Lokalitas Budaya Lokal dalam Desain Iklan

’’Apakah mungkin budaya lokal mampu menjadi inspirasi iklan Indonesia?’’

’’Kalau pun mungkin, apakah tidak terlihat ndeso?’’

’’Kalau pun mungkin, bagaimana pula caranya?’’

’’Caranya gampang bos, alias mudah!’’

’’Konkretnya gimana, hayo?’’

’’Konkretnya?’’

’’Ya … pahamilah rakyat (konsumen), dan budaya lokal bangsa Indonesia. Dengan mengamati, mencermati, mempelajari, memahami, bergaul, bersahabat, dan menjadi Indonesia, maka untuk mewujudkan cita-cita mulia menjadi 100% iklan Indonesia bukan perkara sulit. Gitu aja kok repot!’’

Berdasarkan dialog imajiner di atas, sejatinya dapat dipahami bahwa keberadaan iklan sangat lekat dengan hidup dan kehidupan kita sehari-hari. Ia tak bisa lepas dari sejarah kehidupan umat manusia. Karena ia merupakan salah satu usaha manusia untuk meningkatkan kualitas hidup.


Terlihat model perempuan penari Bali yang sedang peye (payu: mendapat order menari) menarikan sebuah tarian Bali yang lemah gemulai dalam balutan gerak ritmis dinamis. Ketika ia sedang menari tari Bali, tiba-tiba suara radio panggil berbunyi dan secara otomatis sang penari menghentikan gerakan gemulainya. Pesan yang tertulis di radio panggil itu berbunyi: ’’Sampai ketemu di diskotek, Daniel’’.

Gambaran tersebut merupakan bentuk kreatif iklan televisi alat komunikasi berbentuk radio panggil yang cukup terkenal di era 90-an dengan mengangkat tari Bali yang eksotis sebagai visualisasi iklan radio panggil. Tari Bali sebagai bagian dari seni tradisional dimanfaatkan oleh tim kreatif iklan radio panggil sebagai penarik pandang kepada target sasarannya. Dalam konteks ini, seni tradisi (tari Bali) diposisikan sebagai sumber inspirasi untuk memasuki wilayah privat kehidupan target sasaran yang hendak dibidik.

Ingatkah Anda dengan tokoh Cepot dalam gagrak wayang Golek? Si Cepot yang dicasting lucu, secara visual semakin kocak ketika dimainkan oleh dalang kreatif Asep Sunarya. Kekocakan dan kelucuan si Cepot berikut dalangnya ‘’dieksploitasi’’ oleh tim kreatif iklan produk suplemen meningkatkan stamina tubuh dengan tagline yang terkenal saat itu: ’’lho, kok loyo!’’.

Iklan produk suplemen meningkatkan stamina tubuh ini dengan kesadaran penuh menampilkan karya seni tradisional dari Jawa Barat karena ingin menyelaraskan frekuensi antara personil wayang Golek si Cepot, dalang Asep Sunarya dengan target sasaran dari golongan status ekonomi sosial (SES) menengah ke bawah. Target sasaran menengah ke bawah ini kecenderungannya bekerja dengan memanfaatkan tenaga otot, untuk itu diperlukan sebuah produk suplemen untuk menambah dan menjaga stamina tubuh agar tetap bugar, bersemangat, dan kuat bertenaga. Menjaga agar tubuh target sasaran tidak cepat loyo, lemas, dan tidak bertenaga.

Hal senada dilakukan pula oleh produk penghilang sakit flu yang kondang dengan slogan berbunyi: ’’Oskadon Pancen Oye!’’. Iklan produk tersebut menggandeng ‘’dalang edan’’ dari Karangpandan Surakarta, Ki Manteb Sudarsono, untuk menjadi juru bicara atas keberadaan produk penghilang sakit flu.

Dalam konteks ini wayang kulit yang merupakan salah satu produk karya seni tradisional yang masih banyak memiliki pendukung dan penonton setia, dirangkul oleh produsen obat flu sebagai media komunikasi visual untuk menginformasikan keberadaan sebuah obat flu yang memiliki khasiat meredakan penyakit flu. Sedangkan, Ki Manteb Sudarsono sebagai dalang dipinjam ketokohannya dan dijadikan model iklan tersebut, karena, Ki Manteb Sudarsono dianggap sebagai representasi target sasaran yang rawan diserang penyakit flu akibat jenis pekerjaannya yang mengharuskan Ki Manteb Sudarsono untuk melekan, begadang sepanjang malam, dan melakukan perjalanan dari satu kota ke kota lain guna memainkan wayang kulit semalam suntuk.

Pernahkah Anda melihat tayangan cowboy penunggang kuda yang dijadikan model iklan rokok filter putih produksi Amerika yang terkenal itu? Sudahkan Anda menyaksikan iklan rokok filter putih yang menampilkan model seorang cowboy gagah menunggang kuda hitam menges-menges (hitam legam) sedang menggembalakan ribuan ternak yang menjadi tugasnya sehari-hari?

Ya. Pasti anda sering melihat atau terpaksa menyaksikan tayangan iklan tersebut di beberapa layar televisi swasta, billboard, poster, majalah, tabloid, dan surat kabar. Selain melihat, so pasti, Anda (terutama paraperokok) yang merasa sebagai pria macho gagah perkasa dengan suka rela menjadi konsumen loyal. Ketika Anda ingin menghisap rokok, kemudian membeli rokok tersebut, maka sukseslah tim kreatif ini memosisikan Anda sebagai konsumen loyal. Sebagai seorang pria perokok macho dan gagah perkasa yang setiap saat mengkonsumsi rokok tersebut. Citra pria macho gagah perkasa yang direpresentasikan lewat cowboy berhasil menancap dengan sukses di dalam benak (ingat konsep positioning: bagaimana upaya produsen dengan segenap jajarannya menancapkan merek ke dalam pikiran target sasarannya) konsumen.

Masih terkait dengan model cowboy yang macho gagah perkasa dan masih bersinggungan dengan rokok filter putih produksi Phillip Morris yang berhasil membeli lebih 70 persen saham PT HM Sampoerna ini. Ternyata ada cerita menarik terkait dengan kreatif iklan rokok filter putih produksi Phillip Morris.

Apa menariknya? Menariknya, iklan tersebut menampilkan kuda kepang atau kuda lumping. Dongengnya begini, untuk mendekatkan dan memperluas target sasaran, digagaslah sebuah kreatif iklan yang tetap menampilkan kuda sebagai citra visual atas keberadaan produk rokok tersebut. Namun atas nama budaya lokal, kuda dan cowboy diterjemahkan ke dalam kuda lumping atau kuda kepang lengkap dengan penarinya.

Visualisasi iklan rokok tersebut menghadirkan ratusan penari kuda lumping yang nyengkelit pecut (cambuk) dan menunggangi kuda kepang dalam kemasan tari kolosal kuda lumping yang diiringi gamelan komplit. Lokasi syuting mengambil tempat di Alun-alun Selatan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Di dalam benak tim kreatif konsep dasar western dengan tampilan visual cowboy, kuda, dan ternak yang digembalakan didekonstruksi dan dibaca menjadi sesuatu yang universal. Artinya, tayangan kreatif iklan rokok putih versi cowboy sejatinya sama sebangun dengan iklan serial kuda kuda lumping. Perbedaannya hanya terletak pada objek yang digembalakan. Iklan gaya Amerika: cowboy menunggang kuda menggembalakan ternak yang hidup di padang luas. Sedangkan gaya Indonesia : ternak dan cowboy divisualkan dengan penampilan penari kuda lumping yang menunggang kuda kepang dalam tarian kuda lumping secara kolosal. Titik singgung dari dua kebudayaan yang berbeda itu terletak pada bagaimana menerjemahkan secara visual kata ‘’kuda’’. Pemahaman kata ‘’kuda’’ ini menjadi menarik dalam takaran kreatif periklanan. Hal itu selaras dengan peribahasa Jawa: ‘’desa mawa cara, negara mawa tata”.

Contoh kecil tersebut di atas menunjukkan pada kita, rakyat Indonesia, bahwa karya seni tradisional, baik berbentuk seni pertunjukkan maupun seni rupa sesungguhnya layak dijadikan nara sumber, rujukan, dan sumber inspirasi proses kreatif pembuatan karya desain iklan.


Paparan di atas menunjukkan pada kita, rakyat Indonesia, bahwa alam raya (gunung, bukit, gua, lautan, dataran tinggi, dataran rendah, danau, sungai), alam pedesaan yang eksotis (sawah, ladang, hutan, perkebunan), dan jejak-jejak kebudayaan peninggalan nenek moyang (arsitektur heritage, adat istiadat, beragam jenis upacara tradisional) layak dieksplorasi secara positif dan dikembangkan sesuai dengan zamannya.

Dengan memanfaatkan potensi budaya lokal dan kesenian tradisional sebagai sumber energi kreatif penciptaan karya desain iklan, maka keunikan yang dimunculkan dari lokalitas budaya lokal berikut masyarakat pendukungnya akan memberikan kontribusi positif bagi perkembangan jagat periklanan Indonesia. Selain itu, ketika parakreator dan desainer iklan Indonesia senantiasa mengedepankan lokalitas budaya lokal semakin membuncahkan ciri khas dan keunikan periklanan Indonesia. Dampak turunannya akan muncul gerakan periklanan Indonesia mengedepankan konsep kreatif dengan pendekatan budaya lokal yang berbudaya.

Sebab sejatinya, iklan dan proses periklanan merupakan salah satu perwujudan kebudayaan massa. Artinya, sebuah kebudayaan yang tidak hanya bertujuan menawarkan dan mempengaruhi calon konsumen untuk membeli barang atau jasa, tetapi turut juga mendedahkan nilai tertentu yang terpendam di dalamnya. Oleh karena itulah, iklan yang sehari-hari kita temukan di berbagai media massa cetak dan elektronik dapat dikatakan bersifat simbolik. Maknanya, iklan tersebut dapat menjadi simbol sejauh imaji yang ditampilkannya membentuk dan merefleksikan nilai hakiki.

Karena iklan mengemban tugas untuk menyampaikan pesan verbal maupun visual, maka keberadaannya senantiasa dikemas seartistik mungkin. Hal itu dilakukan agar menarik dan mampu membangkitkan rasa tertarik pada masing-masing pribadi, sehingga dapat menimbulkan stimulus dan reaksi untuk memberikan keputusan. Untuk itu, pesan verbal maupun visual yang ditampilkan dalam desain iklan dinyatakan dalam bahasa yang sederhana dan benar. Semua itu menjadi penting agar pesan-pesan tersebut mudah dimengerti oleh pembaca tanpa ada kesalahan interpretasi makna dari pesan tersebut.

Sebagai media komunikasi visual, maka keberadaan iklan menjadi media yang sangat efektif. Dengan demikian iklan mampu membawa masyarakat untuk berkomunikasi secara berbudaya dan dialogis, selanjutnya dimotivasi untuk melakukan suatu tindakan positif atas pengaruh komunikasi tersebut.

*)Sumbo Tinarbuko, Konsultan Desain, Dosen Desain Komunikasi Visual dan Program Pascasarjana ISI Yogyakarta.

Catatan:
Artikel ini dipresentasikan di Jurusan Periklanan FISIP Undip Semarang tanggal 11 Mei 2008 dalam rangka memperbincangkan ’’Citarasa Lokal dalam Visual Iklan’’

Quoted

“Imajinasi yang liar lebih kuat dari lirik yang sok mau jelas.”

Slamet A. Sjukur