Pada tanggal 26 Februari 2011, desainer grafis Arief ‘Ayip’ Budiman melakukan kunjungan kultural ke Lasem di pesisir utara Jawa Tengah. Berikut adalah rekam jejaknya.
MENGAWALI KISAH NYATA TENTANG LASEM | 26.2.11
Pemandangan sama sepanjang jalur pesisir utara Jawa seketika berubah ketika memasuki kawasan pecinan di Lasem, sebuah kota kecamatan di pesisir utara Jawa Tengah. Perjalanan ini, sebut saja sebuah seri lawatan kultural untuk kenali kultur peranakan setelah November 2010 lalu dimulai dengan Palembang.
Sangat disadari tak mungkin mampu merangkum eksotika Lasem ini hanya dalam kunjungan sekejap. Referensi dan bacaan tentang Lasem memang telah lama ada di kepala, namun ini adalah kali pertama dengan waktu yang singkat dapat secara nyata berada disana. Harus ada kunjungan berikutnya, tapi mengabaikan impresi Lasem yang kuat sampai kunjungan berikut juga hanya akan menimbulkan kesia-siaan. Biarlah tulisan ini menjadi satu penanda yang bersambung dengan penanda-penanda berikutnya tentang kota Lasem.
Dalam referensi kota Lasem ada hal menarik bagaimana kota kecil ini telah membuat cerita penting sebagai referensi peranakan. Orang Perancis menyebutnya sebagai Le Petit Chinois atau Tiongkok Kecil. Referensi lain menyebut (Kerajaan) Lasem 1351-1863 adalah bagian dari wilayah Majapahit yang menjadi sentra peradaban multikultur dan perdagangan internasional (Carita Lasem, Ki Kamzah 1863)
Bayangan kota kecil Lasem masa lalu dengan kultur peranakan dan reputasi perdagangan internasionalnya terungkap bukan saja dari pustaka dan cerita, memasuki pecinan dengan rumah-rumah tinggi besar berarsitektur langgam Cina yang dibungkus tembok menyiratkan kemampuan ekonomi pemiliknya yang sejahtera. Konon, selain kayu, batik dan garam yang dikirim lewat pelabuhan Lasem, candu adalah komoditas yang turut didistribusikan.
KELENTENG
Penanda lain dari sejarah Lasem adalah Kelenteng Makco Dewi Laut. Kelenteng ini dibangun di bantaran sungai Lasem. Diyakini ini sesuai kepercayaan masyarakat Tionghoa dimana air merupakan unsur penting dalam peruntungan selain jalur strategis berniaga, Sungai Lasem pada masa lalu merupakan sarana transportasi dan pendistribusian barang dari dan ke pelabuhan, di kelenteng ini para pedagang memohon keselamatan dan peruntungan sebelum berniaga dengan kapalnya.
Usia kelenteng yang tua nampak dari gerbang memasuki halaman kelenteng. Kita bisa kenali juga arsitektur, ornamen dan material yang dipergunakan pada interiornya adalah sesuatu dari peradaban masa lalu. Detail ornamen dan artwork menunjukan pekerjaan seni yang memerlukan kemampuan tinggi.
Memasuki kelenteng melalui pintu samping akan menemui bangunan utama tempat persembahyangan yang tata letaknya simetris, dengan furnitur sarana persembahyangan dan aksesori ritual lainnya. Interior khas yang riuh dengan paduan detail ornamen dan warna merah yang mendominasi ruang. Pada dinding bagian kiri dan kanan di ruang utama dipenuhi oleh gambar-gambar yang diprakirakan merupakan fragmen dan adegan penting yang direkam lewat teknik gambar hitam putih yang sudah menua.
Setelah kelenteng Dewi Laut ini kami bergerak menuju kelenteng Gie Yong Bio lalu mulai memasuki pecinan dimana sentra batik Lasem dibuat sebagai industri rumahan.
“Imajinasi yang liar lebih kuat dari lirik yang sok mau jelas.”