Kata “Indonesia” awalnya hanya mengandung pengertian ethnological. Ia pertama kali diperkenalkan oleh GW Earl dan JR Logan, pada 1850, dalam dua artikel panjang yang dimuat di Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia.
Motif dan intensi politik pada kata ini agaknya dimulai sejak Soewardi Soerjaningrat mendirikan Indonesische Persbureau di Den Haag pada tahun 1913, disusul perubahan Indische Vereniging menjadi Indonesische Verbond van Studeerenden antara tahun 1917 dan 1919.
Sementara intensi sebagai sebuah ruang kebudayaan modern agaknya muncul lebih kemudian. Memang, gagasan tentang suatu kebudayaan modern telah diapungkan sejak masa Raffles berkuasa di Batavia, lebih menguat lagi sejak digulirkannya proyek Etis.
Namun, gagasan itu, baik yang memusat ke modernisme gaya Raffles maupun modernisme gaya Etis, tidak terpisah dari kenyataan Hindia Belanda sebagai tanah jajahan dengan kepentingan-kepentingan imperial yang melingkupinya.
Intensi di atas menguat seiring dengan bangkitnya kesadaran kebangsaan, khususnya di sekitaran Ikrar Pemuda tahun 1928. Sebelum peristiwa Ikrar Pemuda, lewat telisik pada sejumlah karya sastra yang terbit pada masa itu, suatu yang disebut kebudayaan modern terdiferensiasi dalam kultur intelektual di perkotaan kolonial dan kultur mestizos yang mapan di klab-klab eksklusif yang disebut societeit. Keduanya memiliki kesamaan, yakni sebagai buah yang tumbuh di pohon kolonialisme dan sama-sama mengambang antara dua keping dunia: Barat dan Timur, namun juga berbeda akibat hierarki rasial yang diajekan.
Dengan kesadaran untuk berbeda dengan keduanya, meski sama-sama berada dalam setting kolonialisme, suatu kebudayaan modern yang dibayangkan adalah kebudayaan dengan motif Indonesia merdeka. Motif ini beserta siapa yang menjadi aktor-aktornya dengan sendirinya memberikan jawaban seputar dikotomi antara “menghadap ke Timur” dan “menghadap ke Barat” sebagai basis dari suatu kebudayaan modern itu, sekaligus memberikan jawaban mengapa “menghadap ke Timur” kelak menjadi pilihan dengan faham esensialisme tumbuh subur di dalamnya.
Kenyataan di atas terkesan ironis, terlebih bila mengingat faham esensialisme sesungguhnya dibentuk oleh hasrat kolonialisme itu sendiri. Hasrat untuk berkuasa lebih lama dengan tidak menggunakan kekuatan militer, tetapi dengan membuat kategorisasi lengkap dengan esensi dasar yang menjarakkan antara Barat dan Timur, pemindahan nilai yang tak seimbang antara keduanya, dan sebentuk ketergantungan. Namun, pilihan di atas beserta ironisme yang menyertainya dapat juga dikatakan sebagai penemuan tak terduga karena ia agaknya memang buah dari perjalanan sejarah kolonialisme yang tiba-tiba menikung dan membawa masuk fasis Jepang.
Masuknya Jepang menjadi periode kedua bagi perkembangan suatu kebudayaan modern itu. Jepang juga yang agaknya mengenalkan istilah “kebudayaan nasional” disertai pengandaian adanya identitas yang murni milik “kita”. Dalam rangka “debelandaisasi”, Jepang menggusur segala anasir Barat, mulai dari melarang pemakaian bahasa Belanda sampai pada menggalakkan semangat nasionalisme yang condong anti-individualisme di kalangan pemuda. Semboyan kebudayaan nasional, bagi penguasa militer Jepang waktu itu, hanyalah alat dalam upaya memenangi perang melawan Sekutu.
Versus Kebudayaan Komunitas
Nasionalisme zaman penjajahan dan zaman perang telah memproduksi sebentuk kebudayaan nasional. Kebudayaan yang lahir dalam waktu imperial. Waktu yang ditandai dengan banyak rontoknya ruling class tradisional dan bertabrakannya hasrat new imperialism dengan kesadaran nasionalisme yang menuntut kehadiran waktu yang lain.
Setting waktu imperial, proses produksi yang relatif singkat, yakni sepanjang paruh pertama abad ke-20, ditambah motif diskontinuitas, agaknya mendasari mengapa karakter kebudayaan yang dihasilkan cenderung kaku, represif, dan sentralistis. Dan, karakteristik ini, disadari atau tidak, menjadi praktik diskursif pada kemudian hari. Wacana kebudayaan nasional, khususnya dalam tiga dekade lebih rezim Orba, dengan pemahaman nasionalisme dimonopoli oleh kalangan militer, menjadi alat penyeragaman
atas keberbagaian dan keberagaman.
Ajaibnya, wacana kebudayaan nasional kembali menghangat akhir-akhir ini. Melalui suara yang ramai meneriakkan perlunya memberi frame nasionalisme dan patriotisme pada kebudayaan, khususnya pada produk-produk kesenian, terutama kesastraan yang dinilai “sesat” atau malah antek imperialis, wacana kebudayaan nasional seperti menemukan waktu revitalisasinya. Tentu tak ada yang salah dengan wacana ini. Bahkan malah sebaliknya, ia mungkin sangat relevan dihadapkan dengan persoalan ketidakadilan sosial yang terus berlangsung di Republik ini.
Namun, sayangnya, wacana di atas justru mengarahkan dirinya untuk menjadi satu persoalan baru. Ia dengan jelas masih melembaga pemikiran kebudayaan sebagai produk nasionalisme zaman lampau. Ada histeria esensialisme yang dikandungnya. Histeria yang lahir dari sebentuk oposisi binear, pengandaian tentang adanya identitas yang otentik dan murni milik “kita”, dan kepanikan ketika mendapati kebudayaan bergerak demikian bebas.
Melalui wacana tersebut terkesan ada intensi yang di satu sisi hendak mengontrol dan menggiring kembali pemahaman kebudayaan dalam kategorisasi berdasarkan kotak-kotak “nasional” dan etnik dan menjadi instrumen nilai-nilai yang dianggap adiluhung dan ajek. Sementara di sisi yang lain, ia mengabaikan, bahwa pada hari ini kebudayaan tidak lagi dapat digeneralisasi lewat penandaan itu. Dewasa ini kebudayaan tumbuh dalam lingkup komunitas dengan lokalitas dan sentimen komunitas sebagai basisnya.
Di lingkup komunitas, produk kebudayaan merepresentasikan keberagaman sebagai keniscayaan. Ia merupakan bangunan nilai dan pengetahuan yang tidak seragam, yang berdialog dengan kenyataan sejarahnya sendiri dan dengan pengandaian-pengandaian pada sebentuk esok yang tidak harus sama.
Alhasil, memaksakan wacana kebudayaan dengan frame nasionalisme dan patriotisme abad ke-20 di dalam kebudayaan komunitas tentu berpotensi menjadi kejahatan normatif dan diskursif. Namun, ini bukan berarti kebudayaan komunitas sepenuhnya bebas dari nilai-nilai itu. Persoalannya ialah nilai-nilai tersebut tidak hadir secara verbal dan eksplisit, melainkan sering secara metaforik.
AGUS HERNAWAN
Cohort VI Ford Foundation, Bergiat dalam Roda for Education and Culture
Sumber: Kompas, 13 Januari 2008
Make your interactions with people transformational, not just transactional.