Kisah-Kisah (Ber)Tetangga

Komik, cergam, ataupun novel grafis mampu menjadi ruang dalam mengisahkan beragam kisah. Ia mampu mengisahkan sejarah/asal usul, hingga kejadian sehari-hari. Kali ini, dalam proyek kisah-kisah warga satu kilometer sekitaran kampus ISI Yogyakarta, media-media tersebut diperankan sebagai, katakanlah, ruang bercakap-cakap.

Percakapan dengan beberapa warga sekitaran kampus ISI dilaksanakan bulan September hingga November 2011. Percakapan tersebut digagas dalam mata kuliah Seminar di DKV ISI Yogyakarta. Percakapan itu, diam-diam, lahir dari ketidakpuasan dalam berbagai hal. Pertama, warga sekitaran kampus bukanlah warga anonim, namun tetangga.

Kedua, tetangga tersebut secara tidak langsung menjadi rekan lembaga ISI Yogyakarta. Merekalah yang di lain sisi memfasilitasi keberlangsungan hidup mahasiswa sehari-hari (kos, tempat makan, toko, dlsb.). Sebaliknya, hubungan tersebut tak sebatas bermatra ekonomi. Hubungan tersebut bisa direntang hingga hubungan partisipasi.

Ketiga, sejauh ini jarang ditemui (atau mungkin belum ada) media yang menyampaikan persepsi warga sekitaran kampus ISI Yogyakarta tentang kampus ini. Ini perlu dikerjakan. Ia perlu dikerjakan manakala kampus ISI dan warga sekitaran sama-sama memandang diri sebagai tetangga, saling tahu satu sama lain. Karena satu sama lain saling tahu maka prasangka-prasangka yang selama ini ada minimal dapat diatasi.

Keempat, terkait variabel akreditasi lembaga pendidikan yang kurang, atau bahkan tidak memberi variabel eksternal. Hidup bertetangga, atau hubungan dengan warga sekitar, tidak/belum menjadi variabel akreditasi. Variabel jenis ini setidaknya dapat menjelaskan bagaimana sebuah lembaga pendidikan berinteraksi dengan warga sekitar. Lebih jauh lagi, apakah hubungan di antara mereka sebatas hubungan ekonomi, administrasi, atau sudah meningkat hingga hubungan partisipasi.

Kelima, lewat bercakap-cakap dengan warga sekitar, kampus jadi lebih tahu apa saja yang mengendap di benak mereka tentang keberadaan kampus ISI Yogyakarta. Inilah yang jadi alasan mengapa kisah-kisah warga dicari, didengar, ditulis, dan digambar, dan kali ini dipamerkan kembali kepada warga.

Kisah-kisah warga yang terkumpul sejumlah empatpuluhlima judul membentang dari persoalan ekonomi, tato, muadzin gimbal, (pembebasan) tanah, mahasiswa manca negara, dlsb. Motif ekonomi sangat kentara, namun ia perlu cara tertentu dalam memahaminya. Ekonomi tak sebatas hitung-hitungan, ia melibatkan pula harapan dan partisipasi. Di lain sisi, tidak semua kisah-kisah yang digambarkan tersebut kuat dalam penarasian.

Terdapat perbedaan antara tulisan hasil bercakap-cakap dengan hasil penggambaran (komik, misalkan). Beberapa komik masih mengidap diri sebatas sebagai media hiburan. Komik, mestinya dapat diperankan untuk menggambarkan sesuatu yang serius. Komik, sebagai media ngomong dilengkapi berbagai elemen seperti balon bicara, gambar, tulisan, emotikon, dlsb. Elemen-elemen tersebut mestinya digunakan secara maksimal, agar hubungan antara konten, balon bicara, dan gestur saling menguatkan pesan-pesan yang mau dikomunikasikan.

Di luar komik, cergam, dan novel grafis dalam pameran kali ini terdapat pula pameran foto keluarga. Foto ini menjadi salah satu proyek lain dalam kisah-kisah warga. Alasannya sederhana, barangkali foto keluarga belum dianggap penting, atau barangkali warga menganggapnya penting namun belum berkesempatan saja. Pemotretan warga dilakukan di rumah mereka masing-masing, dalam situasi sehari-hari mereka. Foto yang terkumpul tak sebanyak judul kisah-kisah warga. Salah satu alasannya karena beberapa warga sudah memiliki foto keluarga. Alasan lain, warga enggan. Enggan inilah yang di satu sisi merupakan salah satu persoalan dalam bertetangga itu tadi.

Lewat pameran kali ini, semoga rasa enggan tadi jadi hilang dan satu sama lain membuka diri. Mungkin di situ konsep proyek seni terletak: ia berada di antara, bukan sebatas di sini, atau di sana.

komik-warga

Quoted

“Imajinasi yang liar lebih kuat dari lirik yang sok mau jelas.”

Slamet A. Sjukur