Ilustrator yang Menjadi Rektor

oleh Indah Tjahyawulan dan Iwan Gunawan

Perkembangan pendidikan seni dari Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) ke Institut Kesenian Jakarta (IKJ) tak pernah lepas dari peran Wagiono Soenarto sebagai figur penting yang mengembangkan dan menyempurnakan bidang akademik sampai puncak karir akademiknya sebagai Rektor IKJ yang terpilih tahun 2009. Memulai kariernya sebagai pengajar di Akademi Seni Rupa LPKJ pada 1977, tempat di mana dia menyalurkan kecintaan dan kepeduliaannya terhadap pendidikan kesenian yang baginya sangat penting karena inilah potensi dasar bagi kemajuan kehidupan berbudaya dan juga penunjang berkembangnya industri kesenian di Indonesia. Dalam membenahi sistem pendidikan maupun sumber daya manusia ia lakukan dengan penuh pertimbangan dan perhitungan melalui cara penyampaian yang bijak dan hati-hati. Sikapnya itu diakui Prof. Toety Herati, “Ketika saya menjabat sebagai rektor IKJ tahun 1990, Wagiono, saat itu adalah Wakil Rektor Bidang Akademik, pernah mengingatkan saya untuk tidak melakukan perubahan yang radikal tetapi sebaiknya dilakukan dengan hati-hati”. Meskipun wataknya penuh perhitungan dan pertimbangan bukan berarti ia tak berani mengambil sikap tegas; dalam situasi dan kondisi yang dibutuhkan ia menegakkan disiplin kelembagaan antara lain yang paling penting adalah menghapuskan kegiatan Orientasi Studi Pengenalan Kampus (OSPEK) tahun 2009, sejalan dengan kebijakan pemerintah serta demi citra dan moral pendidikan di IKJ.

Setelah menyelesaikan studi Communication Design di Pratt Institute New York, Amerika tahun 1983, dia kembali ke IKJ dan mengajar di Fakultas Seni Rupa (FSR) la melihat kondisi fakultas jauh lebih baik, sedang melakukan pembenahan dalam bidang akademik Wagiono pun langsung terlibat di dalamnya dan dipercaya untuk menjadi Wakil Dekan I Bidang Akademik saat Soetomo Gandasoebrata menjadi Pejabat Sementara Dekan Fakultas Seni Rupa dan Film (1985-1987). Dalam periode ini dia mengurus pembenahan status dan jenjang pendidikan di IKJ. juga menangani masa transisi dari tidak terdaftar menjadi terdaftar di badan Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (KOPERTIS). Persyaratan yang diberlakukan oleh badan tersebut dilengkapi sesuai ketentuan dan peraturan pendidikan perguruan tinggi, yaitu menyempurnakan Kurikulum Nasional, SAP dan Silabus. Pada 1985, untuk pertama kalinya IKJ menyelenggarakan Ujian Negara gelar Sarjana Muda bagi para mahasiswa lulusan D3 dan D4. Dalam waktu yang tidak lama, sesuai dengan tuntutan masyarakat, jenjang D4 kemudian berubah menjadi jenjang pendidikan S1. Pada waktu itu Wagiono Soenarto adalah Dekan FSR-IKJ, jabatan yang diembannya selama dua periode tahun 1989-1992 dan 1992-1994 Kemudian dia terpilih sebagai Wakil Rektor I Bidang Akademik pada tahun 1994-1997. Pada periode masa jabatannya ini persoalan legalitas lulusan S1 dan D3 terus dibenahi. Terutama yang berkaitan dengan penyelenggaraan Ujian Negara sesuai dengan kebijakan dan peraturan DIKTI di bawah koordinasi KOPERTIS

Prestasi dan komitmennya dalam memajukan pendidikan di IKJ mengantarnya sampai terpilih secara aklamasi dalam Rapat Senat Institut sebagai Rektor IKJ periode 2009-2013. Dedikasi dan komitmen pada pendidikan kesenian dijalani dengan penuh tanggungjawab, seperti mengubah sistem atmosfir kinerja di FSR dan IKJ dengan melakukan penyempurnaan masalah-masalah manajemen akademik, antara lain kurikulum, jenjang akademik. administrasi akademik serta status pengajar maupun status kelembagaan. Selain itu ia juga membenahi peningkatan status bidang-bidang studi yang ada di IKJ terutama dilakukan untuk mendapatkan akreditasi dan bantuan pemerintah serta untuk memperkokoh kedudukan pendidikan IKJ yang khas ini di mata masyarakat.

Pengajar Dengan Segudang Wawasan dan Humor

Pertemuan pertama anggota tim penulis dengan Dr. Wagiono Soenarto terjadi di tahun 1989 ketika menginjak bangku kuliah di Program Studi Desain Komunikasi Visual (DKV) FSR-IKJ. Sebelumnya program studi ini bernama Desain Komunikasi Grafis. Mas Gion, begitu panggilan akrabnya di kalangan mahasiswa, merupakan salah satu dosen yang selalu bisa diajak berdiskusi di dalam dan di luar kelas, seperti dosen DKV lain, misalnya almarhum Soebhakto, almarhum S. Prinka, Priyanto Soenarto, FX. Harsono, Tatang Ramadhan Bouqie, maupun Siti Turmini Kusniah. Dengan para dosen itu, proses belajar tanpa dibatasi waktu dan bila ada peluang mereka selalu mengajak para mahasiswa dan asisten dosen turut serta dalam pekerjaan yang sebenarnya. Berbagai tugas yang dipercayakan pada mahasiswa, mulai dari pekerjaan yang sifatnya hanya membantu penyelenggaraan acara kampus hingga pekerjaan membuat desain dalam lingkup internasional. Secara tidak disadari proses bekerja itulah yang melengkapi perkuliahan formal mahasiswa. Dari proses belajar dan praktik itu maka mahasiswanya semakin mengenal dia sebagai seorang pendidik, sekaligus seorang praktisi desain grafis profesional.

Jika sedang mengajar, gaya bicaranya tidak membosankan dan ditambah dengan segudang humor membuat para mahasiswanya tidak mengantuk. Di kemudian hari beberapa mahasiswanya menjadi koleganya baik sebagai pendidik maupun dalam dunia profesi desain grafis. Wagiono membawa pekerjaan dunia profesi yang sebenarnya ke dalam kampus, dan sebaliknya, dia juga mengajak mahasiswa dan dosen untuk bekerja secara profesional di luar kampus. Cara yang dipilihnya ini memberikan warna khusus pada sistem pendidikan seni rupa terutama program studi desain grafis FSR-IKJ.

Pak Ooq, Guru Gambarnya yang Pertama

Walau lahir di Bandung pada 20 Mei 1949, masa kecilnya dihabiskan di Jakarta, tepatnya di kawasan Lapangan Banteng. Di kawasan tersebut ia bermain dan mengembangkan dirinya, termasuk mulai belajar menggambar. Perhatiannya terhadap masalah masalah seni rupa memang sudah dimulainya sejak masih kecil. Wagiono sekeluarga, termasuk kakaknya, Priyanto Soenarto (Mas Pri), senang menggambar. Menggambar untuk dia merupakan media untuk bercerita. Biasanya sehabis nonton film pasti adegan adegan dalam film langsung di gambarnya. Misalnya Indian dengan koboi, Belanda dengan gerilyawan, dan lain-lain. Jadi keinginan belajar menggambar memang muncul dari diri sendiri tanpa paksaan. Maka dari itu ketika duduk di bangku SMP, ia dan Mas Pri belajar menggambar pada Pak Ooq. Di sanggar lukis itu keduanya disatukan bersama orang-orang dewasa yang sebagian sudah menjadi pelukis, illustrator, pekerja periklanan atau pelukis komik terkenal.

Cara belajar menggambar yang diajarkan Pak Ooq tanpa menggunakan metode yang khusus, baik anak anak maupun orang dewasa, semua dicampur dalam satu kelas, dalam membuat sketsa dan menggambar potret atau model. Peserta didik meniru bagaimana cara Pak Ooq melukis model dan potret dengan cat minyak. Terkadang mereka diajak menggambar pemandangan di luar sanggar Karena Pak Oog juga seorang kartunis, maka mereka acap kali membuat kartun. Sesekali Pak Ooq mengajak Wagiono dan teman-teman ke TVRI Pusat Jakarta untuk ikut shooting sebagai peserta dalam acara menggambar yang diasuh Pak Ooq.

Sekitar dua tahun dia belajar menggambar dengan Pak Ooq dan banyak mendapatkan pengalaman baru, seperti jalan-jalan mengunjungi tempat-tempat dan lingkungan yang baru. Suasana belajar itu sangat menyenangkan karena bertemu dengan banyak orang. Ingatan Wagiono tentang Pak Oog selain proses pengajarannya yang menyenangkan, juga sosok pribadinya yang memiliki passion akan pekerjaan mengajar sehingga proses belajar di situ selalu menyenangkan bagi murid-muridnya. Masa belajar melukis berhenti setelah Pak Ooq pindah rumah dari kawasan lapangan Monas dekat Istana Presiden ke Kebayoran Baru. Rupanya pengalaman belajar di sanggar Pak Doq menjadi salah satu tonggak yang menopang pembentukan Wagiono terhadap dunia seni rupa sekaligus membuka wawasannya tentang pendidikan dan seni rupa dan pengajaran seni rupa.

Departemen Seni Rupa Bukan Pilihan Utama

Pada saat duduk di bangku SMA Kanisius, Jakarta, Wagiono terus melakukan kegiatan menggambar dengan mengerjakan ilustrasi-ilustrasi untuk majalah sekolahnya. Pernah bercita-cita menjadi dokter hewan, kemudian berubah ke dunia arsitektur gara-gara terkesan melihat gambar bangunan karya seorang mahasiswa arsitek Institut Teknologi Bandung (ITB); hanya dengan garis-garis yang kasar, ia sudah dapat menangkap kesan ruang dan bentuk dari bangunan Gedung Sate Bandung.

Pada saat itu untuk menjadi seorang arsitek, masih dituntut penguasaan gambar yang baik. Kebetulan kakak ibunya adalah seorang arsitek yang pernah belajar pada Karsten, arsitek Belanda. Akhirnya, Wagiono memutuskan untuk memilih arsitektur dalam ujian masuk ITB. Tadinya pilihan kedua adalah Departemen Planologi, tapi setelah diperingatkan oleh Mas Pri, kakaknya yang sudah lebih dulu diterima di Departemen Seni Rupa ITB, bahwa Departemen Planologi lebih sulit untuk ditembus, maka Wagiono akhirnya memilih Departemen Seni Rupa sebagai pilihan keduanya.

Di tahun 1965, kegiatan perkuliahan tidaklah lancar. Kegiatan demonstrasi menentang pemerintahan

terjadi hampir di semua perguruan tinggi di Indonesia, termasuk ITB. Mas Pri yang masuk Departemen Seni Rupa ITB di tahun 1965 harus memperpanjang masa kuliahnya dengan tambahan waktu dua tahun. Sementara itu, Wagiono masuk kuliah di tahun 1970 padahal seharusnya ia masuk sebagai angkatan 1968. Hal itu merupakan akibat dari tidak naik kelas sekali di SMP dan sekali di SMA. Ketika di SMA ia sengaja mengulang kelas dengan niat agar bisa pindah dari Nusan budaya ke jurusan ilmu pasti dan pengetahuan alam agar terpenuhi syarat untuk mendaftar di Departemen Arsitektur Setelah belajar pada Departemen Seni Rupa dan membandingkan dengan pelajaran kawan di Arsitektur, dia memutuskan untuk belajar di Seni Rupa yang banyak memiliki eksperimen kreatifnya. 

Pada 1969, Wagiono masuk ITB di Departemen Seni Rupa. Waktu itu acara yang terkenal adalah Pasar Seni ITB, yang sampai saat ini sudah menjadi tradisi setiap tahun. Diadakan pertama kali di tahun 1974, konsep tentang Pasar Seni digagas oleh Keluarga Mahasiswa Seni Rupa (KMSR) ITB. Saat itu Wagiono sebagai mahasiswa senior bersama dengan Jim Supangkat, Djodjo Gozali, Bambang Prasetyo dan lain-lain menjadi penggagas konsep Pasar Seni tersebut. Gagasan dari Pasar Seni adalah untuk menjual karya seni dengan harga yang terjangkau dan yang dijual adalah barang barang yang lucu dan unik. Barang-barang seni karya dari seniman terkenal di sini dijual dengan harga murah sehingga menjadi peluang bagi masyarakat umum untuk mendapatkan karya seniman terkenal.

Tahun 1970-an nama Wagiono turut melejit di dunia seni rupa sebagai salah satu pentolan Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia yang dimotori oleh Jim Supangkat, FX. Harsono, Hardi, Bonyong dan lain lain. Belakangan disadari peran kelompok ini sangat signifikan sebagai pendorong perubahan dan perkembangan seni rupa di negeri ini. Tahun pertama masuk Jurusan Grafis ITB, pada masa itu belum dikenal istilah desain grafis’, yang dikenal adalah ‘seni komersial’’ atau commercial art. Sebutan ‘komersil’ di sini adalah karya-karya seni yang diciptakan untuk keperluan produk atau media-media lain yang sering kita jumpai dalam kegiatan sehari-hari, seperti iklan, poster, booklet. catalog, brochure, leaflet, logo, kemasan, majalah, koran, buku, lembar uang, perangko, karcis, label, kartu, kalender, marka grafis dan sebagainya. Oleh karena pengertian ‘seni komersil’ tidak berkonotasi merendahkan nilai, melainkan hanya sekedar sebutan saja karena memang memiliki sifat demikian. Bidang yang dipelajari adalah ilustrasi dan hal-hal yang berkaitan dengan iklan dan rancangannya. Kekuatan dari seni komersil ini adalah pemahaman tentang huruf (tipografi, pemahaman tentang komunikasi. dalam bahasa visual. Pengetahuan fotografi baru diperkenalkan kemudian. Suyadi, yang luas dikenal sebagai pencipta film kartun Si Unyil dan Pak Raden adalah pelopor perkembangan seni komersil ini, salah satu dosen Wagiono yang memberikan dasar-dasar tentang ilustrasi naratif dan animasi.

Pokok-pokok ajaran yang terkait dengan seni grafis terapan seperti rancangan iklan, poster, label, etiket dan lain-lain diajarkan bersamaan dengan materi seni grafis murni. Baru pada tahun kedua, setelah Prof. A.D. Pirous kembali dari Amerika Serikat, dibuka pilihan selain Seni Grafis, yaitu Desain Grafis. Wagiono tetap memilih Seni Grafis bersama S Prinka, mengingat Priyanto (kakaknya dan kawannya Indra Abidin, dan Markus dari angkatan 1965 adalah lulusan desain grafis pertama dari ITB, inilah yang memberi motivasi untuk memilih bidang studi tersebut.

Setelah Wagiono selesai mengambil seluruh perkuliahan, ia harus melakukan sidang Tugas Akhir. Ketika itu ketentuannya mahasiswa tidak saja harus membuat karya tapi juga harus membuat skripsi. Setelah menyelesaikan Tugas Karya Akhir sambil mempersiapkan skripsi, Wagiono mengambil cuti dan bekerja di Fortune Advertising, mengikuti Indra Abidin, kakak kelasnya yang mengepalai divisi kreatif di sana. Ketika itu Fortune masih merupakan biro iklan milik Australia.

Keterlibatan Dalam Organisasi Profesi

Menggambar merupakan media bercerita, Wagiono juga mengembangkan bakat menggambarnya ke dalam film animasi. Sejak 1975, ia menjabat sebagai animator dan animation designer di Anima Indah Jakarta, Kemudian, ia masih terus melanjutkan profesi ini di perusahaan Pasutama Indah Jakarta sejak 1977 hingga 1978, dan di Nusa Anima Film pada tahun 1978 hingga 1979. Karya pertama yang disutradarainya adalah film animasi berjudul Rimba si Anak Angkasa, selesai pada 1980-an, merupakan hasil kolaborasi beberapa animator dan YKAI. Sayangnya, walaupun film ini sudah selesai, belum pernah ditayangkan ke publik. Kenyataan ini tidak mengurangi minatnya di dunia animasi bahkan terus berlanjut hingga kemudian ia mendirikan dan terpilih menjadi ketua di Asosiasi Animasi Indonesia (Animal) dari tahun 1994 hingga 1998. Sampai saat ini Wagiono masih berkeinginan untuk berbuat sesuatu pada dunia animasi Indonesia yang belum berkembang secara baik sebagai suatu potensi industri. Seperti terobsesi, hingga hari ini, ia masih berniat untuk membuat lagi film animasi Indonesia yang bagus,

Di sisi lain, dunia desain grafis juga terus dilakoninya. Pada 1980, beberapa perancang grafis berkumpul di Jakarta dan bersepakat untuk membuat suatu organisasi perancang grafis Indonesia. Mereka merasakan perlunya wadah untuk menggalang kekuatan dan menyatakan eksistensi mereka. Tujuan dari ikatan ini awalnya adalah agar masyarakat menjadi lebih apresiatif terhadap karya-karya desain grafis. Pada tahap penyusunan struktur organisasi di bulan April, terpilihlah Wagiono sebagai Ketua Ikatan Perancang Grafis Indonesia (IPGI) yang pertama.

Kegiatan IPGI yang pertama adalah mengadakan suatu pameran di Wisma Seni Mitra Budaya, Jalan Tanjung 34 Jakarta berjudul Grafis ’80. Pameran ini sangat mengundang keingintahuan publik karena saat itu benda-benda grafis merupakan hal yang belum biasa dijadikan sebagai objek pamer. Benda benda grafis perlahan-lahan mulai diangkat dalam pemahaman sebagai karya seni, bukan sekedar alat untuk kepentingan komersial semata. Wacana tersebut terus digulirkan hingga kemudian IPGI bersama Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menggelar pameran kedua di Galeri Utama TIM bertajuk Grafis ’83. Inilah pameran pertama tentang dunia seni grafis, pameran seni terapan, diselenggarakan di TIM setelah 15 tahun menjalankan fungsinya sebagai pusat kesenian Jakarta. Setelah pameran yang pertama di Mitra Budaya, Wagiono mendapat kesempatan untuk melanjutkan studinya di bidang Communication Design di Pratt Institute, New York (1981-1983), Amerika.

Selama ia absen, posisi Ketua IPGI dipegang oleh Karnadi. Kembalinya dari New York, jabatan tersebut ia pegang kembali. Pada 1987, ia mewakili IPGI mengikuti kongres Icograda, suatu organisasi internasional untuk asosiasi-asosiasi desain grafis, di Amsterdam, Belanda, sekaligus menandai masuknya IPGI sebagai anggota Icograda.

Baginya, dunia rancang grafis adalah bagian dari berkarya seni, walau dia menyadari semangat berkarya di dunia seni terapan adalah suatu proses berkarya yang juga harus membagi perannya sebagai seorang anggota tim yang mengarahkan karya menjadi suatu bentuk komunikasi visual yang efektif. Untuk mencapai kedua-duanya, dibutuhkan suatu keseimbangan sikap. “Suatu semangat inovasi dan kebebasan imajinasi tetap penting dan perlu mendapat tempat utama dalam proses penciptaan komunikasi grafis,” ujarnya. Wagiono berharap agar di masa datang IPGI dapat menjadi organisasi yang efektif di dalam menghadapi berbagai permasalahan desain. Perlu penghargaan pada desain serta desainer grafis di Indonesia, dan kita, pada suatu saat harus bisa mengangkat wajah desain Indonesia menjadi salah satu kekuatan kreatif yang berdaya saing dan diperhitungkan di dunia internasional.

Pengajar di Akademi Seni Rupa LPKJ

Selain bekerja sebagai praktisi desain grafis, Wagiono juga mendedikasikan lebih dari separuh usianya untuk dunia pendidikan. Karir mengajar dimulai pada 1978 sampai 1981 di Universitas Trisakti sebagai dosen Ilustrasi dan Desain Grafis. Atas ajakan S. Prinka (almarhum), kakak kelasnya di FSRD-ITB, pada 1977 ia mengajar di LPKJ. Pada waktu dia mulai mengajar semua mahasiswa yang mengambil jurusan desain memperoleh pendidikan desain di bidang tata ruang, tekstil, lettering, ilustrasi dan desain grafis. Studio Seni Grafis ketika itu dipimpin Kaboel Suadi kemudian meminta S. Prinka mempersiapkan dibukanya Program Desain Grafis pada 1976. Namun baru setahun kemudian, tepatnya pada 1977, bidang studi desain grafis terbentuk yang dipelopori oleh S. Prinka dan Wagiono, kemudian pada 1978, Priyanto bergabung memperkuat barisan pelopor yang mengembangkan studio ini hingga mencapai bentuknya seperti sekarang ini.

Perjalanan karir akademik Wagiono dimulai pada saat LPKJ bertransformasi menjadi institut pada 1982, yaitu dipercaya sebagai Ketua Studio Desain Grafis (1983-1985). Dalam perubahan ini, Wagiono kemudian dipercaya sebagai Pembantu Dekan I (1985-1988) di Fakultas Seni Rupa dan Film, di mana jabatan Dekan saat itu adalah Soetomo Gandasubrata (almarhum). Ketika Fakultas Film dan Televisi dan Fakultas Seni Rupa masing-masing berdiri sendiri, kemudian Wagiono terpilih menjadi Dekan FSR-IKJ selama dua periode, yaitu pada periode 1989-1992 dan 1992-1994.

Salah satu keunikan yang terdapat di FSR-IKJ adalah semangat kebersamaan dalam membangun kualitas pendidikan yang bersandar pada dedikasi dan loyalitas daripada hierarki jabatan. Atmosfer inilah yang membuat dia menerima jabatan ketika terpilih sebagai Ketua Jurusan Desain, di mana secara hierarki organisasi merupakan posisi yang lebih rendah dari Dekan, untuk periode 1994-1997, namun bagi Wagiono hal tersebut bukan merupakan hal yang perlu dipermasalahkan.

Pengalaman di bidang akademik dan keprofesian desain membuat Wagiono memiliki wawasan dan visi yang lengkap dalam bidang desain. Saat itu, antara tahun 1980 hingga 1990-an, pendidikan desain grafis belum sebanyak sekarang, sementara industri sudah menuntut akan pemenuhan kebutuhan tenaga di bidang desain grafis melebihi lulusan institusi pendidikan desain grafis yang formal. Ketika mengomentari masalah ini, Wagiono dalam Simposium Desain Grafis di ISI Yogya tahun 1989 menyatakan bahwa, “Perancang grafis yang bekerja di Indonesia mempunyai latar belakang pendidikan yang sangat beragam. Selain pendidikan tinggi negeri dan swasta, banyak desainer yang tidak dari jalur desain dan banyak lagi yang mengandalkan pengalaman kerja. Memang, di lapangan terlihat bahwa pendidikan tinggi bukan merupakan jaminan mutu desainer karena dalam kenyataannya banyak desainer yang tidak memiliki latar belakang pendidikan formal di bidang ini atau di bidang lain bisa berhasil dalam profesinya sebagai perancang grafis. Masalahnya, adalah bila diperlukan suatu standar profesi yang baku seperti yang ada pada dokter atau insinyur, maka latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja merupakan suatu tolok ukur yang perlu dan harus ditata dengan jelas.”

Menurut Wagiono, di beberapa negara standar profesi terjadi melalui suatu hukum ekonomi yaitu desainer atau illustrator yang sedang laris boleh menentukan standar. Perangkat tata aturan hubungan kerja yang ada hanya memformalkan hukum ini, dan bukan sebaliknya. Wawasan dari kedua sisi, keprofesian dan akademik, membentuk cara Wagiono memberikan pengajaran. Menurut Siti Turmini Kusniah, mahasiswa tahun 1975, Wagiono merupakan pengajar yang memiliki pengetahuan sangat luas dan sangat sistematis dalam berpikir, “Pada setiap proses pembelajaran dia selalu memberikan pembahasan contoh-contoh kasus sebagai materi perkuliahan. Semua materi perkuliahan terencana dengan rapi, tapi di sisi lain juga sanggup mendelegasikan tanggung jawab kepada asistennya untuk memberikan perkuliahan atau pun pekerjaan, dengan syarat bahwa semua harus terencana,” ujar Siti Turmini yang kemudian pada 1979 menjadi koleganya mengajar di Desain Grafis. Lebih lanjut dikatakan bahwa Wagiono sangat cerdik dalam melakukan strategi dan “bernegosiasi” untuk memenuhi tuntutan klien terhadap desain namun tetap mempertahankan kaidah desain yang baik. Sementara sikap tegas, serius dan jarang tertawa kadang memberi imej tersendiri tentang dirinya, yaitu dikenal sebagai pengajar yang disegani dan ditakuti.

Itulah kesan yang didapat dari salah seorang mantan mahasiswanya, tentunya impresi tersebut akan hilang bila kita mengenal Wagiono lebih jauh. Seperti telah disinggung di depan, bahwa Wagiono merupakan pengajar yang senang humor dan hal tersebut dibuktikan dengan koleksi humornya yang segudang yang siap dilemparkan pada saat mengajar, rapat dinas, maupun santai. Selain itu, Wagiono juga mempunyai sikap positif yaitu senang berkumpul dengan para mahasiswa di luar perkuliahan. Dalam suasana seperti itu, para mahasiswa bisa bebas bertukar pikiran, hingga melihat sifat-sifat asli para pengajar yang tidak nampak waktu mengajar di ruang kuliah.

Walau waktu dan perhatiannya dicurahkan pada pendidikan, ia sempat mengelola sebuah graphic house, khususnya dalam bidang konsultan desain. Hal positif yang diterapkan Wagiono adalah selain mengembangkan graphic house, juga membina hubungan dengan berbagai pihak yang akan membawa manfaat bagi pendidikan seni di IKJ.

Berbagai kegiatan-kegiatan proyek yang pernah ditangani baik dalam tingkat nasional maupun internasional antara lain, rancangan untuk Pameran Anjungan Provinsi DKI Jakarta, Jakarta Fair, rancangan desain grafis dan pameran Art and Craft, Pavilion Indonesia, EXPO 2000, Hannover, Jerman, rancangan untuk pameran, Pavilion Indonesia, Indonesia Solo Exhibition, Sharjah Arab dan rancangan untuk pameran pavilion Indonesia, EXPO 2008, Saragoza, Spanyol. Selain itu Wagiono juga dikenal sebagai konsultan desain untuk museum, beberapa rancangan desain yang pernah ditangani. antara lain rancangan untuk display Pameran Museum Jakarta, TMII, rancangan untuk display pameran di Museum Konferensi Asia-Afrika, Bandung. Jawa Barat dan rancangan untuk display Pameran Museum Provinsi Sumatera Utara.

Puncak Karir Akademik

Ketika Ir. Adhi Moersid terpilih menjadi Rektor IKJ, Wagiono diberi tugas mendampingi beliau sebagai Wakil Rektor Bidang Akademik (Bidang I) tahun 1994 1997. Setelah masa jabatan Ir. Adhi Moersid selesai. terjadi kekosongan pimpinan (Rektor) di IKJ sehingga dalam keputusan Senat Institut disepakati bahwa untuk sementara pimpinan tertinggi di IKJ dijalankan dalam bentuk Rektorium dan Wagiono terpilih sebagai Ketua Rektorium periode 1997-1998; dengan anggotanya Dekan FSR-IKJ, Dolorosa Sinaga, Dekan Fakultas Film dan Televisi (FFTV) IKJ, Hartanto, dan Dekan Fakultas Seni Pertunjukkan (FSP) IKJ, Deddy Luthan. Jabatan Pembantu Rektor I kembali diterimanya ketika Pemerintah DKI Jakarta, karena kekosongan posisi pimpinan IKJ, menunjuk Kepala Dinas Kebudayaan sebagai pejabat Rektor IKJ periode 1999 – 2003.

Di tengah kesibukannya sebagai konsultan desain dan memegang jabatan akademik, Wagiono masih menyempatkan waktu mengambil program Doktoral (S3) di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia dan berhasil meraih gelar Doktor pada tahun 2008 dengan judul disertasi Pemitosan dan Perombakan Soekarno dan ideologinya dalam Karikatur Politik di Surat Kabar Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin hingga akhir kekuasaan Presiden Soekarno (1959-1967).

Melihat perjalanan karirnya yang cemerlang baik di tingkat Fakultas dan Institut, sudah sepantasnyalah bila pada 2009, melalui pemilihan Rapat Senat Institut, Wagiono terpilih sebagai Rektor IKJ menggantikan Sardono W. Kusumo. Sebelum menjabat sebagai Rektor, dalam masa kepemimpinan, selain sebagai Wakil Rektor bidang Akademik, Wagiono juga dipercaya sebagai penanggung jawab persiapan pendirian Program Pascasarjana IKJ dan kemudian sempat menjabat sebagai Direktur Pascasarjana IKJ selama dua tahun.

Berbagai kebijakan yang diterapkan Wagiono sebagai Rektor IKJ memang dapat dikatakan sangat positif dan konstruktif, salah satunya adalah masalah pelarangan kegiatan Penerimaan Mahasiswa Baru atau lebih dikenal dengan OSPEK. Setiap tahun kegiatan OSPEK di IKJ sangat sulit dihilangkan dan Rektor IKJ harus mengatasi kritik dan komentar termasuk juga gugatan dari orang tua murid dan masyarakat. Oleh karena itu berdasarkan semua pengalaman yang telah dilalui, semua pimpinan di tingkat Fakultas dengan pendekatan aspiratif dan pedagogis mendukung tugas dan tanggung jawab Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Subarkah Hadisarjan, bersama Dewan Mahasiswa untuk mengatasi kegiatan OSPEK. Melalui kesepakatan dan koordinasi yang matang, maka kegiatan OSPEK tahun 2009 ditiadakan yaitu melalui Surat Keputusan Rektor IKJ.

Kebijakan menghapuskan kegiatan OSPEK memang bukan hal yang mudah karena dampak dari kebijakan tersebut adalah munculnya sikap protes yang dilakukan sejumlah mahasiswa. Namun dengan tegas Wagiono memberi sanksi skorsing kepada semua mahasiswa IKJ yang terlibat kepanitiaan OSPEK. Pemberian sanksi skorsing berdasarkan rekomendasi dari masing-masing pimpinan Fakultas dan mendapat dukungan dari Senat Fakultas dan Institut.

Kebijakan ini setidaknya memperlihatkan kepedulian Wagiono akan masa depan IKJ, yang dalam sejarah perjalanan pendidikannya telah menuai lembaran hitam akibat dampak kegiatan OSPEK yang dinilai tidak bermanfaat bahkan sudah mencoreng citranya sebagai perguruan tinggi kesenian yang seharusnya mendorong kemajuan masyarakat di bidang kehidupan berbudaya. Untuk itulah dia menegakkan disiplin lembaga, mendudukan moral pendidikan tinggi pada tempatnya, serta menghimbau agar seluruh civitas akademis melihat dan memahami kebijakan ini bagi kemajuan dan citra IKJ di mata masyarakat luas.

Itulah figur Wagiono, yang memulai karir sebagai seorang Ilustrator kemudian mencapai puncak karir sebagai seorang Rektor IKJ. Wagiono memang sosok yang simpati, humoris, penuh pertimbangan dan perencanaan, namun bukan berarti tidak berani mengambil tindakan tegas karena Wagiono mengetahui dengan baik kapan dan bagaimana saatnya disiplin dan peraturan sebuah Perguruan Tinggi harus ditegakkan dan Wagiono telah menunjukkannya.

Buku 19 Tokoh Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta 1970-2010

  • Pengembang program studio desain grafis
  • Dekan FSR IKJ (1989-1994) 
  • Direktur Pasca Sarjana (2007-2009) 
  • Rektor IKJ (2009-2013) 
Quoted

“Keberhasilan merancang logo banyak dikaitkan sebagai misteri, intuisi, bakat alami, “hoki” bahkan wangsit hingga fengshui. Tetapi saya pribadi percaya campur tangan Tuhan dalam pekerjaan tangan kita sebagai desainer adalah misteri yang layak menjadi renungan.”

Henricus Kusbiantoro