“Kuda lumping makan beling, selamat datang di Citilink. Penerbangan QG9321 ini, akan membawa kita ke Yogyakarta, dengan waktu tempuh 55 menit. Silakan pasang sabuk pengaman anda. Dan pastikan ponsel anda telah dimatikan. Kembang widuri harum baunya, kami senang melayani anda.”
Selasa, 07 Mei 2013, pukul 16.10 WIB; kami bersiap untuk terbang dari Jakarta ke Jogja. Dan tiba-tiba pantun lucu itu terdengar di pelantang suara kabin Citilink. Hampir semua penumpang tertawa. Lalu saling membicarakannya. Wow, ini dia local advantages sesungguhnya. Inilah Indonesia, lucu!
Jika pantun jail itu kita dengar dari Opera Van Java atau panggung standup comedy, bisa jadi kesannya biasa saja. Tapi ketika itu dilontarkan pramugari sebagai pembuka “sapaan formalitas di pesawat”, tentu efek ngakaknya bakal tahan lama. Karena bukan hanya lucu, tapi juga menunjukkan “kecerdikan branding” Citilink.
MERAH MERANA
Pengalaman lucu itu, langsung memantik ingatan tentang Citilink versi lama, Citilink (merah). Saat itu, Citilink (merah) terkesan lahir dari reaksi panik manajemen Garuda Indonesia untuk mengamankan pasarnya. Karena, selama puluhan tahun sebagai market leader di penerbangan komersial, kepakan Garuda Indonesia nyaris tak tertandingi. Namun mendadak auman Lion Air datang membuyarkan mimpi indah tidur lelapnya.
Pasar gemuk penerbangan murah di Indonesia, secara signifikan memengaruhi pasar Garuda Indonesia saat itu. Pelanggan berduyun-duyun pindah ke lain hati. Auman Singa Merah makin menggoda. Dan kepakan sayap Garuda Biru mulai terancam. Karena itu, tahun 2001 lahirlah Citilink (merah) sebagai brand petarung untuk melindungi pasar utama: Garuda Indonesia.
Sayang, Citilink (merah) tidak segera beranjak perkasa. Justru terkesan hanya menjadi follower. Sebagai pemain baru, brand color merah Citilink malah mengekor Lion Air yang sudah lebih dulu memerahkan udara Indonesia. Tak bisa disangkal lagi, Citilink (merah) sempoyongan. Dan tak sampai 10 tahun, Citilink (merah) memudar warnanya di bisnis penerbangan murah Indonesia.
HIJAU LUCU
Awal Agustus 2011, Citilink kembali hadir dengan nama Citilink Indonesia. Rebranding Citilink ini, berjalan sepanjang 2011 hingga 2012. Kini, manajemen bisnisnya telah mandiri. Dibalut warna hijau lucu, Citilink merayu para pelanggan penerbangan berbiaya hemat. Ingat, hemat! Bukan murah.
Dan pengalaman lucu di QG9321 Selasa itu, menjadi indikasi bahwa Citilink Indonesia menyadari kekayaan local advantages untuk brand value barunya. Jauh sebelum Citilink (hijau), brand value “lucu” ala Joger Bali dan Dagadu Djokdja, sukses merayu para pelancong, agar mengoleksi kaos lucu mereka.
Sedang di bisnis kuliner, brand value “lucu” juga tidak ketinggalan disajikan oleh Mbah Jingkrak, Rawon Setan, dan Soto Gebraak! Masakan boleh sama, tapi selera humornya pasti beda. Karena itu, jika Soekarno masih hidup, barangkali dia bakal berkata dengan lantang, “Beri aku 10 usahawan lucu Indonesia, maka akan ku-branding dunia!”
Lokal Makin Nakal
Pasar Indonesia memang seolah menjadi anomali bagi pemasaran global. Coba perhatikan, di mana ada Mc Donald jual nasi-ayam, kalau tidak di Indonesia. Lalu bagaimana bisa, KFC sampai harus jualan CD musik dan kopi. Dan yang lebih ‘Indonesia’ adalah ketika kesegaran Teh Botol Sosro, tak bisa digeser buih soda.
Pertumbuhan brand ‘nakal’ di Indonesia belakangan ini, memang membanggakan. Lahir ribuan wirausahawan, di tengah pertumbuhan kelas ekonomi menengah baru. Potensi itu membuat banyak brand asing kewalahan. Kuncinya, brand lokal harus terus mengulik keunggulan orisinil Indonesia. J.Co sukses menakali Dunkin’ Donuts, bisa jadi karena belajar dari pedagang sate Madura. Cukup sebar aroma lezat lebar-lebar, antrian pembeli bakal panjang.
Pengalaman brand value “lucu” ala Citilink Indonesia, dan beragam brand lokal tersebut, sekali lagi menunjukkan tentang kekayaan local advantages yang kita miliki. Dan “lucu” merupakan salah satu kekayaan Indonesia yang tak ada habisnya. Kini, giliran kita untuk menemukan “brand value lucu” apalagi yang bisa kita branding-kan. “Makan soto sampai ngiler. Let’s go, Brander!”
Edy SR
Brandpreneur di EDYSR.COM
ide@edysr.com | @edysrid
Ketika dari mata tak turun ke hati, desain pun gagal total