“Menyentil eksistensi, eksis karena menyentil?”*)
Tengah tahun 2010, dua artikel singkat namun bernas muncul bersahutan. Yang lebih dulu, muncul dari desainer dan pengajar desain grafis, Eka Sofyan Rizal, yang menyatakan bahwa, “Desain itu seni terapan.” Tak lama berselang, seorang perupa yang juga turut menjadi pendiri IPGI (Ikatan Perancang Grafis Indonesia) pada 1980-an, FX Harsono, menyahuti dengan argumen, “Desain itu juga seni rupa.” Ketika praktik desain grafis tak dapat lepas dari arus tuntutan kompetisi dalam industri hingga interaksi terhadapnya hanya berpijak pada logika ekonomis untung dan rugi, kedua artikel tersebut menegaskan ketegangan yang intens dan perlu dijadikan pertimbangan yang kontans bagi para pelaku di kedua bidang itu.
Plaza Desain Anacdote mengingatkan kami pada ketegangan itu. Dilaksanakan sebagai kegiatan tahunan mahasiswa DKV School of Design Binus University, Plaza Desain Anactdote hadir sebagai sebuah anomali. Bertempat di Galeri Art:1, Kemayoran, para mahasiswa Desain Komunikasi Visual menanggalkan jubah anak-grafis-serba-digital-dan-instan-nya dan kembali menjamah ke ‘dasar’. Barangkali, baru kali ini kami hadir dalam pameran mahasiswa desain komunikasi visual lalu melihat kerja tata letak a la branding dan olah-vektor sebagai sesuatu yang ‘sumbang’.
Berbeda dari kecenderungan Plaza Desain terdahulu (dimulai sejak 2001) yang menampilkan karya-karya akademis dari ruang kuliah, Plaza Desain Anacdote melibatkan tiga orang pengajar, Wahyudi Pratama, David Tandayu, dan Ferdinand Indrajaya sebagai kurator pameran yang mendorong hadirnya karya-karya di luar kebiasaan itu. Ketika karya akademis menjalani ‘fungsi pesanan’ desainer grafis dalam praktiknya di industri kini, Plaza Desain Anacdote mengisi dua lantai ruang pameran dengan 20 lebih karya kolektif yang hadir dari inisiatif mereka sendiri-sendiri.
Bercermin dari gagasan akan ‘anekdot’ yang melatari tema besar Plaza Desain ini, karya-karya ragam medium tersebut merespon kembali interaksi perupa sebagai subyek terhadap lingkungannya dengan pendekatan yang satir. “Bagaimana hierarki seni untuk menjelaskan problematika sosial, kemampuan membedah lewat telisik artistik, bila seni sendiri tidak berjarak?” demikian pertanyaan disematkan dalam pengantar kuratorial.
Plaza Desain Anacdote menjadi istimewa dengan didorongnya pengolahan kembali medium-medium manual (akrilik, instalasi, paper-cut, kolase, dan sebagainya) serta kerja tangan (craftsmanship) yang dituangkan ke dalam karya berdimensi masing-masing sedikitnya 2 meter. Setiap peserta yang lolos kurasi merupakan mereka yang telah intens melakukan diskusi dengan para kurator dalam mengkaji dan mengolah konsep, konteks, dan forma dari tiap karya yang ingin digarap. Benturan-benturan antara gagasan dan teknis serta tuntutan taktis yang terjadi sepanjang proses penciptaan menyodorkan kembali apa yang semestinya menjadi fondasi dasar dalam metode pendidikan desain grafis di perguruan tinggi. Dalam bincang-bincang bersama kurator selepas pembukaan, diakui bahwa mendorong kebiasaan semacam ini dapat menumbuhkan kembali upaya inisiatif dalam masing-masing siswa.
“Inisiatif itu adanya dari perupa,” tegas David Tandayu, “Coba saja jika seluruh perupa itu bersepakat untuk tidak membuat apa-apa, industri juga akan mati. Namun, jika industri itu mati, perupa akan tetap jadi perupa. Ia tetap berkarya, bukan menunggu disuruh-suruh.”
Jika desainer grafis kini berkecenderungan angkat-tangan dari apa yang dihasilkannya karena tak dapat lepas dari ‘titipan pesan’ para kliennya, karya-karya dalam Plaza Desain Anactdote menyatakan sikap yang lugas untuk keluar dari kecenderungan itu. Dengan mengolah sendiri gagasan besar yang hendak diangkat dalam karya, para peserta pameran didorong oleh tim kurator untuk bertanggung jawab penuh terhadap seluruh eksekusi karyanya. Tarik-menarik antara konteks, persepsi dan telaah subyektif, serta keputusan-keputusan taktis dan teknis dalam eksekusi forma akhir karya sedemikian rupa mendorong “internalisasi dan dialog antar keilmuan di kampus [desain komunikasi visual] dengan problem terdekat dan diri sendiri.”1 Sebagai sebuah pendekatan “pendewasaan untuk menertawakan kejadian sehari-hari termasuk diri sendiri”2, beragam tema yang dekat dengan kehidupan kita sendiri dapat ditemukan dalam Plaza Desain Anactdote—dengan pendekatan yang ‘lucu’, tentunya.
Ega Mawardhani sendiri, Ketua Plaza Desain 2015, mengatakan bahwa gagasan besar yang mengawali Plaza Desain Anactdote sendiri sebenarnya adalah pertanyaan terhadap seni dan relasinya dengan publik kini. “Sekarang orang memang ramai datang ke galeri, tapi untuk mengapresiasi karya seni atau ingin jadi ‘eksis’ dengan berfoto di depan si karya seni?” Atau bisa jadi, memang ada mode pendekatan apresiasi tersendiri dari publik kita terhadap seni, sehingga karenanya, sensitivitas dalam membaca lingkungannya jadi PR untuk turut dikerjakan.
“Bila karya-karya dalam Anactdote kemudian menyentil keadaan terkini yang mengukuhkan eksistensi sosial secara umum, apakah sentilan tersebut juga diadakan supaya perupanya eksis? Supaya aura—baik perupa, lingkungan perupa, dan karyanya—turut eksis? Atau bahkan, agar kampus yang dikuliahi perupa juga eksis?” demikian kurator turut menegaskan dalam pengantarnya.
Jika masing-masing karya dalam Plaza Desain Anactdote memiliki sasaran tersendiri untuk ‘disindir’, Plaza Desain Anactdote secara menyeluruh memiliki sebuah sindiran besar. Kami jadi ingat ujaran FX Harsono dalam artikelnya berkata, “Bagi saya membatasi diri dalam sebuah pengkotak-kotakan justru membatasi cakrawala seorang desainer, seniman, atau perupa dalam penggalian ide-ide kreatif dalam proses penciptaan karya seni rupa atau karya desain. Sempitnya orientasi dan cakrawala pada akhirnya akan berpengaruh terhadap nilai estetis sebuah karya seni sehingga tak akan mampu menembus batasan-batasan seni sebagai bagian dari kebudayaan.” 3
Maka, agar tak kurang piknik, mari hadir dan mengapresiasi sambil mencoba menertawai diri sendiri!***
*) Subjudul Pengantar Pameran Plaza Desain Anactdote 2015.
1 Pratama, Wahyudi, dkk. “Seni Rupa, Cermin Praktik Sosial, Satire” dalam Katalog Pameran Plaza Desain Anactdote 2015.
2 ibid.
3 Harsono, FX. 2010. “Desain itu Juga Seni Rupa”.
9 – 12 Juli 2015
Art:1- Jl. Rajawali Selatan Raya No 3
Jakarta Pusat 10720
Liputan: Desain Grafis Indonesia/Ellena Ekarahendy
Dokumentasi: Desain Grafis Indonesia/M. Fendy Alwi
When you do what you like, you won’t get sick of it too long, if ever.