Warna-Warni Pikiran Kartini
(This photo was taken by Rechy A Rachim)

(This photo was taken by Rechy A Rachim)


Graphic Designer: Johannes Satyadi.
2007.


Apa jadinya jika satu impian berwujud sehimpun buku? Hasilnya, kado cantik nan menawan. Kado ini berupa 11 buku mungil, diikat dalam satu tajuk Pikiran Kartini. Ia istimewa dalam tampilan sekaligus mulia dalam isi. Krisnina Akbar Tandjung menyebut buah kerjanya ini: “buku dalam bentuk yang lebih komunikatif.”

Isinya, surat-surat Kartini. Bedanya, tiap surat dipilah dalam satu pokok pikiran. Nina membaginya jadi 10 buah plus satu memoar Kartini. Pembagian itu berdasar kata-kata penting. Atau dalam istilah Nina: Percakapan-percakapan yang inspiring.

Sumbernya dari buku surat-surat Kartini kepada keluarga Abendanon versi terjemahan Sulastin Sutrisno. Buku ini diterbitkan Djambatan pada 1979 dan sudah cetak ulang empat kali pada 2000. Nina membukukannya kembali di bawah Yayasan Warna Warni Indonesia (Nina salah satu pendirinya).

Ia menapis surat-surat itu. Menggaris-bawahi, mengarsir, menyentangnya. Asistennya mengetik kembali. Dibaca lagi oleh Nina. Memotongnya sepenggal demi sepenggal. Dipisahkan ke dalam satu tema. Diketik lagi. Ia minta adiknya ikutan mengetik. Semuanya berjalan sekitar 2,5 bulan. ”Kalau sudah bangun tidur, duduk manis, saya konsentrasi, sampai malam sudah nggak terasa. Di meja terus. Karena kata-kata (Kartini) sangat kuat.”

Lalu masuk ke urusan cetak. Suami Nina adalah Akbar Tandjung, orang kuat Partai Golkar. Nina pun mengajak kenalan mereka ikut menerbitkannya. Ia ingin buku ini hasil sumbangan banyak orang. Satu kontributor, satu buku. Para kontributor itu kaum isteri yang hidupnya mapan. ”Mereka dengan senang hati ikut membiayainya. Mereka welcome, appreciate. Turut senang bisa ikut dalam bagian ini,” kata Nina.

Alexandra Prasetio, salah satu kontributor, juga teman baik Nina, menawarkan buku ini dicetak di PT Jayakarta Agung Offset. Para kontributor setuju. Nina juga diberitahu percetakan ini tergolong bagus. ”Tadinya, ada juga pilihan percetakan yang murah. Tapi saya berpikir balik. Toh ini nggak dimiliki saya. Beliau-beliau kontributor yang milih. Menentukan percetakan. Walau harganya mahal, tapi mereka merasa puas. Saya nurut apa yang sudah ditentukan kontributor. Mereka kepingin yang berkualitas bagus,” cerita Nina.

Pihak Jayakarta meminta Johannes Satyadi meracik buku ini. Johannes pun diperkenalkan pada Alexandra Prasetio lalu ke Nina. Dari sini, pekerjaan desain buku pun dimulai.

Johannes asal Bandung, belajar visual communication di Oregon State University (1989-1993). Setahun ia sempat bekerja di perusahaan design di Amerika kemudian kembali ke Indonesia

Buku Icons of Art: National Museum Jakarta, Karaton Surakarta, Nyoman Nuarta adalah salah satu hasil sentuhan tangannya.

Johannes punya waktu kerja hanya lima minggu, tentu saja, untuk mengejar Hari Kartini 2007. Setiap minggu ia datang ke rumah Nina dibilangan Purnawarman, Kebayoran Baru untuk mempresentasikan perkembangan design buku. Segala kekurangan dan perubahan desain diperbaiki/dibahas pada saat pertemuan, diproses lebih lanjut untuk pertemuan berikutnya.

Proses mendesain buku ini, dalam istilah Johannes, adalah ”ide yang bertumbuh.” Awalnya ada delapan buku yang didesain. ”Tapi kemudian berubah jadi 9, lantas 10, akhirnya 11,” katanya. Isi buku makin kaya. Makin beragam.

Konsep awal desain buku ini berupa batik ukiran dan bunga. Tapi setelah dicoba kesan yang didapat malah datar. Dua dimensi. Motif batik juga terlihat agak ramai. Ini ditambah wajah Kartini, yang rencananya, ikut juga ditampilkan di depan. Sementara ia pun menghiasi halaman dalam. Menurut Johannes, itu terasa berlebihan dan akhirnya tak jadi ditampilkan. Mereka pun sepakat memakai ukiran.

Kebetulan, Nina punya koleksi hiasan dinding kayu ukiran Jepara. Tergantung di dinding teras rumahnya. Ia meminta anaknya, Triana Krisnandi, memotret hiasan tersebut. Itu dilakukan siang hari. Lampu-lampu plafon dinyalakan. Menyorot hiasan dinding itu. Ada bias cahaya redup dan terang pada lekuk-lekuk ukiran. Triana memotretnya berkali-kali di setiap bagian.

Hiasan ini berbentuk memanjang, sekitar satu meter. Aslinya bernuansa hutan. Ada binatang rusa, ada belitan pepohonan. Johannes memilih satu titik bagian gambar yang menampilkan cukilan-cukilan kelopak kembang dan bebuahan. Gambar ini paling pas, menurut Johannes. Gambar tiga dimensi itu menjadi sampul jaket buku ini.

”Sedari awal mengerjakan, konotasinya sudah tertancap, sesuatu yang feminin, saya tampilkan sesuatu tentang flora, bukan hewannya,” kata Johannes.

Untuk sepuluh buku, hiasan gambar itu berwarna coklat mahoni. Senada warna kayu jati Jepara. Tebal masing-masing 24 halaman. Ia disusun alfabetis. Memoar semacam pengantarnya. Dimasukkan dalam satu boks berwarna emas.

Namun ke-11 buku itu dibuat beda warna untuk lembar isi halaman. Ia ditampilkan di bagian punggung buku. Ia menunjukkan warna isi halaman dan tulisan.

Memoir Kartini: Krisnina Akbar Tandjung (abu-abu tua)
Budi Luhur: Alexandra Prasetio (ocre)
Guru Sejati: Kartini Muljadi (emas)
Hati yang Teguh: Inti Nusantari Subagio (merah)
Harapan & Tantangan: Hartini Hartarto (hijau army)
Keagungan Tuhan: Efin Soehada A. Effendi (biru tua)
Kemuliaan Jiwa: Arnie (Yani) Arifin (hijau muda)
Masa Depan: BRA Mooryati Soedibyo (merah jingga)
Pengabdian: Rachmiwaty (merah tua)
Seni dan Keindahan: Martha Tilaar (hijau olive)
Semangat Kemajuan: Ibu Mochtar Riady (oranye)

Foto-foto close-up kontributor terpajang di belakang sampul bagian dalam. Keterangan sekilas aktifitas dan keluarga mereka tertera di sampingnya.

Alexandra Prasetio, misalnya, dijelaskan sebagai istrinya John Prasetio, pemilik PT Tritunggal Kania Utama. Kartini Muljadi, ketua pengurus Yayasan Instite of Human Virology and Cancer Biology Universitas Indonesia. Adapun Inti Nusanti, istri pengusaha Subagio, dikenal pekerja sosial dan dermawan.

Hartini Hartarto pernah jadi ketua Yayasan Dharma Wanita serta pendiri sekolah mode Esmod. Efin Soehada, istri Agusman Effendi, ketua Komisi VII dari Partai Golkar. Lalu Mooryati Soedibyo, selain keponakan Kartini, juga politikus yang menjadi wakil ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat. Adapun Rachmiwaty berusia senja, bisnisnya PT Makindo dan Sugar Group Companies.

Uniknya, ada satu nama tak tercantum di sampul depan. Ia Yani Arifin, anak tertua Bustanul Arifin, mantan kepala Badan Urusan Logistik masa Presiden Soeharto. Ada yang terlupa, barangkali. Pihak percetakan pun mengira hal sama sewaktu buku ini naik cetak. Mereka menelepon Johannes. Tapi Johannes mengatakan ini permintaan Yani sendiri. Sudah pesanan dari yang punya nama.

Nina mengulas riwayat Kartini, lewat surat terjemahan Sulastin, juga biografi Kartini karangan Sitisoemandari Soeroto dan Elisabeth Keesing. Seumumnya memoar, hidup Kartini diletakkan dalam tiga fase: lahir, jodoh, maut.

Kartini lahir di tengah tradisi Jawa yang patriarkal pada kurun akhir abad 19. Usia 12 tahun ia masuk pingitan. Mengawali abad 20, ia mulai menulis surat pada teman-temannya di negeri Belanda. Menikah dipaksa pada 12 November 1903 tapi setahun kemudian meninggal, beberapa hari setelah melahirkan anaknya.

Rudolf Mrázek dari Cornell University mencatat dalam Engineers of Happy Land, bahwa Kartini adalah seorang revolusioner dan nasibnya tragis.

Yang abadi, tentu saja pikiran-pikiran Kartini yang termuat dalam surat-suratnya. Bagi Nina, surat-surat ini perlu disebarkan. Wajib dibaca. Nina mencatat, pikiran Kartini mengajarkan pengetahuan yang terbuka pada kemajuan, selain budi pekerti, intelektualitas, kepribadian dan juga kebangsaan. Itu tak pernah berlaku surut.

Surat-surat Kartini disusun berurutan dari tanggal dan tahun tertua. Johannes memakai font Cochin untuk teks. Bagian teks yang dipertebal maupun berwarna memakai font Linoscript. Ada kesan klasik tertancap di mata. Ilmu tipografi bermain penuh dalam proses ini.

Nina mulai kenal pikiran Kartini lima tahun lalu. Ia diberi hadiah buku biografi Kartini oleh temannya, anak penulis Sitisoemandari. Ia mulai mendalaminya. Saat pergi ke luar negeri, ia berkesan atas buku-buku yang berbentuk kecil-kecil yang jarang dijumpai di Jakarta. Buku model itu sederhana namun unik. Isinya tentang nilai-nilai humanisme misalnya persahabatan, Cinta kasih dll. Ia terpesona dan ingin bikin buku seperti itu. Impiannya terwujud dalam bentuk buku ini.

”Buku ini muncul, saya bahagia sekali. Ini kan bagus untuk souvenir. Kalau di Amerika, macam buku self-improvement.”

Kamis, 19 April 2007, sebelas buku ini sudah selesai cetak. Hari berikutnya, ia selesai seluruhnya.

Hari itu juga diluncurkan. Nina, Alexandra dan kawan-kawan, menggelarnya di Hotel Mulia, bilangan Senayan. Johannes membikin juga shopping bags untuk acara ini. Acara bertajuk “Friendship & Heritage” berjalan lancar. Habis gelap, terbitlah kado cantik nan menawan.

Sumber: Buku profil perusahaan (company profile) Percetakan “Jayakarta Agung Offset”, 2007, halaman 24-27.

Quoted

“Seorang desainer harus memiliki keberpihakan pada konteks membangun manusia Indonesia. Peka, tanggap, berwawasan, komunikatif adalah modal menjadikan desainnya sebagai alat perubahan”

Arif 'Ayib' Budiman