“Dengan berfikir bahwa usaha penerbitan buku berpotensi menghasilkan uang banyak, pebisnis dan pandai besi Jerman, Johannes Gutenberg, merancang alat cetak yang terdiri atas cetakan alfabet per alfabet dan terbuat dari logam. Ini membuat percetakan lebih sederhana serta tahan lama sehingga dapat digunakan untuk menghasilkan cetakan yang bagus, relatif murah, dan bahkan indah.” (Iwan Pranoto, Kasmaran Berilmu Pengetahuan, Buku KOMPAS, 2019: 11)
Sewaktu menyimak perihal huruf (tipografi desain) ingatan saya tertuju pada buku cetak. Bahwa saat ini dapat kita jumpai buku elektronik (e-book, e-pub), pun perbukuan nasional masih diwarnai terbitnya buku-buku cetak yang di satu sisi kian visual desain isinya. Ingatan saya juga tertuju pada desain atau buku kitab suci. Bahwa produksi skala besar pertama Gutenberg berupa 200 kitab suci pada tahun 1455. (Iwan Pranoto, 2019: 12) Terfikir bahwa huruf dan percetakan sangat dekat dengan usaha untuk menyebarluaskan pesan, gagasan, atau pemikiran. Jika pesan tersebut adalah sesuatu yang berumur panjang, abadi, misalkan agama (keyakinan) maka bagaimana dan seperti apa ia diwujudkan juga merupakan hal penting. Apa yang mau saya maksud dalam tulisan ini yaitu tentang desain, waktu, dan keteryakinan. Belumlah saya temukan istilah yang pas untuk keteryakinan. Boleh jadi frasa “sugesti bentuk” bisa digunakan dalam menjelaskan keteryakinan bentuk, meski tak sepenuhnya memadai.
Dpi & Sumber Cahaya
Di jaman yang makin elektrik-digital mengapa buku-buku cetak masih terbit? Sekian jawaban bisa kita dapati dari para penerbit, pembaca, penulis buku, pecinta buku. Ada jawaban bahwa membaca buku versi cetak lebih nyaman. Hal tersebut ada alasannya. Membaca di layar genggam lekas membuat mata lelah karena bertatap langsung dengan sumber cahaya. Tingkat detail image layar digital umumnya lebih rendah, yaitu 72 dpi, sedangkan 300 dpi untuk cetak, alias lebih tajam. Dpi rendah memaksa mata kita bekerja lebih keras dalam menangkap detail obyek, termasuk huruf. Alasan lain yang bisa kita jumpai yaitu sensasi cetak seperti perabaan-tekstur (persentuhan dengan material), bebauan, dsb. Hal-hal tersebut mengumpul sebagai pengalaman artistik-estetik membaca buku versi cetak.
Pesona Waktu
Kembali ke desain kitab suci, yang belakangan mengundang saya berfikir mengapa desain kitab suci begitu terus sepanjang waktu, atau umumnya konsisten, nyaris tetap. Maksud saya, tak banyak mengalami perubahan yang cukup mendasar.[i] Sebaliknya, desain majalah atraktif sepanjang waktu sampai-sampai saya membayangkan apa tidak capek jadi majalah yang kudu gesit berdandan diri dari waktu ke waktu. Demikian pula dengan desain surat kabar yang juga tak sering mengalami perubahan, meski dalam sekian masa tak luput untuk menyesuaikan diri dan mengubah perwajahan.
Selanjutnya kita imajinasikan saja demikian: andaikata desain kitab suci dipolah seperti halnya desain majalah, yaitu sering berubah wujud, apakah yang akan kita alami? Sebaliknya, desain majalah dipolah seperti halnya desain kitab suci, nyaris konsisten wujudnya, persepsi apa yang akan muncul di benak kita sewaktu menatapnya? Percakapan lebih lanjut kita geser ke lain kesempatan, cukuplah di sini diajukan alasan bahwa sebuah keyakinan yang berumur panjang membutuhkan semantik bentuk dengan konsistensi wujud (sintak). Sebaliknya, keyakinan yang adaptif dengan tren jaman secara bentuk (sintak) juga diwarnai aspirasi jaman tersebut (semantik). Ini tidak berarti desain kitab suci tidak bisa berubah sama sekali! Dalam desain grafis hal tersebut dikenal sebagai gaya desain, dan dalam penerbitan bolehlah disebut dengan selingkung genre.
Sebuah projek iseng, yaitu mendesain jaket buku dengan cara-cara manual mencetak menggunakan teknik grafis tindes art dengan material klise cetak dari kertas karton, menuliskan teks pada sampul menggunakan mesin ketik, dan mewarnai ilustrasi tindes art menggunakan tinta cetak. Menulis menggunakan mesin ketik menempatkan saya berhadapan dengan sebuah batasan, yaitu ukuran dan jenis huruf yang tetap. Kondisi tersebut melatih kepekaan dalam mengelola dan mengomposisi ruang kosong, sebaliknya menulis/mengetik menggunakan perangkat lunak memberi beragam pilihan dalam menentukan ukuran, jenis, hingga warna huruf yang memunculkan penyikapan ruang kosong belum tentu sama. Kepekaan dalam menghadapi ruang kosong bisa lebih terasah manakala mendesain dengan sesuatu yang fixed seperti ukuran dan jenis huruf mesin ketik, terbatas namun justru di situlah daya tantang pengambilan sebuah keputusan desain. Kreasi desain jaket buku projek iseng dalam foto di atas boleh jadi terasa artsy seperti halnya genre tren desain buku saat ini yang artistik atau yang bergaya doodle. Sisi artsy bisa muncul lewat teknik dan gaya gambar, pilihan material, dan finishing yang semuanya menseduce kita.
Rak Buku Hari Ini
Geser ke rak buku saat ini, bahwa beragam buku yang belakangan hadir makin visual desain isinya. Buku kumpulan puisi tidak selalu disertai ilustrasi isi, bisa disertai satudua ilustrasi, namun jika tiap puisi disertai ilustrasi bisa-bisa menginterupsi momen membaca dalam pengertian mencari ruang sepi. Ini tidak berarti buku kumpulan puisi yang di setiap puisinya disertai ilustrasi lantas menjadi buruk! Bukan demikian maksud saya. Justru lebih berat tantangannya mengingat puisi umumnya bekerja dalam keterpendekkannya dibanding cerpen, cerpan, atau novel.
Bagi saya menariknya buku puisi justru di ruang-ruang kosongnya. Ruang kosong ini juga bisa diterapkan ke genre buku lain. Ini pun bukan hal baru. Sebagai catatan bahwa dalam huruf juga terdapat ruang kosong, disebut ruang positif dan negatif. Jadi, mau puisi, cerpen, cerpan, novel, atau genre non-fiksi, desain isi buku sudah mengandung beragam (asal-usul) ruang kosong. Menata letak isi buku bisa berangkat dari pemahaman seperti itu: mengelola ruang kosong sembari menata sekaligus membangun hubungan yang terancang antar para penghuninya.
Bercerita
Dari lingkungan sehari-hari tempat saya macul yaitu di kampus seni di gedung desain komunikasi visual (dkv), belakangan diwarnai karya desain yang kuat kehendak untuk bercerita. Kehendak tersebut ada yang berupa komik, novel grafis, cergam, motion comic, hingga infographic yang naratif. Beberapa karya concept art juga bisa dilihat sebagai sebuah pengisahan, yaitu lewat perancangan karakter, suasana/latar, dan berbagai properti yang dibangun sebagai sebuah dunia rekaan. Beberapa dunia rekaan tersebut menjumput olah dari masa lalu. Boleh jadi genre bercerita menjadi satu arus besar karya-karya dkv saat ini.
Era 90an dunia dkv cukup sibuk di periklanan. Toh di sini pun sisi cerita juga digunakan. Bedanya dengan era 2000an yaitu di era milenial cerita yang dirancangvisualkan tidak selalu untuk kebutuhan kampanye komersial. Ada semacam terbitnya fajar kisah-kisah yang dibangun dari dunia yang diyakini oleh perancangnya. Memang, beberapa kisah tersebut mengambil-olah dari masa lalu, atau mengalih wahanakan cerita yang sudah ada. Intinya, bercerita untuk sebuah cerita yang sudah ada, bukan untuk sebuah, katakanlah, produk atau merek tertentu.
Meminang Fiksi
Teks sastra (fiksi) makin sering dipilih untuk diceritakan ulang dan pergelarannya disertai gambar ilustrasi. Jadi, sebelum marak terbitan buku-buku yang makin visual, di lingkungan pendidikan formal dkv hal tersebut sudah saya jumpai. Bagaimana dengan lingkungan dkv di kampus lain, perlulah informasi lebih luas. Demikian juga dengan karya akademik yang mengkaji hubungan gambar dan tulisan dalam buku sastra mulai bermunculan. Warta yang menggemakan bahwa dunia makin visual (budaya visual) memang mudah dilihat wujudnya, namun bagi saya, atau mereka yang macul di dunia dkv, warta dunia yang makin visual tersebut bisa lebih spesifik, misal dunia yang makin naratif, desain-desain yang bercerita. Saya rasa hal-hal tersebut memerlihatkan pentingnya visi dan narasi dalam menjalankan peran mendasar pendidikan desain: nilai-nilai apa yang diperjuangkan, bagaimana citra diimajinasikan, dan masa depan seperti apa yang dicita-citakan.
Gerak-Gerik Imaji
Kembali lagi ke tren buku-buku yang makin visual. Ini bukan hal baru. Beberapa lulusan dkv juga menekuni perbukuan yang makin visual. Pula dapat kita jumpai buku yang mengarakterkan dirinya liar dalam cerita dan imaji gambarnya. Dari arus pengaruh budaya layar perwajahan desain sampul buku dikenalkan dengan istilah instagramable. Saking kuatnya istilah tersebut turut melirik satudua desain(er) sampul buku memesolek raut wajah lewat kontras warna dan permainan bidang. Menarik juga karena selama ini tren tertujukan pada gaya desain tertentu seperti lawasan, doodle, atau art nouveau-alam. Hadirnya instagramable menambah daftar tren desain wajah perbukuan yang terbangun dari teknologi media komunikasi. Salah satu alasannya agar si buku jadi visible di media sosial. Analog dengan hal tersebut yaitu penerbitan versi cetak tulisan-tulisan yang sudah dibaca oleh sekian orang di situs cerita, misal Wattpad.
(Isu) lingkungan juga menjadi pilihan mewajahi luaran buku. Alam kerap diterapkan menjadi bahasa yang paling umum dan mudah dipahami nyaris dari berbagai penjuru kebudayaan, karena itulah alam menjadi kode atau kiasan perancangan buku-buku yang meniatkan diri untuk hadir di ajang buku internasional. Seolah desain yang demikian mudah untuk berkomunikasi dengan keragaman membaca, berumur panjang. Ada benarnya juga. Tak anehlah jika kita mendapati buku-buku lama, termasuk desain kitab suci yang selain hampir konsisten desain isinya, juga berhiaskan ornamen-alam di luarnya. Jadi, ada keserentakan dalam membangun kesan, wibawa, simbol, dan kebertahanan eksistensinya sepanjang waktu.
Mencetak Kosong Waktu
Berbagai kilasan ingatan dan dugaan di atas muncul dan semakin terasa dampaknya bagi saya justru sewaktu saya menyimak huruf, terutama dalam media tercetak. Bahwa teknologi baca tulis (komunikasi) senantiasa berkembang, hal tersebut tidak menyudahi teknologi baca tulis sebelumnya. Yang berlangsung yaitu kerja-kerja perbukuan yang bersesuai atau bersiasat diri dengan budaya membaca bersesuaian dengan jamannya.
Hadirnya e-book memerlihatkan pada kita bahwa huruf, seperti yang ditafsirkan oleh seorang rekan-mahasiswa[ii], adalah perangkat lunak. Sistem OTF (Open True Font) lebih akomodatif untuk mengkoding reka-imaji huruf. Dengan sedikit tahu perihal OTF (dan TTF)[iii] kita bisa menyimak bahwa huruf makin luwes kehadirannya di berbagai perangkat gadget dan aplikasi digital: cara bacanya yang mengalir (flowing text), penyesuaian ukuran huruf secara otomatis atau seturut pengguna, pilihan jenis dan warna huruf, dan berbagai cara kerja ruang kosong yang berkontribusi dengan ergonomi baca. Tentu, ada kecenderungan penataan huruf di layar gadget yaitu pilihan paragraf rata kiri (left justify).
Di rak lain buku-buku tercetak makin visual desain isinya. Buku seperti ini sulit untuk dibaca mengalir di perangkat digital kita. Jika huruf bisa diatur-tata urut alir baca, sebaliknya gambar dilihat secara keseluruhan. Boleh jadi makin visualnya desain isi buku sebagai satu tanggapan terhadap buku elektronik: agar tidak mudah didigitalisasi dan mencapai ceruk pengalaman membaca yang berkesan.
Saling Silang
Ulasan di atas masih menaruh buku cetak di satu sisi dan buku elektronik di sisi lain. Bahwa percakapan di media sosial turut mewarnai bagaimana dan seperti apa desain buku cetak terpengaruh olehnya. Sebuah buku karya seorang vlogger, atau content creator, Ria SW., dirancang senafas dengan percakapan di media sosial. Di sana sini hadir kelincahan berpindah dari satu jenis bahasa ke jenis bahasa lain, dari gambar ke tulisan, dari tulisan ke tulisan percakapan, lalu ke emotikon, lalu ke onomatope atau sound lettering, lalu ke ilustrasi, ke stiker, singgah sebentar lewat Qr-code, dst, dst. Desain buku yang ginian inilah yang menjadi penanda bagaimana dan seperti apa berbagai unsur verbal serta visual dalam bercerita benar-benar terasa menyelaras, meyakinkan, dan gandrung serta bernuansa Korea yang sedang ngehit di kalangan milenial, seperti halnya dua seri terbitan desain buku Off The Record berikut ini.
Cara bercerita dan gaya desain buku Off The Record menyajikan warna penerbitan buku jaman media sosial. Sebuah mediamorfosis percakapan di media sosial yang ditransfer ke bentuk buku cetak. Desain isi buku ini terasa atraktif, lincah, namun tetap mengalir. Berbagai tanda atau signature percakapan di platform media sosial dibawa dan membangun suasana bercerita. Tanda dan signature tersebut antara lain emotikon, stiker, hingga cara guyon dan penyingkatan kata. Desain pada buku Off The Record 2 terasa lebih tertata pemerian bagiannya. Penataan tersebut dibangun lewat pengelolaan huruf judul bab dan ilustrasi penjeda/penanda bab. Pada seri kedua perbandingan gambar dengan tulisan terasa lebih seimbang dibanding seri pertama yang lebih banyak dan panjang tulisannya, meski kedua seri buku tersebut tetap mencerminkan cara cerita ala media sosial.
Ilustrasi kover dan isi buku Off The Record pertama dan kedua dirancang oleh Orkha Creative & Zuchal Rosyidin. Layouter buku pertama dan kedua oleh Anna Evita. Jadi desain kover, ilustrasi isi, dan layouter kedua seri buku tersebut dikerjakan oleh orang yang sama. Buku Off The Record yang saya punyai yaitu cetakan kesembilan (November 2019) untuk buku pertama, dan cetakan keempat (November 2019) untuk buku kedua. Setidaknya informasi tersebut menyampaikan sejauh mana keduanya terserap oleh para pembaca buku.
Berlayar dan Berkembang
Saya pun bertanya apakah saya, si generasi peralihan teknologi analog ke digital ini bisa mendesain buku macam ginian? Boleh dicoba, meski belum tentu lincah! Setidaknya saya bisa menikmati desain buku ginian. Dan ini perlu agar seorang desainer tidak dekaden atau memilih berbaring memuja-muji eranya saja namun mengapresiasi gaya desain dan semangat jaman baru. Sebaliknya desainer grafis generasi digital dilimpahi berbagai kemudahan dan pilihan dalam mendesain perlu juga mencoba mendesain dalam keterbatasan pilihan, misalkan menggunakan mesin ketik, dan berbagai keterbatasan alat dan cara yang lain. Keterbatasan tersebut memunculkan kepekaan penataan dalam berhadapan dengan berbagai unsur lain misalkan ruang dan ruang kosong.
Saling silang era desain menumbuhkan apresiasi antar generasi desainer. Sama-sama berlayar dan berkembang. Desainer grafis era digitalan berlayar mengenali cara kerja desain analog atau manual, melatih berbagai kepekaan ruang, media, dan berbagai impresi cara kerja. Desainer analog atau manualan berlayar mengenali gaya desain terbaru, membagikan sari-sari pengalamannya yang telah teruji oleh waktu. (Koskow, Maret 2020)
“Manusia adalah homo narrans atau homo narratus: mahluk yang bercerita, mahluk yang belajar dan mengajar dari cerita. Manusia dibentuk oleh cerita dan hidup dalam kelompok yang juga dibentuk oleh cerita. Selalu ada banyak cerita tentang kelahiran, kehidupan, dan kematian seseorang atau sekelompok manusia…Cerita adalah produk lama yang selalu mendapat kemasan baru!” (Hortenius F. Mandaru, Daya Pikat & Daya Ubah Cerita Alkitab, Kanisius, 2019: xiii-xiv)
[i] Berbeda dengan kitab suci yang dikemas untuk anak-anak, didesain untuk menarik perhatian, dan untuk itu lebih ilustratif serta ringkas.
[ii] Mahasiswa tersebut yaitu Annasrullah, kerap disapa Annas, mahasiswa angkatan 2015 DKV ISI Yogyakarta, yang berlatar belakang SMK Jurusan Elektro. Annas juga pernah menjabat sebagai ketua Studio Diskom DKV ISI Yogyakarta. Gemar menerbitkan zine, disamping mengulik font.
[iii] Tentang OTF dan TTF dapat dijumpai di internet, di situs tentang font.
The fate of a designer is not determined by the public system, but by the way he sees his own life