“Dalam era media sosial ini, orang-orang terkenal dan ambisius sering kali mencari pengakuan publik dari orang-orang yang hampir tidak mereka kenal. Namun, penting untuk diingat sesuatu yang sering dilupakan: sejuta orang bisa salah secara fantastis,” tulis Erik Kessels, seorang seniman Belanda, dalam bukunya “Failed It!: How to turn mistakes into ideas and other advice for successfully screwing up.” Erik menyoroti bagaimana di era modern ini, opini yang dianggap sesuai dapat dengan mudah menjadi populer dalam skala besar, meningkatkan risiko bagi ide-ide baru yang sering dipraduga sebagai pemikiran yang banal.
Berkaitan dengan pemaparan di atas belakangan ini terdapat gemuruh perbincangan yang ramai di jagat maya desain grafis, yaitu kasus saling menyahutnya desainer jersey bola terbaru skuad Garuda dengan beberapa pelaku dan masyarakat. Meskipun awalnya tulisan ini tidak memperhatikan kasus atau langkah-langkah desainer jersey tersebut, namun kasus ini menjadi titik perhatian yang penting dalam melihat dampak jejak digital terhadap profesi dan isu-isu dalam desain grafis secara luas. Kasus ini telah menjadi perbincangan nasional, dan penulis menggali kiat-kiat yang bisa dipetik untuk merefleksikan diri terhadap situasi yang menggemparkan dalam dua bulan terakhir.
Sebagai latar belakang di bulan maret 2024 lalu; gegernya “se-Indonesia” atas peluncuran jersey bola terbaru yang disiapkan oleh ERSPO selaku produsen yang bekerjasama dengan biro desain Makna Creative sebagai perancang jersey skuad Garuda yang terbaru. Kisruh tersebut berkecamuk setelah banyaknya kritik terbuka oleh masyarakat sebagai timpalan kekecewaan mereka terhadap jersey tersebut. Puncaknya terjadi setelah respon saling sindir antara founder dari Makna Creative, Ernanda Putra dan beberapa pihak lewat media sosial, yang berbuntut viralnya kasus jersey terbaru ini.
Dari latar belakang tersebut, yang perlu dipahami adalah posisi kita sebagai desainer. Kita berada dalam situasi di mana kita harus merancang produk untuk pasar yang sangat besar dengan karakteristik pasar yang sangat spesifik, yaitu para penggemar sepak bola di Indonesia. Untuk merefleksikan kasus ini, kita perlu mempertimbangkan kedua hal tersebut.
Posisi Desainer yang Rapuh
Dalam tulisan sebelumnya (https://dgi.or.id/read/memaknai-desain-grafis-sebagai-gagasan-politis.html), saya menyatakan bahwa dalam dunia desain, kita sering kali harus bekerja lintas disiplin ilmu. Oleh karena itu, kegiatan desain sering bersifat human-centered (menempatkan manusia sebagai pusat proses pengembangan dari penciptaan nilai, perancang dan subyek manusia tidak berada dalam konteks yang sama, sehingga membutuhkan empati dari perancang—red). Sebagai contoh, untuk mendesain sebuah poster untuk merek rokok, seorang desainer tidak harus menjadi perokok. Begitu juga dalam konteks mendesain jersey bola, seorang desainer tidak harus mahir bahkan khatam segala jargon sepak bola, tetapi ia harus cracking brief yang berkaitan dengan objektif jersey bola tersebut untuk mengerjakanya lewat angle komunikasi apa.
Tentu saja, dalam hal ini (kompleksitas pekerjaan—red), desain tidak seharusnya ditangani sendiri. Desainer akan mengalami bias dari brief yang diberikan. Meskipun brief tersebut dapat diselesaikan, namun jika desainer tidak dalam kapasitasnya mengekspresikan disiplin yang dikerjakannya, hasilnya akan terasa sangat dangkal. Pada tahap berikutnya, desainer harus mampu memahami target pasar secara menyeluruh karena dari situlah solusi dapat terselesaikan dengan baik. Dalam konteks ini, desainer tidak boleh menganggap bahwa desain jersey bola memiliki natur yang sama dengan mendesain identitas merek untuk kebutuhan restoran atau butik fashion.
Hasil riset Ticketgum mengungkapkan bahwa Indonesia berada di urutan nomor empat, sebagai negara sepak bola paling “gila”. “Pecinta sepak bola Indonesia menunjukkan dedikasi dan dukungan yang kuat untuk tim domestik, seperti Persija Jakarta dan Persebaya Surabaya,” tulis Ticketgum, 21 September 2023.
Ketika membahas pasar sepak bola Indonesia, respons yang datang dari pengguna, khususnya para penggemar dan penggiat sepak bola, akan sangat bervariasi karena mereka masing-masing memiliki ikatan emosional yang kuat dengan timnas Garuda. Hal ini menjadi penentu dalam skala kerja desain karena melibatkan pemangku kepentingan yang jauh lebih besar, yakni sebagian besar bangsa Indonesia. Ini menandakan bahwa posisi desainer berisiko karena tugasnya yang berbeban dan berbobot jauh dari kapasitasnya—kita menyadari posisi desainer yang cukup rapuh dalam menjembatani visi-misi klien serta kelemahan dalam membaca kebutuhan pasar sepak bola Indonesia secara meneyluruh. Selanjutnya kita rangkum pembahasan isu ini bersama pelaku industri desain grafis dan kreatif.
Respon pertama datang dari Evan Wijaya seorang desainer grafis profesional yang berfokus pada industri film, yang membutuhkan Evan untuk dapat menjembatani kerja desainnya dengan kebutuhan pasar berskala nasional. “Respon pertama sebetulnya menjadikan kasus ini sebagai cautionary tale untuk diri (praktik kerja) gue pribadi”. Baginya ketika sebuah karya desain dipublikasikan, dalam skala yang besar ia tidak punya kuasa dalam mengontrol opini publik atas karyanya, atau dalam konteks yang dialami Evan dalam industri film. Karya-karyanya yang dihasilkan oleh Evan cenderung memaknai masyarakat, sehingga audiens merasa memiliki suatu bentuk kepemilikan atas produk yang mereka tonton—yang membuat mereka merasa memiliki hak untuk berpendapat tentangnya. Pada praktiknya, Evan juga memaparkan bahwa bagaimana dirinya selalu mengupayakan agar hasil yang ia kerjakan dapat merepresentasikan dirinya dan memoderasi apa yang menjadi selera pasar, sehingga pekerjaan apapun bukan menjadi tubrukan idealisme baginya.
Lanjutnya Evan pun dapat memaklumi tanpa membenarkan kasus saling menyahutnya desainer jersey skuad Garuda tersebut, menurutnya hasil karya seorang desainer sangat personal karena melibatkan personal touch dan pengalaman pribadi yang membentuk selera desainer secara khusus. Hal ini menjelaskan mengapa proses mendesain dianggap sebagai sesuatu yang sangat intim, karena desainer harus menyalurkan segala sesuatu yang ada dalam diri mereka ke dalam desain mereka. Ketika hasil desainnya dipertunjukkan kepada orang lain, itu menjadi momen yang sangat rapuh bagi seorang desainer karena desain tersebut mencerminkan siapa diri mereka sebenarnya.
“Dan ketika semua itu diserang sangat masuk akal ketika desainer tersebut tersinggung karena semua itu bisa jadi personal” katanya. Evan menutup opininya dengan merefleksikan kasus terkait dengan mindset desainer yang sebaiknya tidak hanya bersikap resisten dan defensif, tetapi juga melihat bahwa pekerjaannya sudah menjadi milik masyarakat setelah dipublikasikan. Dengan pemahaman ini, seorang desainer bisa meliberasikan pandangannya terhadap kritik dari luar, dan menganggapnya sebagai bagian dari proses kreatif yang melibatkan interaksi dengan masyarakat. Desainer dapat melihat masukan dari luar sebagai tanda bahwa masyarakat peduli dan tertarik terhadap desain yang dihasilkan, sehingga hal ini dapat menjadi panduan bagi desainer untuk lebih memahami preferensi dan kebutuhan masyarakat dalam desain mereka.
Ada pula respon dari Adri Zainuddin, seorang pekerja kreatif dengan pengalaman hampir dua dekade di dunia periklanan dan seorang serta pemerhati jersey bola, memberikan pandangannya tentang dinamika baru dalam diskusi publik seputar jersey tim nasional Indonesia. Dengan latar belakang yang kaya di bidang kreatif dan hobi yang mendalam dalam sepak bola, Adri mengungkapkan kegiranganya melihat diskursus masif dan kontradiktif yang muncul di masyarakat mengenai desain jersey terbaru.
“Respon pertama gue saat itu wah seru juga ya, sampai orang awam mendiskusikan jersey bola.” katanya. Menurut Adri, fenomena ini jarang terjadi, terutama jika dibandingkan dengan peluncuran jersey sebelumnya oleh Mills, brand sport lokal yang sudah dikenal dari awalnya sebagai pembuat jersey bola. Meskipun awal-awal peluncuran jersey Mills juga sempat memicu diskusi di media sosial kala itu, tingkat resistensi dan antusiasme masyarakat tidak seintens saat ini, saat vendor baru, ERSPO, terpilih. Adri menekankan bahwa perbedaan reaksi ini mungkin disebabkan oleh ekspektasi yang sudah dibangun oleh fans sebelumnya pula imbas dari momentum positif dari performa tim nasional Indonesia, yang menjadikan jersey ini lebih di antisipasi.
Adri menggali lebih dalam tentang konsep desain jersey yang tidak hanya berfokus pada aspek estetika, melainkan lebih pada cerita yang tercipta saat jersey tersebut dikenakan. Menurut Adri, keberhasilan sebuah jersey tidak hanya dinilai dari desainnya yang menarik secara visual, tetapi juga dari bagaimana jersey tersebut dapat merefleksikan cerita atau momen yang penting dalam sejarah tim yang memakainya.
Adri mengambil contoh jersey terbaru dari ERSPO, yang awalnya mungkin tidak diterima dengan baik dari segi desain, tetapi akhirnya mendapatkan sentimen positif karena adanya kisah yang melekat di dalamnya setelah performa yang baik oleh timnas di AFC Asian Cup 2024 . Kisah inilah yang Adri maksud sebagai story yang muncul secara alami dan bukan hasil dari narasi yang difabrikasi. Lebih lanjut, Adri berbicara tentang sebuah jersey yang mungkin tidak menarik di mata awam jika dinilai hanya dari prinsip desain, tetapi menjadi berharga dan memiliki dampak yang besar karena asosiasi dengan kemenangan tim.
Adri juga mencerminkan pandangan pribadinya terhadap jersey yang dirancang dengan mempertimbangkan preferensi pribadi desainernya, yang mungkin merupakan penggemar dari tim tertentu, seperti Liverpool, dimana terdapat karakter simple yang dapat terlihat. Ini mengarah pada diskusi bahwa desain bisa jadi subjektif dan bahwa kesan awal tentang jersey bisa berubah menjadi lebih positif seiring waktu, terutama saat cerita di baliknya mulai melekat pada memori kolektif para penggemar. Pada akhirnya, Adri menilai bahwa jersey tersebut memiliki potensi untuk menjadi simbol cerita yang lebih besar, cerita yang akan terus berkembang dan melekat pada jersey tersebut yang sintas akan berjalannya waktu.
“Kalau soal mempertahankan ide menurut gue itu sudah kembali ke personality lah, perihal siapa yg buat pasti akan punya interpretasi yg berbeda-beda, malah (dengan kasus ini) menandakan bahwa masyarakat ingin punya andil yang tinggi untuk kemajuan sepak bola indonesia, dalam artian ingin Timnas punya jersey yang bagus. Dan diskusi tersebut yg membuat gue senang.” tutup Adri.
Dalam memahami kasus riuhnya jersey bola yang terjadi baru-baru ini, penting bagi desainer untuk menempatkan diri mereka tidak hanya sebagai pelaksana teknis tetapi juga sebagai mediator antara visi klien dan harapan publik. Evan dan Adri, melalui wawancara mereka, menyoroti pentingnya menghargai kerapuhan posisi desainer saat berinteraksi dengan pasar yang luas dan beragam seperti penggemar sepak bola di Indonesia. Evan memandang kasus ini sebagai pelajaran penting dalam praktiknya, menekankan bahwa setiap karya yang dipublikasikan tidak terlepas dari opini publik yang bisa saja sangat kritis. Sementara itu, Adri menunjukkan bagaimana dinamika publik terhadap jersey baru menjadi lebih intens karena ekspektasi dan momen-momen penting yang diharapkan oleh penggemar terhadap tim nasional. Desainer, dalam konteks ini, harus berani mengambil risiko dan terbuka terhadap kritik, memperhatikan bahwa hasil karya mereka menjadi bagian dari narasi publik yang lebih besar dan memiliki dampak yang luas.
Tapi bagaimana dengan inti dari desain jersey besutan Makna Creative, baik opini Evan dan Adri memuat suatu benang merah, jika dilihat dari prinsip desain jersey ERSPO masih sesuai dengan harmoni atas kaidah desain. Tapi bagi awam tidak cukup membahas jersey hanya sebagai end product, seperti pembahasan Adri, jersey baru selalu dilihat dari kacamata penggemarnya sebagai wadah yang akan menampung dan terbangun nilainya, dan itulah keindahan yang tepat bagi penggemar jersey bola.
Sebagai penutup, kasus riuhnya jersey bola Indonesia mengajarkan bahwa desain tidak hanya tentang estetika tetapi juga tentang bagaimana sebuah produk bisa beresonansi dan menceritakan sebuah kisah bagi penggunanya. Desainer perlu memahami dan menghargai bahwa setiap karya yang mereka buat akan dinilai dalam konteks yang lebih luas oleh masyarakat. Ini adalah pelajaran penting dalam era digital saat ini di mana setiap karya sangat mungkin mendapat tanggapan yang cepat dan luas dari publik. Dalam menghadapi ini, desainer tidak hanya dituntut untuk kreatif, tapi juga resilien dan responsif terhadap dinamika pasar yang berubah-ubah, mengambil setiap kritik dan masukan sebagai bagian dari proses pembelajaran dan pertumbuhan profesional mereka.
Karena benar sudah menjadi cita-cita banyak desainer untuk mencerahkan dirinya ketika karyanya dapat dikenali oleh orang. Menjadi apresiasi yang luar biasa ketika sebuah karya desain dapat meneriaki nama seorang desainer tanpa ada goresan nama pada desain tersebut, tapi marilah kita menambahkan untuk bertanggung jawab atas apa yang menjadi mimpi kita tersebut.
Minggu 28 April 2024
Rouzell Waworuntu Saad
Limitations and distractions are hidden blessings