Menelusuri
“Percakapan Diam-Diam”

PercakapanDiamDiam-1
Memiliki dua versi kumpulan puisi “Percakapan Diam-diam” karya Lelaki Budiman berpengaruh pada penilaian saya terhadap keduanya. Pada akhirnya saya memutuskan untuk menuliskan saja sebagai ulasan setelah membaca ulang versi pertama dan membaca versi kedua yang baru datang kemarin.

Begitu menerima buku ini langsung saya mengerti mengapa Lelaki Budiman mengatakan bahwa versi kedua akan sangat berbeda penampilannya dari versi pertama. Dari masalah ukuran buku, versi pertama cocok sebagai buku saku sedangkan versi kedua agak lebih besar. Dari tampilan sampul jelas sangat berbeda. Versi pertama cenderung gelap. Versi kedua terang dengan ilustrasi menurut saya lebih pas untuk judul buku ini. Jika pertanyaannya dari sisi tampilan luar mana yang lebih saya suka… jawabannya walau pun versi kedua lebih cocok, saya memilih versi satu.

Berbeda dengan saat saya membuka lembar demi lembar kumpulan puisi ini. Pertama, saya langsung melihat banyak puisi di versi pertama tidak tercantum di sini. Dari segi urutan penyusunan sudah berbeda. Pada versi pertama ada pembagian sub bab (saya membayangkan seperti terbagi dalam tiga babak) yaitu “aku, kamu dan kita” sedang pada versi kedua tidak ada pembagian.

Versi 1

Versi 1

Versi 2

Versi 2

Sekarang mari fokus pada buku kumpulan puisi versi kedua. Seperti yang pernah diutarakan oleh Lelaki Budiman, edisi ini adalah edisi eksklusif perbaikan dari versi pertama dan hanya diproduksi 50 eksemplar. Yang ditawarkan oleh sang penulis dari buku ini adalah selain pembaca menikmati puisi-puisi karyanya juga disuguhkan ilustrasi-ilustrasi karya Koskow sebagai pelengkap. Saya rasa penyusunan ulang, pengurangan dan penambahan puisi dari versi sebelumnya cukup berhasil.

Dari tadi penilaian masih dari sisi tampilan, belum ke materi puisinya. Saya suka dengan gaya penulisan puisinya yang tidak terlalu panjang. Judul yang digunakan untuk buku ini tepat sekali (juga merupakan salah satu judul puisi). Terasa adanya percakapan yang lebih banyak ke diri sendiri di dalam keheningan, kesunyian (walau kadang di tengah keramaian tetapi sekaligus dalam kesunyian). Meski ada beberapa puisi yang tidak begitu bisa saya pahami atau bisa jadi karena saya tidak tertarik, secara keseluruhan antara judul dengan puisi-puisi di dalamnya ada benang merah penghubung. Hanya saja saya merasakan ada satu ciri yang hilang dari versi satu dan itu saya sayangkan.

SUBLIM
“Aku iri kepada air yang tidak bisa ditusuk dan dilukai.
Aku terpana kepada udara yang bisa menelusup ke mana saja”
2009

SUATU PAGI DI ALUN-ALUN KECIL
“Kegelisahan mengental dalam gelas kopi. Pagi ini: sendiri”
2010

Kedua puisi di atas adalah favorit saya. Pada versi kedua di akhir puisi ada tahun yang merepresentasikan kapan puisi tersebut ditulis. Pada versi satu, yang tercantum adalah nama lokasinya (bisa dilihat pada dua gambar di atas). Bagi saya pribadi, penulisan lokasi memberikan efek memperkuat pada isi puisi yang disampaikan dibanding penulisan tahun. Jadi saya merasa kehilangan, tetapi saya juga memahami keputusan sang penulis untuk mencantumkan tahun dibanding lokasi. Cukup banyak lokasi penulisan di kafe memberikan kekhawatiran tersendiri bagi penulis terhadap reaksi para pembacanya. Bagi saya justru lokasi itu lah yang menguatkan, memberikan ruang bagi pembaca untuk lebih memahami isi yang ingin disampaikan.

Dengan tata letak yang sekarang, saya merasa bisa lebih menikmati puisi yang ada..lebih seperti memiliki ruang untuk mencerna puisinya. Kemudian relatif kesalahan penulisan sudah semakin sedikit (baca di bagian belakang “Sosok” ). Hal lain, meski ilustrasi memang menarik, tetapi saya merasa kurang pas dengan beberapa ilustrasi yang ada. Bagi saya menjadi terlalu berat.***

Quoted

“Seorang desainer harus memiliki keberpihakan pada konteks membangun manusia Indonesia. Peka, tanggap, berwawasan, komunikatif adalah modal menjadikan desainnya sebagai alat perubahan”

Arif 'Ayib' Budiman