BULAN KETUJUH (DITULIS DARI ISTANBUL)
Saran membaca:
Tulisan dibawah ini akan lebih nyaman dibaca sambil mendengarkan musik dari link ini.
Pulang sekolah aku menyusuri pasar mencari peti bekas diantara tumpukan dus dan kayu rongsok, namun tidak juga kutemukan benda yang diinginkan. Kuberanikan diri untuk merayu si engkoh pedagang sembako, akhirnya berhasil juga membawa pulang dua buah peti kayu impianku. Kotak itu aku bongkar lalu dirakit menjadi rumah mungil lengkap dengan pintu depannya. Tak sabar kugendong naik ke atas genteng lalu mencari sudut yang tepat untuk meletakkan rumah baru binatang peliharaanku, sepasang merpati!
Sering aku termenung menatap mereka terbang di langit atau memohon pada abangku melepaskan si merpati jantan sejauh mungkin dengan menuliskan surat kecil di pangkal ekor si burung. Menanti merpati kembali, menjadi saat paling kunanti. Wussssshhhh…! Kepakan ratusan sayap menderu menghembus keras di depan wajah, membuyarkan lamunan masa kecilku. Aku berdiri terpukau di Trafalgar Square, London! Kini burung-burung itu seolah terus menjadi bayanganku, selalu ada di setiap negara dimana aku singgahi. Mungkinkah mereka terbang bermigrasi antar benua untuk memilih tempat yang lebih baik? Hari berikutnya segera aku menulis surat, memperkenalkan diriku agar menjalin pertemanan dan relasi baru di Inggris.
Tujuh bulan sudah ‘rumahku’ berada dalam sebuah koper berukuran sebesar kandang merpati, berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya. Kondisi ini menyadarkanku bahwa sebenarnya kita tidak memerlukan banyak hal dalam hidup. Akibatnya tubuhku kini kurus semakin ringkih seakan mudah terhempas angin Atlantik. Aku pernah mengalami ‘obesitas akut’ karena terlalu banyak mengkonsumsi hal tidak penting yang menggerogoti hidupku. Perjalanan ini bagaikan program diet panjang untuk membentuk ‘tubuhku’ yang sebenarnya. Tak terhitung lagi berapa jarak kutempuh telah membentuk jiwaku menjadi 7 tahun lebih berkilau.
Lapis demi lapis ‘lemak’ itu terkikis sudah, setiap timbunan yang hilang menyisakan ruang untuk diisi kembali dengan kisah baru. Seperti bagaimana mengucapkan rasa “terima kasih” yang paling menggetarkan hati disaat aku mendapat bantuan tidak terduga dari sebuah keluarga yang menampungku untuk tinggal di rumahnya. Di Maroko aku berbincang dengan seorang ibu dengan bahasa yang sama sekali asing namun kami saling memahami apa yang dimaksud, padahal melihat presidenku berpidato berbelit-belit selama 30 menit di TV sama sekali tidak kumengerti. Betapa sebuah kata bisa mengguncang, jarak mampu mengubah banyak arti kata yang tadinya biasa menjadi sangat emosional. Aku menghindari mengucapkan satu kata dengan orang-orang yang kucintai di negeriku. Mendengarnya saja sudah membuatku runtuh. Kata itu adalah ‘rindu’.
Satu persatu email yang kukirimkan mulai mendapat balasan, teman baru, project baru dan lingkungan baru bermunculan lebih cepat dari perkiraan. Aku merasa punya kesempatan dan momentum untuk tumbuh di sini. Hasrat serta minatku telah menemukan ekosistemnya hingga sempat terfikir untuk mengakhiri saja perjalanan ini. Satu bulan lamanya aku mempertimbangkan apakah keputusanku tepat untuk melakukan migrasi? Ataukah aku telah terhipnotis oleh mimpi-mimpiku yang terasa begitu dekat dan nyata di kota ini. Setelah kutelusuri lebih jauh, pilihan menjadi imigran merupakan sebuah konsekuensi yang lekat dengan berbagai stigma dan isu. Jika kita tidak mampu mempersiapkannya dengan baik malah menjadi jerat yang dapat menjebak diri kedalam situasi lebih sulit. Seperti teman-teman baruku lulusan program Master dari universitas ternama di London kini kesulitan mencari lapangan pekerjaan. Sebagian dari mereka harus rela melakukan magang dengan mendapat upah minim, situasi menguntungkan bagi perusahaan, namun penyiksaan bagi para lulusan karena mereka telah menghabiskan uang banyak selama kuliah. Krisis finansial telah berdampak nyata terhadap kebijakan pendidikan Inggris apalagi bagi siswa pendatang non-Inggris. Seolah-olah mereka memberi janji manis: “Ayo datang dan sekolahlah disini, masa depanmu akan terjamin, bawa banyak uangmu! habiskan di negeri kami, tapi setelah lulus segeralah pulang, selamat mencari peruntunganmu sendiri!”
Puncak dari kegelisahanku adalah meledaknya kerusuhan London. Dipicu oleh penembakan seorang warga sipil oleh polisi telah menyulutkan percikan api kedalam minyak. Sebuah bangsa yang memiliki sejarah panjang menjadi lumpuh dalam semalam dengan aksi pembakaran, kerusuhan dan penjarahan sulit terkendali hingga menjalar ke kota lain. Kegentingan ini mengingatkanku pada kerusuhan Mei ‘98 di Jakarta, bedanya dulu penjarah memanfaatkan situasi dengan mencuri beras dan makanan karena rakyat kelaparan. Namun di London, para kriminal menjarah karena ingin memiliki ponsel baru, sepatu trendy, minyak wangi, televisi plasma hingga produk fashion terbaru lainnya. Menurut asumsiku, para pelaku umumnya berusia remaja telah termakan fantasi dan konsumerisme. Seakan terlalu sering bermain game di komputer lalu mencoba memainkannya di kehidupan nyata. Padahal mereka sudah diberi tunjangan sosial tapi merasa tidak punya uang cukup dan bosan dengan hidupnya. Cara pandang terdistorsi seperti ini membuat mereka menganggap kekacauan adalah suatu ketegangan yang menyenangkan.
Sore itu pengunjung restoran menjerit saat seekor merpati tiba-tiba tersasar masuk ke ruangan, berusaha keluar tetapi sayangnya terjebak kaca jendela. Berkali-kali menabrak kaca, si burung pun panik dan mulai kehilangan kendali. Seorang gadis gempal berusaha menangkap dengan mantelnya namun luput, merpati itu justru kembali membentur kaca lebih keras lagi. Dengan perlahan kudekati saat dia hinggap di atas pohon plastik. Sambil mengeluarkan siulan kecil, mulutku berbisik menyuruhnya untuk tenang. Pupil matanya yang bergerak liar mendadak terdiam, dibiarkan tanganku menyentuh sayapnya, sedetik kemudian dia sudah pasrah berada dalam genggamanku. Kubisikkan kata untuk segera pulang ke rumahnya karena ada yang tengah menanti dirinya disana. Hup! Burung itu terbang bebas tinggi ke angkasa diiringi tepukan tangan semua orang di restoran.
Sekolah membuat desainer menjadi pintar, bekerja membuat desainer menjadi paham, pengalaman panjang membuat desainer menjadi arif