“Kodrat manusia bukan hanya rasional seperti yang banyak diurai, tetapi juga relasional.” — Armada Riyanto, CM, 2018
Kompetensi
Boleh jadi ada kesulitan dalam hal mengajukan batasan minimal untuk lingkup profesi desain. Berbagai usaha yang telah dikerjakan dalam menyusun standar kompetensi profesi tersebut perlu disambut sekaligus dikritisi. Meski cukup jelas untuk dipahami tujuannya, yaitu persepsi yang sama tentang profesi desain (desain grafis/desain komunikasi visual), namun jika kita tinjau dari aspek lain, lingkungan misalnya, saya berpendapat kita tidak boleh menerapkan batasan minimal. Lingkungan bukan nilai lebih (yang lantas bisa diminimalkan), namun sebuah nilai itu sendiri, mengingat hidup kita sangat bergantung pada lingkungan. Kita, manusia, adalah satu bagian dari nilai bersama tersebut. Barangkali kerepotan dalam menjelaskan-menerapkan standar kompetensi profesi ada dalam hal menentukan batasan tingkatan standarisasi dengan menyadari bahwa hal-hal yang mendasar dalam hidup justru hal-hal yang tidak mudah dikuantifikasikan.
Dengan berbagai kekurangannya tulisan ini adalah tentang desain, lingkungan, dan pengandaian. Kalau pun ia dibuka lewat pelembagaan standar kompetensi profesi desain itu karena keduanya memiliki/dimiliki oleh kekuatan politis. Kekuatan itulah yang perlu dikritisi dan diberdayakan agar bisa diterima (hampir) oleh semua kalangan dan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan mendasar dalam profesi desain. Semua bisa hidup dari situ, tidak ada yang dikecualikan, termasuk lingkungan.
Terusik
Terusiklah saya oleh dua buah buku. Buku tersebut Mungkinkah Bumi Tanpa Humus? Sebuah Refleksi Atas Relevansi Nilai Kerendahhatian di Masa Kini, buah karya Hendro Setiawan (terbit 2016), dan Komunikasi & Demokrasi – Esain-esai Etika Komunikasi Politik, buah karya Alois A Nugroho (terbit 2016). Keduanya diterbitkan oleh Kanisius. Dan sebagai pembuka pembicaraan kutipan berikut dapat mengantar kita ke pengandaian, “Cara hidup manusia ternyata sangat dipengaruhi oleh cara pandang dan cara pikirnya. Prilakunya sangat dipengaruhi oleh apa yang ia pahami.” (Hendro Setiawan, 2016: 29)
Psikologi Humanistik, Kapitalisme, dan Pembayangan Identitas
Di bagian awal buku Mungkinkah Bumi Tanpa Humus? dijelaskan bahwa pemikiran mazhab Psikologi Humanistik (Abraham H Maslow) berkait erat bagi praktik kapitalisme. Maslow dikenal lewat hirarki kebutuhan manusia. Berada puncak tangga hirarki tersebut yaitu aktualisasi diri. Konteks kemunculan Psikologi Humanistik disebabkan Perang Dunia II. Perang yang kemudian memunculkan kesadaran dalam diri manusia bahwa hanya manusialah yang akhirnya memberi makna dalam kehidupan ini. Beberapa slogan merek terkenal bisa menggambarkan pemaknaan tersebut misalkan, “kutahu yang kumau”, “just do it”, yang intinya diri kitalah yang memutuskan yang terbaik bagi kita, bukan hal-hal di luarnya. Pengaruhnya dalam praktik pemasaran serta cara membayangkan konsumen berlanjut hingga kini.
“…psikologi baru (yang diusung Maslow dkk.) memberikan landasan pada teori bahwa pikiran dan mental manusia selalu membentuk prilaku mengejar tujuannya sendiri, telah dijadikan landasan dalam teori-teori ekonomi modern dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Konsep aktualisasi diri sebagai tujuan utama, tertinggi, terbaik, yang dipromosikan Maslow melandasi pengejaran kepentingan diri sebagai satu-satunya yang baik.” — Hendro Setiawan, 2016: 24-25
Ilmu ekonomi mengadopsi pemikiran Maslow tersebut dan lahirlah “Rational Choice Theory” (RCT). Dijelaskan dalam buku Hendro Setiawan bahwa dalam teori RCT manusia hanya dianggap rasional apabila ia mengejar kepentingannya sendiri. Apalagi ilmu ekonomi memang berfokus pada pencapaian keuntungan (h. 25) Maslow sendiri oleh Andrea Gabor (profesor di Baruch College New York) dimasukkan sebagai salah satu filsuf yang mendasari lahirnya sistem ekonomi kapitalis dunia melalui idenya tentang aktualisasi diri. (h. 25) Kritik diajukan oleh John Dupre, seorang profesor filsafat bidang ilmu pengetahuan, bahwa ilmu pengetahuan yang didasarkan pada postulat atau pendekatan tertentu, apabila dianggap sebagai kebenaran menyeluruh, merupakan reduksi (penyempitan, penciutan, atau pengerdilan) terhadap realitas. Dupre juga mengkritik gambaran manusia yang dibentuk ilmu psikologi berdasarkan suatu pendekatan tertentu, dan kemudian dianggap sebagai gambaran manusia secara keseluruhan. Hal tersebut mereduksi kompleksitas manusia itu sendiri. (h. 25)
Etika Komunikasi
Coba sejenak kita buka buku-buku tentang desain/dkv. Sangat sering, atau hampir selalu dalam buku-buku tersebut bertendensi persuasi pasar atau katakanlah economic driven. Sebagai contoh, konsumen, mall, target sasaran, menarik, kompetisi, dsb. Kata-kata tersebut bernuansa sirkuit hidup yang terus dan terus berkompetisi. Ini bukan hal yang kemudian lantas keliru. Namun itu berpotensi melelahkan sendiri dan memiskinkan realitas manakala hampir semua pengetahuan dkv memandang diri sebagai pengetahuan yang benar jika berkorelasi dengan pasar. Dalam buku Komunikasi & Demokrasi – Esai-esai Etika Komunikasi Politik, persisnya di bagian tulisan berjudul Banjir, Birokrasi dan Bisnis dituliskan bahwa,
“Para birokrat dan politisi perlu belajar dari dunia bisnis yang telah menelurkan etika “triple bottom line”. Kinerja sebuah perusahaan dahulu hanya ditentukan oleh bagian paling bawah Neraca Akhir, yaitu Saldo Rugi atau Saldo Laba. Hanya beberapa tahun sebelum millenium kedua berakhir, John Elkington menegaskan bahwa, dalam mengukur kinerja sebuah perusahaan, harus diperhitungkan pula dua hal lain, yaitu manfaat atau kerusakan yang diakibatkannya bagi masyarakat, serta manfaat atau kerusakan yang ditimbulkan bagi daya dukung lingkungan. Jadi kinerja sebuah perusahaan diukur dari pencapaiannya untuk meningkatkan tiga hal sekaligus: “Profit, People, Planet” — Brenkert, 2004, dalam Alois A Nugraha, 2016: 191
Kutipan tentang bisnis tersebut perlu disampaikan karena jika di paparan sebelumnya disampaikan bahwa kapitalisme melegitimasikan pengetahuan psikologi humanistik alias mengabsahkan kebenarannya, maka kutipan tentang triple bottom line menggambarkan bahwa dalam bisnis tidak semua-muanya buruk, yang dari situ justeru menjadi suatu pengandaian pengetahuan yang makin baik. Saya rasa yang dimaksud dengan “Profit, People, Planet” tidak sebatas menunjuk pada konsumen namun pada seluruh manusia yang hidup di ruang yang sama, yaitu di bumi. Inilah yang mau saya maksudkan dengan pengandaian terutama bagi pengetahuan dan praktik dkv saat ini dan ke depan. Bagian lebih lanjut yaitu tentang planet tersebut, tentang lingkungan hidup dan apa yang bisa kita-desainer lakukan.
Jumpa
Istilah lingkungan makin sering kita jumpai belakangan ini. Perjumpaan tersebut bisa berupa topik tugas akhir mahasiswa desain, talkshow di setasiun televisi, kegiatan berbagai komunitas, terbitan buku, tema lagu, duta lingkungan hidup, dsb. Istilah lingkungan hidup yang kita jumpai pun bisa berwujud bahasa kritik misal “sampah visual”, polusi, maupun bahasa apresiatif-instruktif seperti daur ulang, upcycle, go green, zero atau less waste, dsb. Berbagai aksi atau gerakan dan pemikiran tentang lingkungan juga hidup hadir di berbagai ruang seperti NGO/LSM, lembaga pendidikan, pameran seni, kampanye, hingga aksi gerai dan minimarket.
Desain (dkv) termasuk salah satu bidang yang perlu menanggapi lingkungan hidup. Dan selama ini tanggapan desain perihal lingkungan hidup juga sudah dituliskan di beberapa buku, termasuk topik buku yang kerap dituding sebagai pelaku bangkrutnya lingkungan hidup yaitu kemasan. Artinya, persoalan dan pengetahuan desain dan lingkungan hidup bukan hal baru! Barangkali yang menjadikannya baru yaitu akumulasi persoalannya. Persis di sini industri sebagai kiasan menggunungnya masalah tersebut. Dari situ desain jadi dekat dengan sumber masalah. Maka, mengatasi persoalan lingkungan hidup juga bisa dari situ, yaitu dengan melihat dan menata kembali pengetahuan desain dan industri. Buku karya seorang pakar di bidang kemasan, Sri Juliani (The Art Of Packaging), di dalamnya pun menuliskan tentang lingkungan. Ini penting untuk diketahui bersama bahwa desain pun bisa dan perlu turut ambil bagian dalam mengentasi dan mengatasi persoalan lingkungan.
Material
Perlu kita bincangkan juga hal lain tentang lingkungan, misalkan material. Sekumpulan pengajar seni rupa dan desain menghasilkan sebuah tulisan di sebuah jurnal kampus seni, berjudul Identifikasi Permasalahan dan Pemetaan Material Bidang Seni Rupa, Desain, dan Kria di Pulau Jawa-Bali – Sebuah Riset Awal. Tulisan riset awal tersebut dihasilkan melalui pencarian data primer dan sekunder. Hasilnya berupa skema material yang memiliki berbagai aspek yaitu teknologi, ekologi, sains, sosial, budaya, dan estetik. Pembahasan soal ekologi langsung bersinggungan dengan persoalan lingkungan hidup. Beberapa istilah yang dipaparkan antara lain inefisiensi, penghutanan kembali, sistem seleksi, desain hijau, produk hijau, daur ulang, guna ulang, material yang dapat dihancurkan dan tidak dapat dihancurkan (composable, decomposable).
Perbincangan soal material juga menyentuh nilai budaya. Bahwa ada kedekatan material dengan berbagai aktivitas budaya seperti menyatunya kehidupan sehari-hari masyarakat dengan pohon pisang: pelepah pisang digunakan untuk mendinginkan ikan, batang pisang untuk alas orang yang meninggal dunia, serta untuk menancapkan bilah-bilah wayang kulit. Daun pisang digunakan untuk berbagai bungkus, pemberi aroma, dan sesembahan. Demikian pula dengan material lain seperti pohon kelapa, bambu, dsb. Intinya, karakter budaya suatu masyarakat turut menentukan nilai material.
Stereotip
Citra barang bekas menjadi hal yang rasa-rasanya perlu direstorasi. Barang bekas hampir selalu diimajinasikan sebagai bentuk kepedulian terhadap bangkrutnya lingkungan hidup. Itu pun bukan hal yang lagi-lagi keliru, hanya saja barang bekas masih menempati citra sebagai bentuk pertolongan, bentuk advokasi, dan hal-hal sosial/karitatif lainnya. Apa yang dimaksud dalam konteks ini yaitu barang bekas sebagai sebuah metode perancangan desain. Bisa kita simak batik, atau fesyen, yang belakangan bergiat dalam menanggapi lingkungan hidup, yaitu batik warna alam dan metode ecoprint. Menarik menyimak kampanye komersial pemilik brand fesyen ecoprint yaitu fotografi berlatar alam, sesekali berinfografis yang sepertinya sekaligus ingin mengedukasi. Penggunaan warna alam tidak merendahkan nilai dan citra batik/fesyen, sebaliknya justeru menjadi simbol kearifan (dan pengetahuan) cara hidup yang selaras dengan lingkungan hidup. Apa yang berlangsung di batik/fesyen bisa menjadi undangan untuk turut serta berkarya dkv yang secara metode baik dan tepat.
Jika kita menghendaki muncul nilai sosial pada sebuah metode desain justeru metode tersebut harus tidak berciri kelas sosial tertetu namun berciri umum atau universal. Dengan menjadi umum atau universal maka metode atau pengetahuan tidak sentimen terhadap gerakan sosial tertentu, atau ia tidak dimiliki oleh kelompok tertentu (stereotip) seperti aktivis lingkungan. Meski tak dipungkiri hal tersebut identik dengan kelompok tertentu namun bukan itu misinya. Desain dengan pendekatan dan tentang lingkungan hidup perlu menjadi supel agar ia tidak khas milik aktivis lingkungan namun menjadi bagian dari hidup yang kreatif untuk/dari berbagai kalangan.
Dari SWOT ke SOAR
SWOT masih sering digunakan sebagai model dalam menganalisa sesuatu, termasuk untuk kebutuhan desain. Belakangan SWOT dipandang justeru memunculkan atau menambah persoalan. Pemikirannya demikian, kita tidak mau dibanding-bandingkan apalagi membandingkan sisi kekurangan atau kelemahan kita. Sebuah buku tentang kesenjangan sosial menjelaskan bahwa orang bisa kurang/tidak pandai dalam topik tertentu, namun ia cukup pintar dalam hal membandingkan!
SOAR dipandang lebih bijak dan membangun. Dengan mengganti dua konten lama dengan menempatkan dua konten yang baru yaitu aspirasi (aspiration) dan hasil yang ingin dicapai (result), model ini lebih apresiatif. Dengan begitu kita perlu melihat ulang pengetahuan desain yang (terutama) bergandengan dengan industri. Misal, kita perlu bertanya demikian: desain kemasan jangan lagi menjadi sebuah persoalan, namun bagaimana ia berorientasi pada perbaikan lingkungan. Contoh ilustrasi penjelas, kita dikenalkan dengan kemasan tradisional, yang dikatakan klasik, unik. Desain yang tradisional tersebut ditempatkan sebagai obyek pariwisata atau desain vernakular. Ini pandangan yang bisa terjerumus ke dalam stereotip, khas kelas tertentu memandang kelas lainnya, mencari-membuat perbedaan, turistik, padahal dalam dirinya beberapa desain kemasan tradisional boleh jadi mengandung kebenaran sebagai sebuah metode mendesain yang baik-tepat bagi lingkungan. Maka bisa kita tunda konsep tradisional dan menggantinya dengan sesuatu yang lebih luas, yaitu cara hidup. Tradisi boleh jadi nama lain untuk pendidikan: dibelajarkan secara turun-temurun.
Sikap-Posisi
Mendesain menggunakan barang bekas pertama-tama bukan karena saya seorang aktivis lingkungan, namun karena metode tersebut baik, tepat, dan memecahkan persoalan. Menjadi seorang aktivis pun bukan panggilan hidup yang menyelahi epistemologi populer perihal cita-cita di masa depan. Dalam hidup ada orang-orang yang ing ngarsa sung tuladha (salah satunya bisa aktivis), sedangkan yang lain (banyak) yang memilih ing madya mangun karsa, atau memilih tut wuri handayani. Lingkungan pun masih dipandang sebagai nilai lebih dalam sebuah perancangan desain. Mestinya lingkungan sebagai nilai itu sendiri, nilai yang perlu dihargai dan dihayati yang karena itu hidup kita banyak bergantung padanya. Kita masih bisa menjumpai hal semacam ini dalam mitos-mitos tentang lingkungan dalam budaya atau masyarakat tertentu.
Desain dalam konteks lingkungan hidup sudah waktunya desain menempatkan diri ing ngarsa sung tuladha, dan untuk itu membutuhkan berbagai sudut pandang dan metode, baik di wilayah kajian, lebih-lebih di wilayah perancangan. Kita bisa memulainya lewat cara menyingkirkan batu-batu stereotip dalam berbagai pengetahuan desain yang kita pelajari dan terapkan selama ini. Barangkali batu-batu tersebut selama ini kuat bercokol dan mengganggu pengandaian yang kita yakini sebagai kebenaran mendesain. Apalagi jika pengandaian semacam itu menjadi dasar dalam menyusun standarisasi. Dengan demikian yang kita butuhkan yaitu kesadaran bahwa desain itu relasional, tidak sebatas rasional. Kesadaran akan relasionalitas mendahului usaha dalam menyusun strandarisasi yang berjenjang-jenjang, seolah hendak memisah-misahkan padahal maksudnya boleh jadi menempatkan desain dalam situasinya masing-masing agar mudah dijelaskan tingkat profesinya. Menjelaskan pesan ini yang belum tentu mudah. Dibutuhan perspektif yang universal dan komunikasi yang terus-menerus.
Yogyakarta, Juni 2019
Koskow
Catatan:
Bacaan:
Internet:
Some nature is better polluted by design and art