Kebudayaan, Kekuasaan, dan Krisis

Pidato Kebudayaan Awal Tahun 2008

“Kebudayaan, Kekuasaan & Krisis”
oleh: Dr. Abdul Hadi WM

pada Rabu, 9 Januari 2008
Pukul 18.30 s/d 21.00
Auditorium Nurcholish Madjid – Universitas Paramadina
Jl. Gatot Subroto Kav. 97
Jakarta 12790

 


 

KEBUDAYAAN, KEKUASAAN DAN KRISIS

Kita – anjing diburu – hanya melihat sebagian dari sandiwara sekarang
Tidak tahu Romeo dan Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang
(Chairil Anwar)

Aku pernah mendengar agar dunia dibiarkan menentukan jalannya sendiri
Tetapi tidak pernah mendengar dunia berhasil diperintah dengan paksa
(Chuang Tze)

 

I

Krisis kebudayaan telah lama melanda kehidupan bangsa kita. Tanda-tandanya tampak terutama dalam merosotnya nilai dan pemujaan berlebihan di kalangan luas masyarakat terhadap hal-hal yang bersifat fisik dan material. Oleh karena itu, seperti krisis-krisis lainnya, sepatutnya ia dijadikan pekerjaan rumah oleh kita untuk dibahas dan dipecahkan bersama-sama. Memang, persoalan yang berkaitan dengan kebudayaan tampak kurang menarik dan aktual dibanding persoalan yang menyangkut kehidupan ekonomi atau politik. Tetapi harus diakui pula krisis yang terjadi dalam bidang-bidang tersebut sangat terkait dengan krisis yang berlaku di lapangan kebudayaan, maka membicarakan krisis kebudayaan menjadi tidak kurang penting dan mendesak.

Tetapi ada beberapa kesukaran yang tidak dijumpai dalam persoalan ekonomi atau politik apabila kita berbicara tentang kebudayaan. Pertama, bertalian dengan definisinya yang aneka ragam, yang tidak sedikit pula di antaranya saling bertentangan. Memilih yang satu, dengan pendekatan tertentu dan perspektif tertentu, bisa jadi mengaburkan pengertian yang lain. Padahal bukan itu maksudnya. Kedua, tidak jarang arti kebudayaan dipersempit, sehingga wilayah bahasan menjadi sempit pula. Pendekatan birokratis misalnya berpendirian bahwa yang disebut kebudayaan ialah adat istiadat dan kesenian semata-mata. Ketiga, adanya kelaziman untuk menyebut kebiasaan apa saja yang marak berkembang dalam masyarakat sebagai ‘budaya’, sekalipun kebiasaan tersebut merupakan pengingkaran terhadap kebudayaan dan nilai-nilai yang ingin dikembangkan oleh suatu kebudayaan. Misalnya kelaziman menyebut budaya korupsi, budaya kekerasan, budaya nyontek, budaya ngamen, dan lain sebagainya.

Dalam konteks negara kita pula persoalan kebudayaan jauh lebih pelik dan rumit. Banyak sekali persoalan yang rentan bagi timbulnya konflik dan menjadi benih disintegrasi, kita biarkan tanpa pemecahan secara kultural. Sampai sekarang belum mampu menghentikan kebiasaan membuat dikotomi seperti dikotomi kebudayaan modern dan tradisional, kebudayaan nasional dan daerah, kosmopolitanisme dan primordialisme, nasionalitas dan etnisitas, Islam dan nasionalis, Jawa dan Luar Jawa, dan lain sebagainya. Demikian pula jika kita perhatikan teks-teks kenegaraan kita yang berkaitan dengan persoalan kebudayaan atau sosial budaya. Di situ kita jumpai tidak jarang hal-hal yang kontradiktif dan jika ditafsirkan keliru bisa menimbulkan banyak permasalahan.

Pembukaan UUD 45 menyebutkan bahwa tujuan didirikannya NKRI, selain mempertahankan bangsa dan tanah air, ialah ”meningkatkan kesejahteraan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam perdamaian dunia yang abadi dan berkeadilan”. Jika disimak secara keseluruhan, akan jelas bahwa semangat yang melatari penyusunan Pembukaan UUD 45 itu ialah kosmopolitanisme, bukan primordialisme, universalisme bukan partikularisme, nasionalitas bukan etnisitas. Ini dapat dirujuk kepada sila-sila dalam Pancasila yang dipandang sebagai dasar atau ideologi negara kita.

Jika kita bertolak dari kalimat-kalimat yang tercantum dalam Pembukaan UUD 45 ini jelas sekali, bahwa bangsa yang kita cita-citakan ialah: pertama, religius, humanis, bersatu, demokratis dan berkeadilan sosial, dengan tetap mengakui kenyataan anthropologis bangsa kita yang multi-etnik, multi-budaya, dan multi-agama, seperti dinyatakan dalam semboyan negara ”Bhineka Tunggal Ika”. Semboyan bhineka tunggal ika ini jelas tidak sama pengertiannya dengan multikulturalisme, karena kemajemukan di dalam semboyan negara kita dibingkai oleh semangat persatuan atau nasionalisme; kedua, konsekwensinya ada keharusan melanjutkan proses membentuk kehidupan sosial budaya yang maju dan kreatif, dengan sikap budaya yang komospolitan dan pluralistik; ketiga, memiliki tatanan sosial politik yang demokratis; keempat, dengan struktur sosial ekonomi berkeadilan.

Tetapi pasal 32 UUD 45 menyebutkan bahwa ”Kebudayaan nasional adalah puncak-puncak kebudayaan daerah”. Dalam kenyataan, kebudayaan daerah tidak pernah mendapat perhatian serius dari pemerintah sehingga banyak bentuk ekspresinya yang unggul mulai punah. Kata ’puncak’ juga sering diartikan sebagai monumen atau bentuk ekspresi yang jelas di hadapan mata seperti candi Borobudur, Prambanan, Wayang Kulit, Tari Bali, dan lain- lain. Atau benda-benda budaya yang tampak seperti clurit, badik, koteka, dan lain sebagainya. Bentuk-bentuk ekspresi intelektual seperti pemikiran filsafat dan keagamaan, wacana ilmiah, kesusastraan, dan lain-lain luput dari perhatian. Dalam hal ini yang beruntung adalah kebudayaan Jawa dan Bali, sedangkan kebudayaan Melayu yang puncak-puncaknya dijumpai dalam kesusastraan, luput dari perhatian. Sementara kebudayaan daerah mulai punah, kebudayaan nasional yang dicita-citakan sejak tercetusnya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 tidak kunjung menemukan bentuknya.

Akan tetapi oleh karena persatuan dan kesatuan, seperti tercantum dalam Pancasila, diartikan sebagai penyeragaman dan keseragaman maka muncullah belakangan ini sejumlah gejala seperti pembentukan kebudayaan nasional bahkan nasionalitas. Di antara gejala itu ialah menguatnya etnisitas di beberapa daerah, yang di antaranya mengambil bentuk semacam etno-nasionalisme. Di daerah lain memunculkan primordialisme dalam arti mempertahankan jati diri etnis, padahal faktor pendorongnya adalah masalah politik dan ekonomi. Tuntutan primordialisme juga tampil dalam bentuk perjuangan masyarakat adat untuk memperoleh perlindungan bagi hak masyarakat bersangkutan yang hilang akibat eksploitasi sumber alam secara besar-besaran. Kelak perjuangan ini bisa berubah menjadi penentangan terhadap kapitalisme yang serakah. Satu lagi fenomena yang telah lama diketahui ialah penolakan terhadap budaya dominan dari kelompok etnik mayoritas, yaitu Jawa.

Semua ini – karena berhubungan masalah ekonomi dan politik – merupakan akibat dari kebijakan pemerintah yang sentralistik, otoriter dan hegemonik yang memaksakan struktur yang dikehendakinya dalam hampir semua sektor kehidupan. Ucapan Chuang Tze yang dikutip pada awal tulisan ini berkaitan dengan masalah ini.

 

II

Kini bagaimana sepatutnya kita memberikan arti terhadap kebudayaan? Pendekatan apa yang harus digunakan? Bagaimana pula meletakkan persoalannya dalam hubungannya dengan negara dan kekuasaan? Agar terhindar dari pemaparan secara ensiklopedis saya memilih tidak menggunakan pendekatan anthropologis dan ilmu positivistik lain. Tetapi dari gabungan dari pendekatan historis, filosofis, dan ideologis. Bertolak dari gabungan tiga pendekatan itu, kita dapat menentukan setidak-tidaknya ada tiga hal yang harus diberi perhatian jika kita berbicara tentang kebudayaan dan kaitannya dengan kekuasaan.

Pertama, kebudayaan dalam arti yang genuine tidak pernah dikaitkan dengan orang perorang, kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat seperti golongan politik, organisasi kepemudaan dan olahraga, komunitas penganut sekte atau madzab agama tertentu. Kebudayaan selalu dikaitkan dengan masyarakat dalam artian luas, dan lebih luas lagi dengan bangsa. Bertitik tolak dari kategori seperti itu maka orang menyebut kebudayaan Cina, Jepang, Jerman, Arab, Iran, Jawa, dan lain sebagainya.

Karena terkait dengan bangsa, dan lebih khusus lagi dengan civil society sebagaimana disarankan dalam Pembukaan UUD 45, maka negara mempunyai tanggungjawab terhadap perkembangan kebudayaan. Namun dengan mengandaikan ketakhadiran politik praktis, sebab politik sarat dengan muatan kepentingan perorangan atau kelompok, dan sering pula politik menjadi subordinasi kepentingan ekonomi. Sedangkan kebudayaan, hanya bisa berkembang dalam suasana kebersamaan dan merupakan tanggungjawab bersama pula. Penjelasan tentang ini dapat dijumpai dalam pemikiran Rosseau dan Ibn Khaldun.

Kedua, apa yang disebut kebudayaan ialah kegiatan atau gerak hidup masyarakat yang bertentangan dengan suatu kegiatan yang bersifat komersial, karena tujuan kebudayaan ialah untuk mengangkat martabat suatu bangsa dengan meninggikan kecerdasan, kebajikan, dan kreativitasnya. Jika kegiatan komersial dimaksudkan untuk meraih keuntungan material sebesar-besarnya, kebudayaan dimaksud untuk meningkatkan mutu kehidupan spiritual dan kondisi kemanusiaannya. Komersialiasi lebih kerap menyebabkan terjadinya proses pendangkalan budaya dan dekadensi. Bahkan kini menjadi salah satu penyebab krisis kebudayaan.

Ini tidak berarti faktor ekonomi, tidak memainkan peranan penting dalam perkembangan kebudayaan. Allan Bloom (1987) memberi contoh bahwa yang dimaksud kebudayaan dalam pengertian ini dapat dirujuk pada bentuk-bentuk musik, seni rupa, kesusastraan, televisi pendidikan, jenis-jenis tayangan tertentu di TV, adat istiadat, upacara keagamaan tertentu, yang memiliki nilai estetik, pesan moral dan keruhanian.

Ketiga, kebudayaan senantiasa mengandaikan adanya keberakaran. Ini menunjuk pada segala bentuk kegiatan, pola dan gaya hidup, serta perilaku masyarakat yang berakar kuat dalam pandangan hidup (way of life), sistem nilai, dan gambaran dunia (Weltanschauung) yang telah berkembang lama dalam masyarakat bersangkutan dan menyatu dengan jiwa masyarakat. Di sini kebudayaan disamakan dengan tradisi, tetapi bukan tradisi dalam arti sebagai sesuatu yang harus dipertentangkan dengan modernitas.

Dalam kaitan ini Yukichi Fukuzawa, pemikir Jepang akhir abad ke-19 yang wafat pada awal abad ke-20, benar ketika mengatakan bahwa kebudayaan merupakan jiwa peradaban. Jiwa suatu bangsa katanya, tidak dapat ditransfer begitu saja kepada bangsa lain, sebab ia (sebagai budaya atau kebudayaan) dibentuk secara berkelanjutan dalam proses sejarah yang lama, terus menerus dipupuk dan ditanamkan dari generasi ke generasi melalui proses pendidikan tanpa kenal putus (Beg 1986:8-12). Yukichi Fukuzama menekankan pentingnya kecerdasan dan kebajikan sebagai prasyarat berkembangnya kebudayaan. Sebaliknya kebodohan dan kejahatan dianggap sebagai penyakit kebudayaan dan peradaban.

Tingginya tingkat kebudayaan dan peradaban, menurut Fukuzawa, dapat dilihat pada kecerdasan dan moralitas suatu bangsa, bukan semata-mata pada kemakmuran material dan pencapaian teknologi. Melainkan juga pada perkembangan spiritual dan intelektual. Menyinggung masalah kebajikan, Yukichi Fukuzawa membaginya menjadi dua macam, yaitu kebajikan pribadi dan kebajikan khalayak. Kebajikan pribadi tercermin dalam kesederhanaan, kerendahan hati, kesopanan, kejujuran, ketulusan hati, kesetiaan dan pengurbanan yang diberikan kepada kepentingan umum. Jika dikaitkan dengan gejala-gejala yang muncul dalam masyarakat Indonesia, apa yang dikemukakan oleh Yukichi Fukuzawa itu sangat bertentangan.

Kebajikan khalayak tercermin dalam sikap dan tindakan adil, berani, punya rasa malu, jujur, dan lain sebagainya. Ini pun sudah lama tidak dijumpai dalam masyarakat Indonesia, yang memperlihatkan bahwa krisis hebat sedang terjadi. Bandingkan dengan pernyataan Ibn Khaldun, yang menyebutkan bahwa kebodohan, ketidakdilan, egosentrisme dan kejahatan sebagai sumber mundurnya kebudayaan.

Karena terkait dengan kecerdasan, apa yang dinamakan kebudayaan itu selalu merupakan hasil dari kecerdasan, kebajikan, dan kreativitas suatu masyarakat dan bangsa secara umum. Jadi bukan hasil jiplakan atau tiruan kasar dari kebudayaan asing. Ini tidak berarti unsur-unsur kebudayaan asing harus ditolak, karena tidak ada dalam sejarah umat manusia suatu kebudayaan muncul dan berkembang bebas dari pengaruh kebudayaan asing.

Karena itu Fizee (1982) mengatakan bahwa yang lazim disebut kebudayaan ialah : (1) Tingkat kecerdasan akal yang setinggi-tingginya yang dihasilkan dalam suatu periode sejarah bangsa di puncak perkembangannya; (2) Hasil yang dicapai suatu bangsa dalam lapangan seni, kesusastraan, filsafat, ilmu pengetahuan, dan pemikiran-pemikiran keagamaan; (3) Dalam pembicaraan politik, kebudayaan dikaitkan dengan adat istiadat, upacara-upacara adat dan keagamaan, penggunaan bahasa, dan kebiasaan hidup masyarakat yang berlandaskan asas etika atau budi pekerti yang luhur (dalam Abdul Hadi W. M. 2006).

Fizee bertolak antara lain dari pemikiran Will Durant, dan pemikir dari madzab Jerman seperti Spengler, Spranger, dan lain-lain. Menurut Wil Durant, kebudayaan itu berkaitan dengan upaya memberdayakan potensi kejiwaan dan ruhani manusia, termasuk kemampuan intelektual dan kebajikan spiritualnya. Apabila potensi kejiwaan dan ruhaninya berkembang, maka manusia akan dapat mengolah lingkungan hidup dan kehidupan sosialnya dengan baik dan indah.

Penganut madzab Jerman lebih jauh mengatakan bahwa kebudayaan ialah apa yang kita dambakan, sedangkan peradaban (sebagai perluasan dari kebudayaan) ialah apa yang kita pergunakan. Kebudayaan tercermin dalam seni, bahasa, sastra, aliran pemikiran, falsafah, dan bentuk-bentuk spiritualitas dan kebajikan moral, serta dalam ilmu-ilmu teoritis yang dihasilkan dan dikembangkan oleh suatu bangsa. Peradaban tercermin dalam politik praktis, ekonomi, teknologi, ilmu terapan, sopan santun, pelaksanaan hukum, ilmu kedokteran. Peradaban yang sedang berkembang dalam msyarakat mungkin saja tidak berakar pada kebudayaan masyarakat atau bangsa bersangkutan, seperti dialami bangsa Indonesia sejak pemerintah kolonial memaksakan struktur kehidupan sosial, politik dan ekonominya hingga sekarang. Jika demikian maka peradabannya itu mudah rapuh dan rentan terhadap goncangan.

Dari tiga hal itu, maka yang kedua dan ketiga, bukan hanya merupakan tugas negara. Tetapi berada di pundak civil society. Oleh karena sejak lama civil society kita tidak terbentuk, dan dibiarkan lumpuh oleh dua rezim yang berkuasa selama hampir 40 tahun, yaitu rezim Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru, maka dapat dipahami jika kebudayaan nasional yang kita impikan berhenti menjadi semacam utopia. Karena lumpuhnya civil sosciety inilah maka begitu Orde Baru jatuh dan krisis moneter menerpa, bangsa Indonesia belingsatan tanpa arah. Krisis moneter berlanjut dengan krisis ekonomi dan politik, dan dipergawat dengan krisis moral. Neo-liberalisme menemukan ruang kosong untuk melebarkan sayapnya, di tengah euforia kebebasan dan meluasnya gejala hedonisme material dan konsumerisme.

Akan tetapi walaupun peranan civil society itu penting sebagai pembentuk kebuyaaan, negara memainkan peranan yang jauh lebih penting lagi, karena tanpa peranan aktif negara maka sebuah civil society tidak akan pernah terbentuk. Apalagi jika dikaitkan dengan statemen pertama, bahwa apa yang disebut kebudayaan itu berhubungan erat dengan bangsa dan bahwa apa yang disebut kebudayaan itu tidak dapat dibangun oleh orang perorang.

Di antara pemikir awal yang mengemukakan masalah ini ialah Ibn Khaldun dan Rosseau. Pikiran Ibn Khaldun dijumpai dalam bukunya Muqadimah, yang membicarakan kaitan perkembangan kebudayaan kota dengan corak rezim yang berkuasa. Sedangkan pikiran Rosseau dijumpai dalam bukunya The Social Contract (II) ketika ia berbicara tentang peranan seorang legislator, yaitu negarawan yang berperan sebagai penegak undang-undang.

 

III

Salah satu titik tolak dari pemikiran kedua tokoh itu ialah bahwa apa yang dinamakan kebudayaan ialah sesuatu yang berhubungan dengan kemampuan manusia untuk membebaskan diri dari kondisi yang mempersempit kemanusiaannya. Antara lain kondisi state of nature, ikatannya pada segala sesuatu yang bersifat primordial seperti etnisitas, keluarga, sektarianisme, dan politik golongan atau kelompok. Ibn Khaldun menggunakan kata-kata hadharah untuk kebudayaan, yang secara etimologis berarti hadir, yaitu hadir di kota di tengah masyarakat yang pluralistik dan bhineka untuk bersaing dan bekerjasama membangun kehidupan. Ia adalah kebalikan dari kata-kata baduwi, yang arti harafiahnya tidak hadir, artinya sekelompok masyarakat yang masih terikat pada kehidupannya yang alami seperti suku-suku nomaden di padang pasir.

Menurut Ibn Khaldun, kebudayaan ialah kondisi-kondisi kehidupan yang melebihi dari apa yang sekadar diperlukan. Kehidupan semacam itu tidak akan berkembang benar-benar kecuali di kota. Karena itu kebudayaan sangat terkait dengan negara, yang pusat pemerintahannya berada di kota dan menjadikan kota sebagai urat nadi kehidupan sebuah negara. Adanya negara yang melindungi kebudayaan untuk berkembang subur, maka suatu kebudayaan akan dapat maju. Dengan adanya kebudayaan pula sebagai landasan hidup bernegara dan bermasyarakat, maka negara akan mempunyai tujuan spiritual yang jelas. Begitu pula nilai-nilai moral dan kebajikan, seni, filsafat dan ilmu pengetahuan, dijamin berkembang.

Pernyataan ini disambut oleh Will Durant dalam bukunya The Story of Civilization (1955) yang mengatakan bahwa, ”Kebudayaan dimulai ketika pergolakan, kekacauan, dan keresahan telah reda. Yaitu sestelah ditransformasikan ke dalam pemikiran, kebajikan, seni, dan pengetahuan. Sebab apabila manusia aman dan bebas dari rasa takut, maka akan timbul dalam dirinya dorongan-dorongan untuk mencari berbagai rangsangan alamiah dan tidak henti-hentinya melangkah di jalannya untuk memahami dan memekarkan kehidupan. Pendek kata, kebudayaan berkembang jika ada suasana komunikatif dalam masyarakat, suasana dialog yang bebas, yang hanya mungkin jika ada jaminan hukum dan politik dari negara. Politik di sini harus dibaca sebagai kebijakan pemerintah secara luas, bukan politik praktis yang sarat muatan seperti kepentingan ideologis, kelompok, pasar, atau kekuasaan global.

Tetapi yang lebih penting adalah pemikiran Rosseau, sebagaimana dijelaskan oleh Allan Bloom dalam bukunya The Closing of American Mind. Buku ini merupakan kritik terhadap kebudayaan Amerika, yang dikatakan penulisnya telah merosot sebagai dampak dari liberalisme, hedonisme dan komersialisme yang melanda hampir semua aspek kehidupan masyarakat Amerika dewasa ini. Seperti Ibn Khaldun dan Will Durant, Bloom mengandaikan kebudayaan sebagai hasil ekspresi yang menandakan bebasnya manusia dari kungkungan state of nature-nya yang sempit, dari ikatannya yang terlalu kuat dengan hasrat-hasrat alaminya. Baginya kebudayaan merupakan hasil daya upaya manusia untuk mengangkat martabatnya. Sebagai ekspresi kehidupan dari sebuah komunitas besar, kebudayaan merupakan pabrik hubungan-hubungan di mana manusia menemukan ekspresinya yang anekaragam dan dikelola dengan baik.

Kebudayaan adalah rumah bagi sebuah komunitas, bukan rumah perorangan. Hubungan manusia dengan kebudayaan adalah seperti hubungan laba-laba dengan sarang buatannya sendiri. Manusia tergantung pada kebudayaan, dan kebudayaan tergantung pula pada manusia. Kebudayaan tidak akan ada tanpa adanya komunitas besar manusia yang hidup dalam suasana komunikatif. Dalam pengertian ini kebudayaan lebih dalam maknanya dan lebih besar artinya bagi manusia dibanding negara, sebab negara pada umumnya hanya berurusan dengan kebutuhan-kebutuhan badani manusia dan cenderung disempitkan kepada masalah ekonomi dan politik. Kecuali itu ekonomi dan politik membuat masyarakat terbelah ke dalam lapisan-lapisan dan golongan, dan memungkinkan terjadinya diskriminasi, ketimpangan sosial dan akhirnya disintegrasi. Kebudayaan sebaliknya. Ia memulihkan ’kesatuan’ melalui seni, perkembangan intelektual dan pola atau sikap hidup yang sama dari kelompok dan golongan sosial yang berbeda etnik dan agama, seperti halnya dijumpai dalam negara kota kuna (polis).

Bloom menjelaskan ini berdasarkan pemikiran Rosseau. Pendiri suatu rezim, menurut Rosseau, harus mampu menciptakan masyarakat yang ideal, sebuah civil society yang kuat dan mantap. Suatu pemerintahan yang kuat harus berlandaskan pada hukum dan perundang-undangan, yang terkelola dengan baik. Untuk itu yang pertama-tama harus menaati hukum dan perundang-undangan adalah pemerintah sendiri, bersama aparat, birokrasi, badan judikatif dan legislatifnya. Semua itu penting agar sebuah rezim bertahan lama, dan krisis bisa dibendung. Pendiri sebuah rezim, dengan kata lain, harus mampu menciptakan masyarakat bukan berdasarkan kepentingan individual dan kelompok, tetapi berdasarkan kepentingan bersama sehingga solidaritas dan kerjasama dapat dibangun.

Di sini pemimpin sebuah rezim harus mampu memerankan diri sebagai negarawan dan legislator yang baik. Legislator yang baik adalah dia yang mampu menciptakan kondisi-kondisi kebudayaan atau budaya yang ideal, namun berakar dalam pandangan hidup, sistem nilai, dan pandangan dunia (Weltanschauung) yang telah berkembang atau berakar dalam masyarakatnya. Jika belum ada nilai dan pandangan hidup yang benar-benar berakar, hal itu harus diusahakan dengan memasyarakatkan secara luas nilai-nilai itu, atau menanamkannya melalui proses pendidikan. Kesadaran nasional misalnya tidak akan terbentuk jika lembaga pendidikan hanya mementingkan ilmu pasti dan pengetahuan alam. Ilmu-ilmu humaniora seperti sejarah, bahasa, sejarah kebudayaan, anthropologi, kesusastraan, dan lain-lain memainkan peranan penting.

Dalam menentukan strategi dan politik kebudayaan, seorang legislator harus menyingkirkan kepentingan ideologis dan politik golongannya, sebab apa yang disebut politik cenderung disusutkan menjadi bagian dari kepentingan ekonomi. Dalam bukunya The Social Contract, Rosseau berpendapat bahwa kepentingan orang-perorang dan kelompok, yang biasanya tersalurkan melalui politik dan kebijakan ekonomi, tidak cukup memadai untuk menciptakan kepentingan bersama. Walaupun ia tahu, tanpa kepentingan seperti itu kehidupan politik tidak mungkin berjalan dan secara moral pula kelompok-kelompok dalam masyarakat akan jatuh martabatnya. Akan tetapi bagaimana pun juga pembangun sebuah rezim, pertama-tama harus menciptakan masyarakat atau civil society, bukan kelompok politik atau golongan ideologis apa pun. Lagi pula suatu masyarakat tidak secara otomatis dapat dibangun berdasar selera atau kepentingan pribadi.

Tindakan politik yang didasarkan pada perundang-undangan lebih diperlukan dalam hal ini. Perundang-undangan yang dimaksud bukanlah kepentingan pribadi atau kelompok yang diundang-undangkan. Alasan Rosseau, tujuan seorang legislator yang sebenarnya ialah merubah hasrat-hasrat alami manusia dan kesadaran primordialnya, mentransformasikan sikap individu sebagai bagian dari keseluruhan yang lebih besar, yang dengan itu individu memperoleh kehidupan dan keberadaannya secara lebih bermakna, tidak terkucil dan terasing, tidak merasa kesepian dan sebatangkara baik secara moral, spiritual dan intelektual maupun secara ideologis dan politis. Seperti kebudayaan, yang merupakan rumah terbaik bagi manusia, negara harus juga merupakan rumah terbaik bagi masyarakat.

Bagaimana menciptakan civil society atau masyarakat madani yang kuat secara kultural? Pemerintah harus mampu mengendalikan sektor pasar, karena sektor inilah yang memiliki kekuatan ampuh untuk menghancurkan kebudayaan. Lemahnya pengendalian pemerintah atas sektor pasar, yang membuat marak komersialisasi kebudayaan dan pendidikan, semakin kita rasakan akibatnya sekarang. Kemudian apa saja yang harus dilakukan negara yang bercita-cita mengembangkan kebudayaan nasional? Pertama-tama yang harus dilakukan ialah menyusun strategi dan politik kebudayaan yang bebas dari kepentingan politik praktis dan sesaat. Kebijakan ini harus benar-benar dilaksanakan dengan kemauan politik yang kuat dan dengan penuh keihlasan, serta didorong oleh kecintaan mendalam kepada bangsa dan martabatnya di tengah bangsa-bangsa lain.

Dalam hal yang pertama, berkaitan dengan civil society atau masyarakat madani, kita tahu sampai hari ini sangat lemah disebabkan dampak dari berbagai kebijakan rezim terdahulu yang otoriter dan hegemonik, yang menganggap negara adalah segala-galanya. Di lain hal dalam kenyataan, kekuatan pasar untuk mempengaruhi kehidupan dan struktur kebudayaan sebegitu dahsyatnya, apalagi dalam era neo-liberalisme seperti sekarang. Neo-liberalisme menghendaki kehidupan manusia di seluruh dunia mengambil pusat di pasar, menyingkirkan peranan istana, gereja, pura, mesjid, vihara, universitas, pusat-pusat kebudayaan yang lain seperti masyarakat adat, dan tak pelak lagi civil society.

Dalam era neo-liberalisme seperti sekarang, yang hasratnya telah ditampung dalam UUD 45 yang sudah diamandemen (tetapi mudah-mudahan bisa diamandemen lagi dan dikembali ke cita-cita semula), banyak sektor kehidupan yang seharusnya merupakan bagian dari kewajiban pemerintah telah jatuh ke tangan pasar. Misalnya sektor pendidikan, kesehatan, dan informasi, serta layanan publik lain. Sektor-sektor ini sejauh telah mengalami proses komersialisasi sehingga membebani masyarakat. Dalam kenyataan pula ruang pubik didominasi kegiatan yang berorientasi ke pasar. Dari ujung ke ujung kota-kota besar kita di tanah air dipenuhi oleh mall, hypoermart, minimarket, restoran, pusat kebugaran jasmani, diskotik, warung, toko barang kelontongan, bank, dan lain-lain. Gedung sekolah dan universitas tenggelam di belantara pasar. Perpustakaan dan toko buku sedikit dijumpai. Jakarta saja di antara jutaan toko dan ratusan mall, hanya memiliki satu gedung kesenian dan satu pusat kesenian. Nyata orientasi hidup kita bekisar di sekitar perut dan di bawah perut.

Dalam kaitannya dengan cita-cita negara, peranan civil society berkenaan dengan salah satu dari alasan ideologis berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 45 yaitu ”mencerdaskan kehidupan bangsa”. Ini bertalian langsung dengan penguatan dan pemantapan civil society. Universitas merupakan bagian dari civil society yang berada di garda depan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Ia seharusnya dikembalikan pada fungsinya sebagai Pusat Kebudayaan. Tetapi dalam kenyataan universitas kita kering dan bahkan kosong dari pengajaran kebudayaan dan pendidikan budaya. Universitas Paramadina mesti memelopori ini di lingkungan perguruan tinggi swasta.

Awal 2008

 


 

PENDIDIKAN KEBUDAYAAN TERABAIKAN

Jakarta, Kompas – Kebudayaan sering diartikan secara sempit dengan pendekatan birokratis yang memaknainya sebagai adat-istiadat dan kesenian semata-mata. Tetapi, bentuk-bentuk ekspresi intelektual seperti pemikiran filsafat dan keagamaan, wacana ilmiah, dan kesusastraan luput dari perhatian.

Demikian diungkapkan Abdul Hadi WM dalam pidato kebudayaan awal tahun 2008 berjudul “Kebudayaan, Kekuasaan, dan Krisis” di Jakarta pada Rabu (9/1) malam.

Menurut dia, persoalan terkait kebudayaan juga dinilai kurang menarik dan aktual dibandingkan dengan persoalan yang menyangkut kehidupan ekonomi atau politik. Akibatnya, tujuan kebudayaan untuk mengangkat martabat bangsa dengan meninggikan kecerdasan, kebajikan, dan kreativitas masyarakat menjadi terabaikan yang mengarah pada krisis kebudayaan yang akut.

Lembaga pendidikan, lanjutnya, tak bisa hanya mementingkan ilmu pasti dan pengetahuan alam. Ilmu-ilmu humaniora seperti sejarah, bahasa, sejarah kebudayaan, antropologi, dan kesusastraan juga memainkan peranan penting.

“Pemerintah harus menyusun dan melaksanakan strategi dan politik kebudayaan yang bebas dari kepentingan politik praktis dan sesaat,” katanya.

Pidato yang disampaikan penyair sufistik sekaligus dosen falsafah dan agama Universitas Paramadina ini merupakan rangkaian dari perayaan 10 tahun dan peluncuran konfigurasi logo baru perguruan tinggi yang didirikan tokoh Muslim (alm) Nurcholis Madjid alias Cak Nur itu.

Menurut dia, bangsa ini bercita-cita menjadi bangsa religius, humanis, bersatu, demokratis, dan berkeadilan sosial dengan mengakui kenyataan antropologis bangsa yang multietnik, multibudaya, dan multiagama.

“Tetapi kenyataan yang ada, sampai sekarang bangsa ini belum mampu menghentikan kebiasaan membuat dikotomi seperti dikotomi kebudayaan modern dan tradisional, nasional dan daerah, kosmopolitanisme dan modernisme, nasionalitas dan etnisitas, Islam dan nasionalis, Jawa dan luar Jawa, dan sebagainya,” kata Abdul.

Guna menyelesaikan krisis kebudayaan bangsa ini, Abdul mengatakan, pemimpin harus mampu berperan sebagai negarawan dan legislator yang baik, dan pertama-tama harus menciptakan masyarakat madani. “Kebudayaan berkembang jika ada suasana komunikatif dalam masyarakat, suasana dialog yang bebas, yang hanya mungkin jika ada jaminan hukum dan politik dari negara,” kata Abdul. (ELN)

Sumber: Kompas, Sabtu, 12 Januari 2008

 


 

PEMERINTAH HARUS KENDALIKAN SEKTOR PASAR

Penulis: Sidik Pramono

JAKARTA–MEDIA: Pemerintah harus mampu mengendalikan sektor pasar, guna menciptakan civil society atau masyarakat madani yang kuat secara kultural. Pasalnya, jika sektor pasar tidak dikendalikan, kebudayaan nasional akan hancur secara bertahap dan tinggal menunggu waktu.

“Tidak hanya itu, lemahnya pengendalian pemerintah atas sektor pasar, akan membuat marak komersialisasi kebudayaan dan pendidikan, dan ini semakin kita rasakan akibatnya sekarang,” ujar budayawan Abdul Hadi WM, dalam pidato kebudayaannya berjudul Kebudayaan, Kekuasaan dan Krisis pada peringatan 10 tahun Universitas Paramadina, di Kampus Universitas Paramadina, Jl Gatot Subroto, Jakarta, Rabu (9/1).

Dalam hal ini, Abdul mengungkapkan, jika negara atau pemerintah Indonesia komitmen untuk mengembangkan kebudayaan nasional, maka untuk melindungi kebudayaan nasional atau masyarakat madani yang kuat secara kultural, harus menyusun strategi dan politik kebudayaan yang bebas dari kepentingan politik praktis dan sesaat.

“Artinya, kebijakan ini harus benar-benar dilaksanakan dengan kemauan politik yang kuat dan dengan penuh keihlasan, serta didorong oleh kecintaan mendalam kepada bangsa dan martabatnya di tengah bangsa-bangsa lain, bukan semata-mata karena adanya desakan sektor pasar,” ujar staf pengajar Falsafah dan Agama di Univeristas Paramadina tersebut.

Hal ini sebenarnya, kata Abdul, sudah mulai terlihat ketika civil society atau masyarakat madani di Indonesia sangat lemah, karena dampak dari berbagai kebijakan rezim terdahulu yang otoriter dan hegemonik, dan menganggap negara adalah segala-galanya.

Di sisi lain, ujarnya, hal itu juga didorong oleh era neo-liberalisme saat ini yang menghantui negara Indonesia, karena kekuatan pasar yang sangat mempengaruhi kehidupan dan struktur kebudayaan di Indonesia, seperti adanya penyingkiran peranan istana, gereja, pura, mesjid, vihara, universitas, dan pusat-pusat kebudayaan lainnya.

Belum lagi, kata Abdul, banyak sektor kehidupan lainnya yang seharusnya merupakan bagian dari kewajiban pemerintah, namun kini secara perlahan mulai jatuh ke tangan pasar, seperti sektor pendidikan, kesehatan, informasi, serta layanan publik lain.

“Sektor-sektor tersebut, sejauh telah mengalami proses komersialisasi sehingga membebani masyarakat. Dari ujung ke ujung kota-kota besar di tanah air dipenuhi oleh mall, hypermart, minimarket, restoran, pusat kebugaran jasmani, diskotik, warung, toko barang kelontongan, bank, dan lain-lain,” ujarnya.

Sementara itu, lanjut Abdul, keberadaan gedung sekolah dan universitas pun tenggelam di belantara pasar, perpustakaan dan toko buku hanya sedikit dijumpai di kota-kota besar, diantara jutaan toko dan ratusan mall, bahkan di satu kota hanya memiliki satu gedung kesenian dan satu pusat kesenian.

“Jika ini tidak diatur oleh negara atau pemerintah, maka tidak mustahil, kebudayaan nasional sebagai puncak dari kebudayaan-kebudayaan di daerah, akan terseret oleh pasar, dan semakin lama akan semakin pudar kebudayaan bangsa Indonesia tersebut,” ujarnya.

Untuk itu, Abdul juga meminta, selain pemerintah atau negara, universitas sebagai bagian dari civil society yang berada di garda depan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, seharusnya juga dikembalikan fungsinya sebagai Pusat Kebudayaan, dalam melakukan pengajaran kebudayaan dan pendidikan budaya pada generasi muda bangsa.(Dik/OL-2)

Sumber: Media Indonesia, Jumat, 11 Januari 2008

 

Quoted

The fate of a designer is not determined by the public system, but by the way he sees his own life

Surianto Rustan