Panji Krishna: Kembalikan Baliku! #balitolakreklamasi

Dalam masyarakat, desainer grafis mempunyai peran dalam mendayaguna kemampuan berpikir dan menciptanya untuk turut menyampaikan gagasan, bahkan hingga mendorong upaya perubahan. Hal ini salah satunya dilakukan oleh Panji Khrishna, seorang desainer grafis yang memutuskan untuk turut serta menyuarakan penolakan terhadap reklamasi di Teluk Benoa yang merupakan wilayah konservasi di Bali.

Pada 30 Mei 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Perpres 51 tahun 2014 yang mengubah status Teluk Benoa dari kawasan konservasi perairan menjadi kawasan pemanfaatan umum. Apabila reklamasi dilakukan, akan memberi dampak yang merugikan bagi pelestarian ekosistem dan kehidupan masyarakat sekitar oleh karena fungsi vitalnya sebagai wilayah konservasi. Hal inilah yang melatari penolakan keras dari berbagai kelompok masyarakat yang peduli.

Panji Krishna pun turut menyatakan sikap penolakannya. Sebagai desainer grafis, ia membuat kampanye sederhana nan lugas sebagai wujudnya. Pernyataan sikap ini dimuat di situs pribadinya. Seluruh gambar yang ia buat berikut ini dapat diunduh dan disebarluaskan.

 


KEMBALIKAN BALIKU: #BALITOLAKREKLAMASI
 

p5-copy1

“Earth provides enough to satisfy every man’s needs, but not every man’s greed.” – Mahatma Gandhi

 

Kutipan di atas sudah sangat menggambarkan keharmonisan sesungguhnya di dalam kehidupan di bumi ini. Jika kita cermati, sejatinya manusia dan alam saling memberi dan membutuhkan tanpa akan ada kekurangan sedikit pun. Manusia sangat bergantung hidupnya dengan alam, tetapi manusia tetaplah manusia yang memiliki sifat “rakus” di dalam dirinya. Itulah beda manusia dengan alam. Manusia akan terlihat sangat bodoh ketika dikuasai sifat rakus itu sendiri.

Walaupun tidak memiliki darah keturunan Bali, semenjak almarhum kakek nenek saya menetap di pulau seribu pura ini sampai generasi saya, saya sendiri akhirnya menyebut diri saya orang Bali. Sejak kecil sebelum sekolah sampai selesai kuliah saya habiskan di Bali. Selesai kuliah, saya hijrah ke Jakarta untuk berkarir. Masa kecil saya habiskan di daerah Bali timur, tepatnya di kabupaten Karangasem, kabupaten yg bisa dibilang budaya bali dan alamnya masih sangat alami, dan Karangasem termasuk kabupaten yang cukup tertinggal dibandingkan dengan kabupaten lainnya di Bali pada waktu itu. Pantai yang luas, pohon kelapa, sawah terasering yang indah sangat banyak terlihat pada masa itu. Kebudayaan upacara-upacara adat di Bali sudah sangat melekat dalam keseharian saya, salah satunya daerah wisata yang cukup tua di Karangasem, yaitu Candidasa, daerah tempat saya tumbuh besar hingga mengerti tentang Bali yang sangat terkenal di seluruh dunia. Saat ini saya mungkin baru sadar bahwa Bali sangat terkenal bukan karena kemewahan tempat wisatanya, melainkan karena budaya, kearifan lokal, seni, dan kultur sosial masyarakatnya.

Sekarang, Candidasa sudah tak seindah pada memori masa kecil saya. Garis pantai yang sangat luas sampai bisa dibuat untuk bermain sepak bola waktu kecil, sekarang sudah dibeton untuk menangkal gelombang pasang air laut. Artinya, sudah tidak ada lagi pantai dan hamparan pasir putih. Yang ada hanyalah air laut dengan ombak ganasnya dan batu beton pemecah gelombang. Mungkin ini yang disebut abrasi atau mungkin ini naiknya permukaan air laut secara berkala tiap tahunnya. Mungkin ini fenomena alam yang memang harus terjadi. tapi saya sangat percaya alam seperti itu bukan karena alam tidak lagi bersahabat dengan kita, melainkan kita yang sudah tidak bersahabat lagi dengan alam.

Saya juga sangat percaya alam hanya butuh keseimbangan dalam melanjutkan hidupnya dan ketika manusia tidak bisa memberikan keseimbangan itu maka alam akan membuat proses keseimbangan itu secara alami.

Dalam ajaran agama apapun diajarkan bagaimana kita berhubungan dengan alam. Mungkin ajaran leluhur di Bali mengenal dengan istilah Tri Hita Karana. Dalam Islam pun juga ada, dan begitupun agama lain. Kemajuan teknologi dan perubahan gaya hidup manusia menyebabkan terkikisnya nilai-nilai kearifan lokal yang ada di bali sehingga menyebabkan banyak dampak negatif bagi orang bali sendiri. Menjadi budak di tanah surga sendiri.

Mendengar isu kawasan konservasi Teluk Benoa akan direklamasi, saya tidak terlalu menghiraukan tentang hal tersebut pada awalnya. Orang Indonesia mungkin sudah muak untuk ngurusin orang lain, apalagi alam. Buang sampah saja masih sembarangan, apalagi ngurusin reklamasi? Lebih baik, kebanyakan orang Indonesia memikirkan bagaimana bisa bertahan hidup dan bekerja hari ini untuk bisa makan esok hari. Jadi, boro-boro ngurusin reklamasi. haha… Tapi, saya bersyukur saya tidak sebegitunya untuk bertahan hidup apalagi di kota besar seperti Jakarta saat ini. Mendengar isu reklamasi di Bali semakin ramai dan banyak aktivis, seniman, dan kawan-kawan saya di Bali menyorakkan batalkan reklamasi, saya pun mulai untuk mencari tahu apa reklamasi dan dampak yang dihasilkan dengan direklamasinya Teluk Benoa, walau pada awalnya saya sangat pasif terhadap rencana tersebut.

Saya terkejut dan menyadari bahwa hal ini sangat berbahaya untuk, Bali—kampung halaman saya, tempat memori masa kecil saya bertumbuh besar. Saya berpikir, belum reklamasi saja Candidasa sudah abrasi parah. Mungkin karena pembangunan yangg tidak terkontrol atau apa—saya tak tahu. Bagaimana nanti kalau reklamasi dilakukan?!

Saya makin mencari tahu dan membaca banyak bagaimana reklamasi sangat membahayakan Bali di masa depan dari segi alam, sosial budaya, serta masyarakatnya sendiri. Dan memang sangat berbahaya. Sekali lagi, saya punya pandangan bahwa Bali terkenal bukan karena hotel, resort, vila, atau bangunan mewahnya, melainkan karena alam, seni-budaya, dan sosial manusianya. Itu yang menjadi “ruh” Bali sendiri. Tanpa kemewahan hotel atau resort pun, Bali saya percaya tetap akan terkenal di dunia. Berawal dari pemikiran tersebut saya sebagai desainer tidak bisa lagi pasif tinggal diam. Kampanye berikut mungkin membantu bagaimana Bali (Teluk Benoa) sesungguhnya tidak perlu direklamasi. Kampanye sosial penolakan saya buat sedikit “nyentil” dan saya mencoba untuk mengembalikan kejayaan masa lalu Bali yang sudah mendunia tanpa “kemewahan” yang tak “manusiawi” seperti saat ini.

Kebesaran Bali sekali lagi terletak pada alam, adat budaya, dan manusianya. Mari tunjukkan kebesaran kita kepada manusia “rakus” itu! Silahkan sebarkan kalo mau!

 

Ditulis dalam keadaan sadar dan mencoba menceritakan dengan sebenarnya.
Mendukung penuh terhadap penolakan reklamasi Teluk Benoa!

 

Panji Krishna untuk Bali
Jakarta, 23 Oktober 2014

 


 

campaign-BTR-01

campaign-BTR-02

campaign-BTR-03

campaign-BTR-04

campaign-BTR-05

campaign-BTR-06

campaign-BTR-07

 


Publikasi pernyataan sikap di atas dimuat dalam situs pribadi Panji Khrisna: kembalikan baliku: #balitolakreklamasi. Dimuat dan disunting atas izin desainer/penulis.

Selengkapnya tentang reklamasi Bali: www.forbali.org

 

Quoted

Desain (grafis) adalah kata kerja–bukan kata benda–karena mengutamakan proses; berupa pengolahan nilai keunikan dan keotentikan dari suatu problem

Eka Sofyan Rizal