorpse in Instagram.
Pembukaan:
Kamis, 9 November 2017
Pk 19.00 WIB
Pertunjukan Pembuka:
Lintang Radittya berkolaborasi dengan Elyandra Widharta dan Disonant
*akan berlangsung workshop dan open studio sejak tanggal 3 November 2017
Perpecahan merupakan resiko yang mungkin terjadi ketika politik identitas dan agama digunakan untuk mencapai kekuasaan. Salah satu manifestasi atas perilaku yang fanatik adalah mudahnya mobilisasi massa dilakukan dengan menggunakan jargon identitas sebagai bahan bakar untuk perlahan-lahan memancing perpecahan dan tindak kekerasan terhadap mereka yang memiliki identitas berbeda. Namun sebelum hal itu terjadi, perlahan-lahan nilai persatuan dan toleransi pun terancam. Filsuf Karl R.Popper mempercayai sebuah paradoks bahwa untuk menjaga toleransi dibutuhkan perilaku tegas untuk tidak mentolerir mereka yang tidak bersikap toleran. Ia percaya bahwa memberikan panggung terbuka bagi mereka yang tidak toleran bisa mengancam toleransi itu sendiri. Namun di sisi lain yang lebih ringan, di dalam pameran ini, para seniman mencoba untuk membicarakan isu toleransi dengan cara masing-masing sebagai upaya untuk membahas isu sosial melalui karya seni. Rudy “Atjeh” memilih untuk menelusuri jejak persebaran kebudayaan dan agama melalui perdagangan yang berujung pada persilangan bahasa. Ia kemudian mempertanyakan hubungan antara kerajaan Champa di Vietnam dan Jeumpa di Aceh. Kelompok Sambung Hambar juga membicarakan hal serupa dengan mencari kata-kata serapan dalam bahasa Indonesia dan mempertanyakan relevansi kolom agama dalam KTP dengan alih-alih menyajikan kuis ketaatan yang lebih tidak kasat mata namun langsung berhubungan dengan Tuhan. Lintang Raditya memilih membicarakan fluktuasi perubahan perilaku manusia yang disebabkan oleh perubahan Schumann Resonance (SR) yang merupakan kekuatan tidak kasat mata berupa medan elektromagnetis yang fluktuasi getarannya mengganggu keseimbangan garpu tala kehidupan sehingga menimbulkan kegelisahan. Di sisi lain, Rudy “Atjeh” menggambarkan tarian Sufi yang diciptakan oleh Jalaluddin Rumi sebagai perputaran yang berulang menuju titik kesempurnaan menuju hubungan meditatif antara seorang manusia dengan Tuhannya. Seluruhnya dipanggungkan bersama sebagai pemantik percakapan atas identitas dan toleransi dalam kehidupan sehari-hari.
Lintang Radittya
Lintang Radittya (Yogyakarta, 1981) adalah seniman multidisiplin. Menekankan proses berkeseniannya pada seni interaktif, elektronika dan seni pertunjukan. Semenjak 2011 mendirikan KENALI RANGKAI PAKAI (www.kenalirangkaipakai.blogspot.com), sebuah project pengembangan dan pemasyarakatan DIY synthesizer di Indonesia, dan pada tahun 2013 menginisiasi SYNTHESIA-ID, sebuah project yang berusaha mendokumentasikan secara aktif perkembangan DIY synth dan synth culture di Indonesia (www.synthesia-ind.blogspot.com). Pada tahun 2014, bergabung dalam Sewon Foodlabs. Lintang aktif dalam membuat dan mengembangkan workshop elektronik dan Synthesizer, serta aktif dalam musik eksperimental Yogyakarta.
Rudy ‘Atjeh’ Dharmawan
Praktik artistik Rudy terinspirasi oleh pengalaman personalnya. Khususnya ketika Rudy pindah dari Nangroe Aceh Darussalam, daerah istimewa di Indonesia yang terkenal hukum syariah muslim ke Yogyakarta. Pertemuannya dengan budaya yang berbeda selama periode belajarnya di ISI Yogyakarta menciptakan ruang refleksi atas identitas kulturalnya dan perspektif atas relasi transendental antara manusia dengan Tuhan yang dipolitisasi. Sebagai bagian dari eksperimentasi sebagai seniman printmaking, Rudy juga tertarik pada bentuk2 diorama dari kertas dan stencil. Di tahun 2010, Rudy mulai mengeksplorasi papercut di karya-karyanya di samping mediumlainnya. Hingga 2012, ia fokus pada medium paper cut, terutama karena menurutnya material kertas menantang untuk dieksplorasi. Rudy membentuk sebuah band metal SANGKAKALA di tahun 2005 dan terlibat dalam sebuah seni eksperimental dan pertunjukan musik bernama PUNKASILA di 2006, hingga sekarang. Praktik lintas disiplin memperkaya referensi visual dan artistiknya secara tidak langsung. Rudy juga adalah anggota aktif dari Ace House Collective yang berdiri 2010.
Sambung Hambar
@sambunghambar adalah sebuah kolektif yang dibuat oleh Testa Siregar dan Syaura Qotrunadha pada tahun 2015. Pada saat itu keduanya sedang belajar fotografi secara formal di dua sekolah seni yang berbeda. Testa menjalani pendidikannya di Whitecliffe College of Art and Design, Auckland, sedangkan Syaura menetap dan belajar di Institut Seni Indonesia Yogyakarta.@sambunghambar awalnya dibuat sebagai medium bagi mereka untuk bermain exquisite corpse bersama dari dua negara yang berbeda dengan menggunakan tagar #digitalcorpse di media sosial berbasis fotografi, Instagram.
Pembukaan Pameran
(khusus undangan)
Sabtu, 12 Agustus 2017
13.00 – 16.00 WIB
Pameran
(terbuka untuk umum)
Senin-Jumat (kecuali akhir pekan dan hari libur nasional)
14 Agustus – 6 September 2017
10.00 – 17.00 WIB
15/11-Judging Process
16/11-Seminar & Workshop
21-25/11-Exhibition
Sekolah membuat desainer menjadi pintar, bekerja membuat desainer menjadi paham, pengalaman panjang membuat desainer menjadi arif