The Design of Addictions: DGI Design Camp I

DGI Design Camp I: The Design of Addictions
A Design Workshop by Nigel Sielegar
Hosted by Desain Grafis Indonesia

TENTANG DGI DESIGN CAMP
Desain merupakan kegiatan dan karya. Kegiatan desain yang baik diharapkan menghasilkan karya desain yang baik pula. Pada zaman perkembangan teknologi dan komunikasi yang pesat ini, kapan pelaku desain dapat mendesain dengan baik lagi? Permintaan yang tinggi dan fasilitas teknologi membuat proses merancang kini semakin kilat, tidak lagi menyisakan waktu yang cukup untuk sekadar berpikir, memahami persoalan. Yang terjadi adalah penerapan ‘formula’ dan ‘template’ dalam mendesain. Akibatnya pelaku desain grafis makin terasing dari kegiatan desain itu sendiri sehingga karya desainnya pun dangkal, tidak bermakna, bahkan tidak fungsional dan komunikatif (hanya gaya dan hiasan saja).

Membimbing pemahaman di antara desainer grafis Indonesia dan persimpangannya dalam seni, desain, kebudayaan, dan masyarakat adalah komitmen Desain Grafis Indonesia (DGI). Pemahaman adalah jalan menuju ilmu, bekal bagi desainer untuk lebih apik merancang dan tepat menyusun strategi, menggali gagasan, dan menentukan pendekatan desain. Salah satu wujud komitmen tersebut adalah Design Camp.

Mengapa sebuah camp? DGI ingin mengajak desainer keluar sejenak dari kesehariannya, jauh dari kebiasaan dan habitat rutinnya untuk berkreasi secara intens melalui kegiatan lokakarya. Dengan mengundang instruktur profesional berjam terbang tinggi, Design Camp akan menjadi ruang refleksi, diskusi, eksplorasi, eksperimentasi, serta kolaborasi antar pelaku desain lintas generasi. Karya yang dihasilkan dari kegiatan ini pun berpeluang besar untuk dipamerkan, diproduksi, diterbitkan, dijual, dan dikoleksi sebagai artefak dari Museum DGI.

Melalui Design Camp, DGI berharap desain grafis di Indonesia dapat dibawa lebih jauh lagi sehingga dapat semakin bermakna dan bermanfaat bagi siapapun yang bersentuhan dengannya.

THE DESIGN OF ADDICTIONS
Lokakarya ini dirancang untuk menjelajahi hubungan antara desain dan kebiasaan berperilaku. Bersama kita akan meneliti berbagai asumsi, menyelidiki interaksi sistematis, mengartikan ulang nosi umum, dan merubahnya menjadi desain yang bermaksud jelas. Kita akan menggunakan skenario kehidupan nyata sebagai studi kasus dan menerapkan pengetahuan baru tersebut pada solusi-solusi yang aplikatif untuk kesejahteraan umum.

Walaupun kita akan menyentuh disiplin-disiplin lain seperti desain interaksi dan desain produk, hal tersebut bukan menjadi fokus lokakarya. Melainkan, lokakarya intensif dua hari ini bermaksud untuk menantang perancang memandang profesi mereka melalui beragam sudut pandang dan meninjau ulang proyek-proyek kini dan masa depan.

Tujuan lokakarya ini adalah untuk menciptakan beragam komunikasi visual yang berfungsi sehingga dapat dipublikasi, dipamerkan, diproduksi, dan dikumpulkan menjadi koleksi Museum DGI.

PEMATERI

Pemateri Workshop DGI Design Camp I, ki-ka: Nigel Sielegar, Ismiaji Cahyono, Cecil Mariani

Nigel Sielegar
Nigel Sielegar berasal dari Surabaya, Indonesia –dimana ia menghabiskan sebagian besar masa kecilnya– sebelum hijrah ke Amerika Serikat. Ia mendapatkan gelar sarjana dari The Illinois Institute of Art di Chicago dan gelar master di School of Visual Art, New York. Kariernya dimulai sebagai desainer di Firebelly Design, kemudian dilanjutkan dengan berkarier di Motorola dan Alfalfa Studio. Saat ini Nigel fokus mengembangkan perusahaan multi disiplin yang didirikannya, Corse Design Factory. Karya Nigel dua kali mendapat penghargaan Typographic Excellence dari Type Directors Club, New York; serta menjadi semifinalis di Adobe Design Achievement Award. Karyanya juga dipublikasikan oleh beragam blog, media, dan publikasi.

Cecil Mariani
Lahir dan dibesarkan di Jakarta, Cecil mengajar desain grafis di almamaternya Universitas Pelita Harapan dari 2002 hingga 2011. Cecil merupakan mantan art director dari LeBoYe Design dari 1999-2002. Ia selanjutnya mendirikan Jakarta Books dan JB Design dan sempat mengarahkan departemen kreatifnya dari 2003 hingga 2010. Ia melanjutkan kariernya sebagai desainer di Komunitas Salihara karena kecintaannya pada sastra, seni, dan pertunjukan. Pada 2011 ia menginisiasi kampanye TuaTuaSekolah, sebuah program pencarian dana agar ia dapat melanjutkan pendidikan pascasarjana setelah ia diterima di School of Visual Arts, New York, dimana ia memperoleh gelar Master di 2013.

Ismiaji Cahyono
Ismiaji Cahyono lulus S1 dari program studi DKV, FSRD ITB di 2001. Kemudian ia merancang di Leboye Design selama 4 tahun lebih. Pada tahun 2003, Ismiaji mulai mengajar DKV paruh waktu di Binus University. Pada 2005 ia melanjutkan S2 atas beasiswa Fulbright di School of the Art Institute of Chicago dengan major Visual and Critical Studies. Kajian terhadap peran tanggung jawab sosial dalam profesi desain grafis Indonesia menjadi topik tesisnya. Sepulangnya ke Indonesia pada 2007 ia lanjut mengajar di Binus, serta mulai mengajar jurusan DKV di UPH dan S2 Departemen Fakultas Ilmu Budaya jurusan Cultural Studies UI. Bersama teman-temannya dari FDGI dan kesadarannya akan kebutuhan media bacaan yang kritis melahirkan Majalah Versus. Kini ia mengepalai studio SUNVisual dan mengelola Desain Grafis Indonesia.

LIPUTAN KEGIATAN
Bertempat di Gedung Samafitro, 10-11 Januari lalu Design Camp perdana dilaksanakan dengan tema “The Design of Addictions”. Camp dimulai pukul 10 pagi dengan sambutan dari DGI yang juga memberi pengenalan secara singkat tentang DGI dan program Design Camp ini. Kegiatan dilanjutkan dengan menampilkan profil PT Samafitro selaku tuan rumah. Memasuki sesi utama, Nigel menyampaikan materi kuliah kepada lebih dari 60 orang yang terdiri dari peserta dan undangan. Berawal dari pertanyaan “Apabila desain dapat menghasilkan interaksi dan interaksi dapat menimbulkan kebiasaan, mungkinkah desain menghasilkan adiksi?” Nigel kemudian memaparkan lebih jauh tentang adiksi itu sendiri.

“Addiction is byproduct of emotional incentives”.

Nigel membagi adiksi menjadi dua jenis: pertama adiksi dalam bentuk pains + medicine (mis: rokok, alkohol, obat-obatan) dan yang kedua, adiksi yang memenuhi kebutuhan manusia (mis: kebutuhan untuk merasa dibutuhkan, kebutuhan untuk mendapat pencapaian). Nigel menjelaskan lebih lanjut dengan menggunakan contoh Slot Machine (merupakan mesin paling adiktif dalam sebuah kasino), dari susunan posisi mesin sampai elemen visual yang ada di dalamnya memiliki pengaruh tertentu terhadap pemainnya.

Dari studi kasus yang diberikan, Nigel menarik kesimpulan bahwa desain berperan besar dalam menghasilkan adiksi. Oleh karenanya, tentu akan sangat baik apabila desain dapat menghasilkan adiksi yang konteksnya positif. Hal ini juga sekaligus menjadi tantangan bagi para peserta, mewujudkan adiksi positif melalui peran desain.

Setelah sesi kuliah selesai, peserta langsung dibagi menjadi 9 kelompok –yang telah ditentukan secara acak oleh panitia– dan masing-masing diberikan sebuah topik untuk ditemukan solusi desainnya.

Kesembilan topik itu antara lain:
1. Sering baca buku
2. Makan Sayuran
3. Tidak buang sampah sembarangan
4. Kurangi belanja
5. Kurangi main game
6. Sering minum air mineral
7. Sering olahraga
8. Membiasakan cabut charger
9. Sering berkunjung ke museum

Awalnya masing-masing kelompok dibiarkan berdiskusi mengenai topik pilihan tanpa arahan tertentu agar potensi keluarnya ide-ide segar terbuka luas. Baru sekitar 1 jam kemudian, ketiga instruktur berkeliling memberikan arahan. Ide-ide yang sudah ditemukan ditinjau, dipertajam, dan diperdalam agar memberikan dampak yang maksimal. Pertimbangan sasaran audiens, interaksi, serta efektifitas karya menjadi elemen penting dalam diskusi.

Satu hal yang menarik adalah karena latar belakang peserta yang berbeda-beda, diskusi sulit mencapai kesepakatan. DGI berharap dengan begitu, selain diskusi dapat lebih dalam, juga terjadinya kolaborasi lintas generasi antar desainer. Hari pertama berakhir dengan fokus kepada pematangan big idea agar dapat dilanjutkan dengan eksekusi visual keesokan harinya.

Mengawali hari kedua, masing-masing kelompok mempresentasikan progres kerjanya agar dapat diketahui juga oleh kelompok-kelompok lainnya. Pada tahap ini peserta didorong untuk mewujudkan ide yang sudah ada baik secara kriya ataupun memanfaatkan mesin produksi yang telah disediakan oleh PT Samafitro (cetak digital maupun cetak kain). Selama proses eksekusi, terlihat peserta semakin antusias untuk menyelesaikan karyanya.

Tepat pukul 6 sore, semua kelompok diminta untuk mempresentasikan karya yang telah dibuat. Output yang dihasilkan tergolong beragam, mulai dari karya dalam bentuk aplikasi, alat komunikasi sosial, sampai berwujud produk.

“Karya-karya yang dihasilkan dalam dua hari ini boleh dibilang melampaui ekspektasi. Ide-ide yang muncul sangat mungkin untuk diwujudkan”, menurut Ismiaji selaku salah satu instruktur. Hal ini terbukti dengan waktu yang sangat terbatas (hanya dua hari), peserta bisa menghasilkan karya dengan solusi-solusi yang menarik serta didukung visual yang mumpuni.

Cecil juga turut memuji karya yang dihasilkan dengan memberikan beberapa masukan. “Hampir semua kelompok menggunakan media sosial sebagai fitur utamanya, hal ini menandakan media sosial akan segera jenuh. Oleh karenanya, sebagai desainer kita perlu menggali media-media lain yang juga potensial”, ujar Cecil.

Nigel memberikan kata penutup dengan mengucapkan terima kasih kepada para peserta atas kerja kerasnya. “It’s OK to fail”, tambahnya.

Kegiatan yang awalnya direncanakan berakhir pukul 17.00 ini akhirnya selesai pada pukul 19.00 WIB ditandai dengan foto bersama dan pembagian sertifikat kepada para peserta. Sebagai catatan, kegiatan Design Camp perdana ini masih akan berlanjut dengan memamerkan hasil karya yang telah dibuat kepada publik.

Pameran Design of Addictions dapat disimak di sini.

Quoted

Ketika dari mata tak turun ke hati, desain pun gagal total

Bambang Widodo