Tulisan ini mencoba memberi tawaran untuk melihat kembali posisi disainer dalam alur kerja mendisain. Melihat kembali posisi disainer di sini dimengerti sebagai suatu prinsip kewargaan yaitu bahwa disainer hidup bersama yang lain.
Disain(er) dan Asal-usul Dalam Alur Perancangan
Pengetahuan tentang disain perlu membicarakan disain(er) dari sisi subyek. Salah satu cara yang digunakan yaitu lewat wawasan/kesadaran sejarah, baik praktik kontinuitas (ketersambungan), maupun diskontinuitas (pemutusan). Wawasan atau kesadaran sejarah tersebut masih perlu diperankan lewat disainer yang mampu mencipta gagasan dan berkomunikasi lewat bahasa-bahasa yang mudah dimengerti dan diterima oleh rakyat kebanyakan.
Asal-usul di sini menunjuk pada asal-usul pengetahuan. Misalkan, teori tentang disain kemasan. Di berbagai penulisan ilmiah tentang disain kemasan (biasanya Tugas Akhir S1) umum dikutip teori, atau katakanlah pengetahuan disain kemasan yang menjual. Setelah mendisain seturut teori tersebut, seolah persoalan selesai. Hal tersebut benar, namun benar seturut teori atau pengetahuan disain kemasan yang menjual.
Setelah mendapati teori disain kemasan yang menjual, rupanya masih disertakan disain kemasan dan budaya. Pendekatan budaya ini kerap diterapkan pada disain kemasan untuk keperluan oleh-oleh (kerap menunjuk pada identitas etnik atau kedaerahan). Maka, selain menjual, disain kemasan juga diharapkan mampu mencitrakan diri selaku ikon suatu budaya. Sangat mungkin wacana di balik disain kemasan tersebut yaitu ekonomi pariwisata.
Wacana Dominan dan Yang Lain
Persoalan tidak selesai di situ. Disain kemasan perlu mengakomodir wacana lain yang justru penting untuk didahulukan, yaitu lingkungan. Pada soal lingkungan inilah disain kemasan dikerjakan dengan etika tertentu, misalkan material yang ramah lingkungan, limbah/buangan, hingga pendekatan eco-disain, eco-efisiensi, dsb. Faktor lingkungan dan etika di dalamnya menempatkan seorang disainer mesti memikirkan hal yang luput diperhatikan (atau sengaja dihiraukan) misalkan konsumenlah yang menanggung limbah. Gerakan-gerakan R (recycle, reuse, reduce, bahkan rethink) meski membantu memecahkan persoalan disain dan lingkungan, namun ia masih berada di belakang alias sifatnya advokatif: bencana mendahului pertolongan. Justru yang advokatif mesti ditempatkan di depan sebagai variabel dalam proses/alur mendisain (asal-usul). Yang berada di depan tersebut saat ini kian bermunculan, misalkan eco-efisiensi.
Bukankah pendekatan ekonomi pariwisata kerap mengusutkan lingkungan? Jika benar demikian, disain(er) kemasan oleh-oleh misalkan, dengan menyertakan pengetahuan lingkungan setidaknya ia telah memulai memerankan diri sebagai bagian dari jalan memecahkan persoalan, bukan adem ayem dan tidak tahu menahu kalau dirinya menjadi bagian dari persoalan itu sendiri.
Sebagai ilustrasi dari tetangga serumpun, yaitu arsitektur, pun terdapat contoh bagaimana sebuah etika mendisain didasari pengetahuan filosofi (mendasar). Dalam sebuah acara diskusi, yaitu “Diskusi Forum Mangunwijaya IX: Melacak Visi dan Gerakan Humanisme Y.B. Mangunwijaya”, yang diselenggarakan oleh KOMPAS dan Dinamika Edukasi Dasar, di Hotel Sheraton, Yogyakarta, Mei 2014, Erwinthon P. Napitulu – seorang arsitek, pendokumentasi karya-karya Y.B. Mangunwijaya – membawakan makalah berjudul “Memahami, Merawat, Meneruskan, dan Melestarikan Pesan dalam Karya-karya Arsitektur Y.B. Mangunwijaya”. Dalam presentasinya Erwinthon menyampaikan bahwa Mangunwijaya, atau kerap dipanggil Romo Mangun, memiliki filosofi dalam membangun, yaitu tidak ada barang sisa. Barang atau material sisa dirancang menjadi sesuatu, misalkan bangku. Hal tersebut memberi gambaran bahwa pengertian “tidak ada barang sisa” merupakan suatu prinsip dalam berarsitektur dimana prinsip tersebut berada di depan alur atau proses merancang.
“Tidak ada barang sisa” juga mengartikan bahwa di sana sangat mungkin tidak memerlukan gerakan advokatif (3R: recycle, reuse, reduce) namun gerakan 3R tadi menjadi variabel di depan di mana sisa material menjadi bagian dari keseluruhan arsitektural, bukan menjadi objek lain yang terpisah dari bangunan tersebut. Terkait penafsiran seni atau dalam hal ini menunjuk pada estetika arsitektur, dalam risalahnya Erwinthon menuliskan,
“Saya menggunakan batik sebagai analogi yang menurut saya paling tepat untuk menggambarkan bagaimana arsitektur YBM (catatan: Y.B. Mangunwijaya). Bangunan YBM itu ibaratnya batik tulis. Batik tulis itu lebih bernilai ketimbang batik cap, karena pengerjaannya butuh waktu kerja yang tinggi, perlu ketrampilan khusus yang bisa dipelajari, ketidaksempurnaan pada perulangan garis-garis hasil tarikan tangan justru menambah nilai tingi seninya. Dan yang juga penting, batik tulis, meskipun mahal, tidak “berteriak” minta diperhatikan ketika dikenakan. Karena itulah semua bangunan karya YBM terkesan “tenang”, “sederhana”, bahkan “redup” (halaman 3)
Yang perlu disimak dalam tafsiran Erwinthon di atas yaitu bahwa antara batik tulis dan arsitektur Mangunwijaya merupakan penganalogian yang boleh jadi mau menyampaikan bahwa kesadaran akan lingkungan bukan hal baru, atau asing, namun ia mengakar dan tersimpan di dalam budaya masa lalu (tradisi). Sayangnya, manakala saat ini kita menjumpai kemasan makanan tradisional, biasanya menggunakan bahan alam (natur), kita jadi terkesima, mengalami suatu eksotisme budaya, nggumun, terperangah. Ini bisa saja menggambarkan bahwa pengetahuan modern dalam disain telah memutus rantai keberlangsungan pengetahuan tradisi.
Modernisme pun bisa ditafsirkan sebagai absennya atau disingkirkannya yang tradisi. Justru yang tradisi itulah yang etis karena ia ramah bagi lingkungan (sangat mungkin dikotomi modern-tradisi tersebut sengaja diciptakan guna kepentingan pihak tertentu, misalkan ekonomi industri, dan hingga kini masih ada yang memercayai begitu saja dikotomi tersebut bahwa yang modern lebih maju, rasional, dan yang tradisional itu kebalikannya, terbelakang, irasional).
Wacana dalam Mendisain
Dua ilustrasi di atas, yaitu disain kemasan dan arsitektur Y.B. Mangunwijaya, memberi gambaran bahwa mendisain sesuatu artinya terlibat dengan wacana(-wacana) yang dipilih. Disain yang menurut kacamata umum dianggap baik, atau keren, belum tentu di dalamnya wacana yang dibawa juga baik. Nama lain untuk hal tersebut yaitu prasangka. Prasangka ini tidak kelihatan dalam alur kerja proses disain karena prasangka bercokol di batas-batas nalar seorang disainer. Prasangka tersebut bisa berupa etnis, agama, jender, kelas, kolonial, dsb.
Konon, prasangka mudah dibakar di negara yang selama ini hidup dalam/atau baru saja lepas dari iklim otoriter. Kepatuhan tidak saja melahirkan keamanan, namun ia juga berpotensi melahirkan kekecewaan atau frustasi massa. Dalam kalimat singkat, disain diharapkan muncul dalam situasi ketegangan, dalam situasi konflik karena selama ini masyarakatnya hidup dalam situasi represi. Lagian, saat ini represi tidak selalu hadir dalam bentuk militerisme, namun dalam wujudnya yang sangat halus: konsumsi.
Disainer mesti memeriksa dirinya terlebih dahulu sebelum melakukan kerja mendisain (beserta segala teori/pengetahuan yang diterapkannya), memeriksa bahwa dirinya sebagai bagian dari rakyat tidak mudah dikibuli namun suka dirayu.
Kepustakaan:
Erwinthon P. Napitulu, “Memahami, Merawat, Meneruskan, dan Melestarikan Pesan dalam Karya-karya Arsitektur Y.B. Mangunwijaya”, dalam “Diskusi Forum Mangunwijaya IX: Melacak Visi dan Gerakan Humanisme Y.B. Mangunwijaya”Â, yang diselenggarakan oleh KOMPAS dan Dinamika Edukasi Dasar, di Hotel Sheraton, Yogyakarta, Mei 2014.
When you do what you like, you won’t get sick of it too long, if ever.