DWD # 2: Design for Disaster – Wawancara bersama Danton Sihombing

poster2

 

Punya pengalaman pribadi dengan bencana?

Punya, namun saya bersyukur dampaknya tidak sampai merusak fisik dan psikologis saya.

 

Apa saja dampak terburuk dari sebuah bencana?

Bencana dan berkah sama-sama punya potensi berdampak buruk, apabila tidak pandai memahami pembelajaran dari dua hal tersebut. Saya ambil kutipan yang relevan “hear or see is nothing, recognize or not recognize is everything”.

 

Adakah bencana yang membuat Anda terinspirasi?

Selalu ada, baik yang menimpa diri saya atau orang lain. Ini lebih dari sekedar inspirasi tetapi seperti sudah saya sampaikan adalah pembelajaran. Contoh: Buku ‘Ocean of Tears (Samudra Air Mata)’ oleh Antara—tentang musibah Tsunami Aceh dan Sumatera, yang kebetulan Inkara Design dipercayai untuk mendesain. Bodohlah saya jika tidak belajar memahami bahwa ‘tangan’ Tuhan berperan besar dalam proses penyelesaian buku yang tebal itu hanya dalam 4 (empat) hari dan saat launching berhasil menggalang dana bagi para korban dengan nilai rupiah yang signifikan hanya dalam waktu kurang dari 3 jam. Itulah konektivitas antara bencana dan berkah—saya belajar sebuah konsep keadilan.

 

Bagaimana komunikasi (publikasi, campaign, media) yang ada di masyarakat sekarang ini menyangkut persiapan, pencegahan serta penanganan bencana?

Saya tidak melihat ada yang signifikan. Sebagian upaya-upaya sepertinya hanya wacana-wacana dan pengalihan permasalahan, seperti penanggulangan banjir didalihkan dan didengungkan senantiasa sebagai fenomena alam. Namun, upaya menanggulangi bencana sosial seperti Narkoba terlihat nyata, tiada ampun bagi para pelanggarnya—that’s the moment of truth.

 

Sekarang ini banyak perusahaan besar melakukan CSR (Corporate Social Responsibility) dalam upaya meningkatkan ‘brand image’ bagi bisnisnya, seberapa besar CSR dapat mempengaruhi citra positif sebuah brand?

Secara pengukuran saya tidak tahu berapa persis besarnya. Yang jelas ada, selama terdapat transparansi dalam pengelolaan dan kemampuan dalam menentukan prioritas kebutuhan. Di samping itu juga apabila secara nyata yang namanya policies, services dan product dapat memberikan impact positif kepada aspek sosial, hak azasi manusia dan lingkungan.

 

Pilih mana? Recycle paper import dengan harga mahal atau kertas regular yang tidak ramah lingkungan tapi harganya murah?

Saya senantiasa berupaya untuk memberikan nilai tambah dalam proses kerja. Namun, konteks ini bila dieratkan kepada klien umumnya, tentu pilihan yang lebih ekonomis yang selalu menang.

 

Seorang desainer grafis bertanggung jawab menghasilkan sampah dalam setiap aplikasi printing, ‘kompromi’ seperti apa yang dapat kita lakukan dalam usaha efisiensi energi dan kertas?

Yang saya lakukan dalam kerangka efisiensi biaya yang otomatis menggerakkan efisiensi energi dan kertas. Namun, simak dimana peran kita (apakah desainer merupakan ‘the center of gravity’) dalam perspektif ini, tela’ah dengan baik perumpamaan sbb:

Bila desainer diumpamakan sebagai REL KERETA API (they do nothing themselves, the locomotive uses the tracks), bila sebagai BAHAN BAKAR (the fuel is not an actor, the locomotive uses the fuel), bila sebagai GERBONG (they cannot move it on their own), bila sebagai MASINIS/OPERATOR (operators are critical, but they do not have the inherent capability to move freight by themselves), bila sebagai LOKOMOTIF (the locomotive is the doer. It has the inherent critical capability to perform an action).

 
Busway menambah masalah atau membantu mengurangi emisi gas buang?

Dua-duanya benar. Yang pertama the “Boss-way”, yang ke dua the “Best-way”.***

 

Quoted

“Keberhasilan merancang logo banyak dikaitkan sebagai misteri, intuisi, bakat alami, “hoki” bahkan wangsit hingga fengshui. Tetapi saya pribadi percaya campur tangan Tuhan dalam pekerjaan tangan kita sebagai desainer adalah misteri yang layak menjadi renungan.”

Henricus Kusbiantoro