Ketahanan dalam Keragaman (1)

Oleh: Hanny Kardinata

[Bagian pertama dari tiga bagian. Refleksi Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2017]

“Lihat diri ini dalam-dalam. Tidak ada satu pun manusia yang bisa damai seorang diri. Perhatikan udara yang amat vital dalam kehidupan manusia. Ia adalah hasil jerih payah pepohonan dan komponen alam yang lain. 0rang tua sebagai contoh lain, tidak mungkin damai bila anak-anak sakit. Pengusaha tidak bisa kaya bila tanpa pekerja. Penguasa akan berbahaya bila tidak terhubung dengan rakyatnya.” —Gede Prama

Jalinan kerjasama
Ada suatu masa, dulu sekali, di kisaran tahun 1960-an, saat saya sangat terobsesi pada tanaman. Apa saja yang saya jumpai di dapur ibu saya, saya minta dan saya tanam, di sejengkal tanah di halaman belakang rumah saya di Surabaya. Bawang, cabai, kunyit, kacang hijau, kedelai, jagung, tomat, apa saja. Dan selalu saja saya takjub menyaksikan proses pertumbuhan dan perkembangannya. Terutama pada perkembangannya menuju dewasa, yang tak dapat diukur atau dinyatakan dengan angka itu (kualitatif). Dari biji, menjadi kecambah atau tunas, lalu menjadi batang, yang semakin tinggi, bercabang-cabang, hingga ditumbuhi daun di sekelilingnya; ada yang kemudian berbunga, dan lalu berbuah.

Pada tahap berikutnya, sedikit demi sedikit saya belajar memahami bahwa tumbuh-tumbuhan itu hidup dan mempertahankan kehidupannya melalui ‘jalinan kerjasama’ dengan berbagai elemen. Dengan air, temperatur, cahaya matahari, nutrisi, dan juga dengan tanaman lain yang tumbuh di sekitarnya (bagaimana yang lebih dewasa dan besar sosoknya menaungi yang lebih muda dan kecil, dan bahwa daun tanaman yang gugur pada saatnya akan menjadi makanan bagi tanaman lain di dekatnya); juga dengan iklim, gravitasi, dan lain-lain. Saya bisa menghabiskan waktu berjam-jam di “kebun” untuk mengamati pertumbuhan dan perkembangannya, terkadang ditemani oleh dua ekor Terrier kesayangan kami, Lady dan Grumpy [anehnya, keasyikan serupa tak saya peroleh dari sekolah—saya duduk di jenjang SMP saat itu, pengajaran Ilmu Hayat tak menarik perhatian saya kecuali sekadar untuk dihafalkan dan meraih nilai].

Kebiasaan hidup berdekatan dengan “alam”ini berlanjut hingga tahun 1980-an ketika doa terjawab dan saya diizinkanNya tinggal di tengah sebuah “hutan kecil” di daerah Ciputat, Tangerang Selatan. Lahan seluas sekitar 1.000 m2 itu terkesan tak tersentuh oleh tangan manusia, penuh dengan pepohonan yang tumbuh alami, dan terletak di wilayah yang jauh sekali dari kesibukan kota metropolitan [pada masa itu, hanya satu atau dua kendaraan saja yang berpapasan melintasi jalan Ciputat Raya]. Ada pohon duren, nangka, rambutan, kelapa, sukun, kecapi, jengkol, dan sebagainya. Dan yang terbanyak tentu saja pohon melinjo yang banyak bertumbuh di selatan Jakarta. Tanahnya tidak landai melainkan berkontur-kontur, makin ke belakang makin rendah, dan menghadap ke area persawahan.

Kehidupan seperti berputar kembali ke masa kecil saya, sekali lagi saya boleh menjadi bagian dari sebuah komunitas ekologis yang teduh dan damai; di mana hanya terdengar kidung ceria berbagai jenis burung di kala pagi, tupai saling berkejaran di siang hari, serta orkestrasi belasan serangga dan hewan kecil di malam yang senyap [dalam lingkungan sedemikian ini untuk pertama kalinya saya “bersua” dengan Fritjof Capra, yang pemikiran-pemikirannya mengenai ekologi saya sarikan di bagian ketiga tulisan ini].

1. Jelang matahari terbenam di teras atas pada sisi belakang rumah di Ciputat. Fotografi: Roy Genggam. Sumber: Majalah Laras.

Alam mengajarkan hakekat kehidupan, yang tak banyak saya peroleh dari sekolah. Mengenai interdependensi seluruh makhluk hidup di dalam ekosistemnya. Bahwasanya daun memperoleh makanannya dari energi cahaya matahari (proses fotosintesis). Betapa kehadiran cacing tanah yang sering disepelekan itu justru dibutuhkan untuk menebar kesuburan [pergerakannya di dalam tanah meninggalkan rongga udara yang membantu tumbuh-tumbuhan untuk bernafas]. Air, yang amat dibutuhkan oleh manusia, untuk minum atau membersihkan tubuhnya, sangat ditentukan keberadaannya oleh tumbuh-tumbuhan [akar-akarnya berjasa dalam menahan dan menabung air di dalam tanah].

Dari petani di sawah, kita belajar mengenai rantai makanan (makan-dan-dimakan) yang dibutuhkan untuk kesinambungan kehidupan. Seperti padi yang dimakan oleh belalang, belalang dimakan oleh katak, dan katak oleh ular. Setelah mati, bangkai ular akan diurai, dan uraiannya akan menyuburkan tanah, serta memberi makanan kepada tumbuh-tumbuhan. Begitu seterusnya, di mana siklus berulang kembali.

Kita sendiri berhutang besar pada para petani. Makanan kita bertumpu di atas pengorbanan para petani padi dan sayur karena teramat jarang petani yang sejahtera. Para binatang malah lebih mengenaskan, terpaksa mati agar manusia bisa memakan daging.[1]

“Kita perlu mengajarkan kepada anak-anak kita, murid-murid kita, serta para pemimpin korporat dan politisi kita, mengenai fakta-fakta kehidupan yang mendasar—bahwa feses suatu spesies adalah makanan bagi spesies lainnya; merupakan siklus yang terus berlanjut melalui jaringan kehidupan; bahwa energi yang menggerakkan siklus ekologis itu bersumber dari matahari; bahwa keragaman itu menjamin ketahanan; dan bahwa awal kehidupan lebih dari tiga miliar tahun yang lalu itu tidak mengambil alih planet ini melalui pertempuran melainkan melalui jalinan kerja sama” —Fritjof Capra, The New Facts of Life, 2008

———
[1] Gede Prama. Pencerahan dalam Perjalanan. Gramedia Pustaka Utama, 2010.

———
Referensi

Cosmos: A Spacetime Odissey. National Geographic Channel.

Fritjof Capra. The New Facts of Life, EcoLiteracy, ecoliteracy.org

***

[Bersambung »]

Quoted

“Seorang desainer harus memiliki keberpihakan pada konteks membangun manusia Indonesia. Peka, tanggap, berwawasan, komunikatif adalah modal menjadikan desainnya sebagai alat perubahan”

Arif 'Ayib' Budiman