[Sambungan dari Bersetubuh dengan Dua Dunia (1)]
Perempuan sebagai korban
Beberapa hari berselang setelah pertemuan dengannya di rumah duka itu, bukunya Art of the ART (2011), telah singgah di rumah saya. Aromanya yang kontemporer berseling dengan beberapa buku klasik yang kebetulan ada di meja baca saya. Saya cermati bahwa melalui karya-karyanya itu Aucky seperti tengah membuat catatan atas kenangan pada apa yang ia jumpai dalam praktiknya sehari-hari sebagai dokter bayi tabung; mengomunikasikan atau menginformasikan apa saja yang ia lihat, pelajari, alami di laboratorium, di tempat praktik, atau di ruang kuliah. Goresan-goresannya terkesan apa adanya, tidak berpretensi, dan karenanya terasa otentik. Bahkan cenderung naif.
Betapa bahagianya ia, sebagai ahli biologi reproduksi dan andrologi, saat menyaksikan hasil perselingkuhannya [yang berlangsung dengan damai itu] merasuk dan kemudian memperkaya pemahaman audiensnya. Olah kreativitasnya yang kaya makna itu berfungsi mentransfer pemahaman tentang berlangsungnya proses ART itu, atau juga mengenai siklus kehidupan manusia.
Tapi walau demikian, semuanya hadir bukan sekadar sebagai ilustrasi. Karya-karya yang lahir akibat terjadinya proses humanisasi—atas berbagai teknologi yang serba steril dan terukur yang ia akrabi pada saat praktik itu juga menyorongkan pesan-pesan kemanusiaan. Beberapa di antaranya bahkan secara eksplisit menyuarakan keberpihakannya pada kaum perempuan, sebagai pihak yang harus menanggung semua derita selama proses ART. Karena sesungguhnya, dalam proses bayi tabung, perempuan adalah korban, korban dari ketidakadilan yang mungkin dialaminya, karena kemandulan yang belum tentu disebabkan olehnya.
Keberpihakannya ini dinyatakan misalnya dalam salah satu karya lukisnya, Nothing is Free (2009). Dalam biologi reproduksi, sel telur diproduksi oleh seorang wanita dalam jumlah sangat terbatas dan dikeluarkan setiap bulan hanya satu semasa wanita itu subur. Jadi sel telur wanita merupakan investasi yang mahal dan harus dijaga agar yang membuahi bisa menjamin investasi ini dapat hidup dengan nyaman dan meneruskan gennya ke generasi berikutnya. Sedangkan sperma diproduksi terus menerus mulai akil balig sampai mati dalam jumlah yang banyak, sehingga investasinya relatif murah.
Oleh karena itu, si pemilik sel telur harus menyeleksi si pemilik sperma terbaik yang bisa membuahinya. Karya ini menggambarkan seorang wanita, yang dengan vagina di kepala sebagai tempat masuk sperma, sedang menyeleksi pria yang akan menjadi pasangannya. Pria harus berkompetisi baik secara fisik, emosional, maupun materi. Bagi wanita, tidak ada yang gratis (nothing is free) untuk memperoleh vaginanya sehingga bisa membuahi sel telurnya. Dia menerima pemberian perhiasan yang mahal untuk menjamin bahwa hasil pembuahannya di kemudian hari mempunyai jaminan hidup terbaik sesuai dengan investasinya yang mahal (Gb. 3).
Pengetahuan rasional vs kearifan intuitif
Dalam berkreasi, sumber inspirasi Aucky seperti tak terbendung. Karya-karyanya terbentuk oleh konsep-konsep dalam iptek yang terus berinterseksi dengan kreativitas seninya. Iptek, yang sifatnya progresif itu, akan terus melahirkan penemuan-penemuan baru, yang pada gilirannya menjadi amunisi yang juga akan terus memperbarui inspirasinya dalam mengekspresikan diri.
Persilangan, atau tepatnya persandingan sedemikian ini mengingatkan saya pada kaum polimat pada masa Renaisans (atau pun sebelumnya), seperti Leonardo da Vinci (1452–1519) dan Michelangelo (1475–1564). Juga pada peristiwa sekitar seabad yang lalu, yaitu pada Era Modernisme Awal (jelang abad ke-20 hingga sekitar 1935), ketika teori relativitas Einstein (1879–1955) berkontribusi bagi lahirnya pergerakan Kubisme (1906–1921). Atau pada riset-riset yang berlangsung di School of Visual Arts (SVA) di New York, juga Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan New York University (NYU), yang berfokus pada seni-seni yang dipengaruhi oleh science.
Tradisi Cina menandai dua dunia ini dengan istilah Yin dan Yang. Matahari misalnya, dalam pemahaman mereka memancarkan energi yang, energi positif (maskulin). Sementara bumi mengimbanginya dengan energi yin, atau negatif (feminin). Tanpa interaksi dari keduanya tidak akan pernah ada air, tumbuh-tumbuhan, atau juga senyawa-senyawa kimiawi lainnya. Sifatnya dinamis, energinya fluktuatif—ketika salah satunya mengembang, lainnya menyusut. Pemusatan energi merupakan proses yin, sedangkan yang bergerak dan menyebar adalah yang. Bila Barat memandang keduanya selalu dalam kondisi tetap (fixed), tradisi Cina melihatnya sebagai terus-menerus berubah. Pada setiap pria ada energi feminin dan pada setiap perempuan energi maskulin. Seperti halnya keadaan di alam, di mana pagi mengandung energi yang dan malam energi yin.
Tapi sebagaimana pengamatan Alick Bartholomew (l. 1930), penulis buku-buku holistik The Story of Water itu:
“Kita bisa melihat bahwa masyarakat kita sekarang ini lebih mengunggulkan yang daripada yin—pengetahuan rasional di atas kearifan intuitif, ilmu daripada agama, persaingan di atas kerjasama, dan eksploitasi di atas konservasi.”[2]
Memuliakan kehidupan
Saya berkesempatan menjelajahi karya-karya Aucky [melalui buku Art of the ART] ketika menuliskan Kata Pengantar bagi pameran tunggalnya di Bentara Budaya Jakarta, 20–28 Maret 2015. Dalam buku acara pamerannya itu saya mengakhiri tulisan saya dengan mengutip Einstein [dari bukunya Out of My Later Years (1937)] yang terjemahan bebasnya demikian:
“Agama, seni dan ilmu pengetahuan adalah cabang-cabang pohon yang sama. Semua aspirasi ini diarahkan untuk memuliakan kehidupan manusia, mengangkatnya dari lingkup keberadaan fisiknya belaka, dan membimbingnya menuju kebebasan.[3]
———
Referensi
[1] Hinting, Aucky. Art of the ART: Perjalanan Fertilisasi Iptek dan Seni. Katalog pameran Art of the Art, 2011.
[2] Bartholomew, Alick. The Miracle of Water: The Yin & the Yang.
Melbourne, Australia: New Dawn No. 130 (January–February 2012)
[3] Kardinata, Hanny. 2015. Aucky yang Berbahagia [seharusnya judulnya adalah: Kepada Sahabatku Aucky Hinting]. Created by ART (Assisted Reproductive Technology).
***
Tulisan lainnya di sini.
Sekolah membuat desainer menjadi pintar, bekerja membuat desainer menjadi paham, pengalaman panjang membuat desainer menjadi arif