Setengah Abad Helvetica
Helvetica film poster “Meet the cast” design by Experimental Jetset. 27″ x 38.75″, litho printed.

Helvetica film poster “Meet the cast” design by Experimental Jetset. 27″ x 38.75″, litho printed.

 

Film produksi tahun 2007 ini termasuk genre film dokumenter, yang bercerita tentang sebuah bidang profesi dan keilmuan yang spesifik – Desain Grafis, lebih spesifik lagi Tipografi. Kebolehan Gary Hustwit sebagai sutradara sekaligus produser, adalah kemampuannya untuk membuat film “hanya” tentang sebuah jenis huruf, Helvetica, namun dapat menarik. Film berdurasi 1 jam 20 menit ini dibuat untuk memperingati 50 tahun kelahiran Helvetica. Sang sutradara membuat film ini berdasarkan rasa heran Hustwit, mengapa sebuah huruf demikian popular digunakan, walaupun sudah berusia setengah abad (www.helveticafilm.com). Editing yang dilakukan dalam film ini sangat baik sehingga mampu mengusir kebosanan penonton. Demikian pula dengan ilustrasi musik yang sangat dinamis, berpadu dengan editing scene pemandangan huruf-huruf Helvetica di kota sehari-hari.

Setelah usia Helvetica mencapai setengah abad, jenis font ini masih terus-menerus digunakan untuk berbagai keperluan di seluruh belahan dunia. Mulai dari sign system arsitektural, rambu jalan raya, hingga logoype, dan banyak lagi. Film Helvetica berisi pendapat berbagai desainer mengenai Helvetica. Mereka misalnya, Massimo Vignelli (New York), Rick Poynor, Wim Crouwel (Amsterdam), Erik Spiekermann (Berlin), Stefan Sagmeister (New York), Neville Brody (London), David Carson (Portland), Erwin Brinkers, Danny van den Dungen (Amsterdam), Michael C. Place (London), Manuel Krebs dan Dimitri Bruni (Zurich), dan lain-lain. Pendapat mereka terbagi dua antara desainer yang menggemari dan desainer yang tidak menggemari Helvetica. Perbedaan dua sudut pandang desainer tersebutlah yang ditampilkan dengan menarik oleh Hustwit.

Keberadaan jenis huruf Helvetica sudah seperti udara atau gravitasi bumi yang – disadari atau tidak – selalu mewujud dimanapun. Kelahiran dan perkembangan Helvetica terjadi, ketika dunia baru saja dilanda oleh Perang Dunia II. Pada masa itu atmosfir masyarakat internasional adalah sikap positif dan optimis pada masa depan modernisasi, teknologi dan demokrasi. Desainer cenderung mencari bentuk-bentuk yang ‘baik’ bukan yang bersifat agitatif (Dormer: hlm 74). Huruf ini lahir pada tahun 1957 hasil rancangan Max Miedinger dan Edouard Hoffman, dan diterbitkan oleh sebuah perusahaan tipe huruf (typefoundry) Swiss, Haas. Awalnya Helvetica lahir dengan menggunakan nama Haas Grotesque/New Haas Grotesque. Namun setelah dipublikasikan di Jerman oleh perusahaan Stempel dan Linotype tahun 1961 namanya berubah menjadi Helvetica (Livingstone dan Livingstone: 1992: 98). Nama ini dipakai untuk menghindari nama Helvetia – nama lain dari negeri Swiss. Perubahan nama ini semata karena pertimbangan nilai komersial – agar mudah diterima oleh masyarakat global. Desain huruf Helvetica berdasarkan huruf sans serif sebelumnya yang cukup terkenal juga, Aksidenz Grotesque yang dibuat tahun 1898. Kemudian pada era Bauhaus, desainer Herbert Bayer menciptakan huruf Universal (1925). Kemudian pada tahun 1927, Paul Renner menciptakan huruf Futura, yang disebut Danton Sihombing sebagai huruf sans serif yang paling berpengaruh dalam abad ke-20 (Sihombing, 2001: 54). Huruf-huruf sans serif di atas merupakan perwujudan dari budaya moderen simpel dan obyektif.

Helvetica adalah jenis font yang menggambarkan sikap modernisme yang kuat ketika faktor fungsi menghasilkan clarity dan legibility tinggi. Sebuah font yang baik harus jelas, terbaca, dan mudah dipahami. Itu sebabnya dalam menyusun huruf, seorang desainer seperti Crouwel misalnya, menggunaan grid system untuk menciptakan keteraturan. Makna hanya dikandung oleh kata-kata, bukan pada bentuk huruf itu sendiri. Dengan kata lain, huruf haruslah bersifat netral. Sebuah font tidak membutuhkan sifat dan bentuk yang ekspresif. Sebuah font hanya membutuhkan tingkat keterbacaan tinggi. Apabila hendak menyatakan sesuatu lebih bermakna atau emosional, cukup gunakan helvetica bold, ataupun helvetica black.

Helvetica masih terus digemari karena merupakan huruf yang bagus bentuknya, Helvetica adalah huruf yang tidak opresif. Penggunaan huruf Helvetica untuk kepentingan pemerintahan Amerika Serikat, misalnya, mengesankan sebuah administrasi pemerintahan yang modern, dapat dipercaya dan dapat diterima (accessible) serta tidak opresif – setidaknya terlihat demikian.

Ketika dunia memasuki dekade 60-70an, identitas lokal masyarakat di berbagai belahan dunia semakin mendapat perhatian dan pengakuan akan keberadaannya. Hal ini terjadi karena berbagai hal, misalnya kekalahan teknologi modern Amerika Serikat dalam perang Vietnam. Hal lain misalnya ketika perusahaan-perusahaan multinasional dengan pemasaran globalnya yang gencar menemukan adanya identitas-identitas lokal yang sulit ditembus. Modernisme dengan fungsionalisme-nya mulai dipertanyakan keampuhannya. Bila desain hanya memandang kehidupan masyarakat semata dari kacamata fungsi dan sikap ahistoris, maka hasilnya adalah keseragaman yang membosankan. Helvetica sebagai representasi modernisme dalam tipografi mulai dipertanyakan keberadaannya. Sebagian desainer grafis menganggap Helvetica membosankan, tidak ekspresif dan tidak komunikatif. Bahkan secara ideologis Helvetica, sebagai unsur utama dalam desain corporate image perusahaan-perusahaan multinasional, dikritik sebagai pendukung perang Vietnam dan perang Iraq – perangnya perusahaan-perusahaan multinasional Amerika. David Carson misalnya, membedakan antara legibility dengan komunikasi. Helvetica memiliki legibility tinggi, namun menurutnya sangat tidak komunikatif.

Pembahas film ini, Lans Brahmantyo sebagai seorang desainer grafis, pendiri dan pimpinan Afterhours group, tidak pernah menganggap Helvetica segalanya. Dalam merancang dia menggunakan berbagai tipe huruf sesuai dengan kebutuhan. Brahmantyo juga adalah co-founder dari Hexart Publishing dan Red & White Publishing. Adapun Celvy Toramaya menjelaskan pula betapa kehebatan Helvetica yang, walaupun dianggap meniru Universe, namun juga kemudian ditiru menjadi bentuk huruf lainnya, seperti Arial. Celvy menyamakan Helvetica dengan tipe huruf masa Nazi, yang digunakan sebagai sarana propaganda Hitler. Pembahas ketiga adalah ketua Forum Desain Grafis Indonesia (FDGI) sekaligus pendiri dan desainer biro desain Paprieka, Eka Sofyan Rizal menganggap bahwa film ini menceritakan banyak hal penting diluar desain itu sendiri. Pemahaman tentang latar belakang dibuatnya sebuah font ataupun bentuk desain, menjadi penting untuk dipahami oleh siapapun yang ingin mendalami desain.

Pemutaran film Helvetica tanggal 3 Maret yang lalu ini dipandu oleh Caroline F Soenarko dengan diselingi oleh pemberian doorprize dari pihak sponsor-sponsor yang sangat menarik. Acara ini diadakan di Kampus Universitas Tarumanagara, oleh Program Studi Desain Komunikasi Visual – Fakultas Seni Rupa dan Desain Untar bekerjasama dengan FDGI. Acara ini juga terbuka untuk dihadirkan di berbagai perguruan tinggi desain lainnya di seluruh Indonesia dengan menghubungi FDGI. Film dokumenter Hustwit yang keenam ini tercatat sebagai official selection di beberapa festival film, seperti hotdocs 2007, Silverdocs, Britdoc Festival.

 


 

poster4detail1
David Carson, Helvetica Poster-1

poster5detail1
David Carson, Helvetica Poster-2

Illustrious American designer David Carson adds his take to print series. Two different versions, only 50 of each design made. Archival C-prints, 16 1/2″ x 23 1/2″ image size.

Quoted

Ketik, pilih font, dan presentasikan sebagai ‘desain’… nggak salah tuh!?

Bambang Widodo