“Ngobrol, ruang percakapan tanpa ancaman”
(Sony Prasetyotomo, 2017)
Kegiatan menulis masih saya kerjakan namun terbatas untuk keperluan mengajar. Rupanya terasa lama bagi saya untuk kembali menulis di DGI, sebuah ruang apresiasi desain grafis bersama-sama. Cukup lama bagi saya tidak mengirim tulisan ke situs yang harapannya membuat kita krasan di situ. Krasan sewaktu menyimak tulisan-tulisan yang diunggah, krasan menikmati karya-karya, mengetahui berbagai informasi, dan lain sebagainya. Rasa krasan ini diperlukan karena dengan begitulah sebuah ruang memberi cuaca hidup yang inspiratif untuk berbagai pengalaman serta pengetahuan orang-orang yang ada di situ.
Saya pun menyiapkan diri untuk memulai menulis untuk DGI. Satudua topik muncul, dan cukup lama memertimbangkannya. Pertimbangan tersebut terkait kesediaan data dan sudut pandang dalam menuliskannya. Akhirnya saya putuskan untuk menulis tentang huruf yang sekaligus gambar (ilustrasi), dan media yang identik dengan tulisan. Dua karya desain grafis saya ambil lalu foto. Kebetulan saya memiliki kedua karya tersebut. Satu karya berupa desain kaos rancangan Rahmat Tri Basuki, akrab saya sapa Gepeng, atau kini dikenal dengan merek kaos Njawani. Desain kaos tersebut pun spesial karena dibuat untuk kebutuhan pameran tipografi “Urip-uriping Aksara” (hidupnya aksara), yang digelar di bulan Desember, 2014, di Bentara Budaya Yogyakarta, oleh Prodi DKV ISI Yogyakarta. Kaos warna putih tersebut dimuati tulisan “JOGJA” di sisi muka, menerapkan teknik cetak saring, tinta warna hitam, dan di sisi belakang terdapat logo merek Njawani, warna merah, ditata vertikal (atas ke bawah) di bawah kerah.
Karya satunya berupa desain sampul buku “Anatomi Buku”. Sebuah buku karya Iyan Wb (Iyan Wibowo), rancang sampul (serta tata letak) didesain oleh Dadan Sulaeman, diterbitkan oleh penerbit Kolbu, Bandung, Januari 2007. Buku sejumlah seratus halaman isi ini memuat tentang seluk beluk pembuatan (desain) buku tidak dalam hal sisi estetik namun bagian-bagian dalam buku seperti jenis-jenis halaman, sampul dan jaket, fisik buku, dsb. Dalam buku tersebut memuat pula pedoman dasar tipografi. Pedoman ini memudahkan bagi para penulis, editor, maupun desainer yang ingin mengenali bagian-bagian dalam buku dan kaitannya dengan bentuk buku secara keseluruhan. Hubungannya dengan desain, buku “Anatomi Buku” memberi referensi bagian-bagian spesifik dalam desain buku. Maka, berbagai istilah yang, misalnya identik dengan surat kabar, tidak terdapat bahasan khusus dalam buku ini. Dari sisi tersebut buku mungil yang dicetak sewarna ini menjadi bacaan yang membuat kita makin krasan dengan kekhasan (anatomi) desain buku. Kok ya saya mendapati buku ini juga dari Gepeng kaos Njawani sewaktu saya main ke rumah dia, sewaktu Gepeng masih sebagai mahasiswa di DKV ISI Yogyakarta. Dari situ saya pun mencari informasi perihal Iyan Wb yang rupa-rupanya (waktu itu) tinggal di Kotagede, Yogyakarta. Saya pun main ke rumah mas Iyan WB, bersama Kuswanto, seorang teman yang menyampaikan warta bahwa Iyan Wb berumah di Jogja. Kuswanto adalah alumni DKV ISI Yogyakarta, bekerja di penerbit Bentang Pustaka, dan Iyan Wb juga mendesain tata letak buku-buku di situ, namun bukan sebagai desainer tetap. Sebuah pertemuan dan percakapan yang tentrem sore hari di Kotagede antara saya dengan dua sosok desainer buku di Jogja.
Rasa Menghuni
Kedua desain di atas, kaos “JOGJA” dan “Anatomi Buku, membuat saya krasan. Rasa krasan tersebut tertuju pada sisi bagaimana huruf dikelola. Memang, saya tidak mendapati satu set huruf (typeface), melainkan Jogja yang dituliskan sekaligus digambarkan sedemikian rupa. Rupa Jogja di situ berupa bangunan-bangunan dan pembangunan. Kaos tersebut dirancang tidak jauh dari wacana kota Jogja yang meresahkan, misalkan kampanya “Jogja Ora Didol” (Jogja tidak dijual). Keresahan tersebut masih berlangsung hingga kini, salah satunya propaganda lewat poster yang menyampaikan pesan “Kota ini dijual dengan harga istimewa!”, dsb. Bisa jadi propaganda lain tentang kota Jogja masih ada, dan belakangan isu tersebut juga melebar hingga ke tepian Jogja, entah untuk alasan ekonomi, pariwisata, hingga infrastruktur pendukungnya (bandara, jalan).
Kembali ke rasa krasan kaos “JOGJA”. Krasan di sini bukan sebatas dalam hal wujud desainnya namun bahwa desain mampu menjadi satu cara berpendapat. Cara berpendapat, atau bisa pula cara mengritik (kritik menunjukkan bentuk perhatian!) bisa dikerjakan lewat beragam media. Jika sebuah kota warganya diam saja atas berbagai persoalan di situ, bukankah itu sebuah bentuk apatis besar-besaran? Bagaimana di tingkat negara, dunia? Kritik saran bisa menunjukkan bahwa kita perlu rasa krasan bagi ruang huni bersama.
Imajinasi huruf dan kota juga bisa kita alamatkan ke masa kemunculan huruf tidak berkait seperti halnya jenis huruf yang diterapkan pada desain kaos “Jogja”. Huruf tidak berkait identik sebagai huruf yang mencitrakan dinamika kota. Dinamika tersebut menunjuk pada sifat serta jiwa kekotaan seperti masyarakat yang sibuk, industrialisasi, kemajuan. Huruf untuk kebutuhan masyarakat yang demikian yaitu huruf yang mendukung sifat atau jiwa seperti itu. Huruf tidak berkait dirasa pas bukan saja ia mewakili kemunculan masyarakat modern namun sisi fungsionalitasnya: huruf dan sisi kecepatan serta keterbacaan. Asal-usul bangunan dasarnya pun tertuju pada bentuk lingkaran. Lingkaran merupakan bentuk tak bersudut, dan bentuk lingkaran tersebut dapat kita jumpai di berbagai mesin (berputar). Jika huruf berkait merupakan ruang yang bersih dan sebatas menjalankan sisi fungsional, huruf pada desain kaos “JOGJA” justeru berpolah sebaliknya: bagaimana sebuah kota dirupa-hurufkan. Secara karikatural kota dan hasrat membangun kota berekspansi hingga ke bidang-bidang huruf. Bidang huruf pun menjadi sesak, padat, meski ia tetap dikontrol agar tetap terbaca dalam kesesakan yang senantiasa membangun diri tersebut. Jadi, persoalan huruf menjadi lebih luas. Huruf tidak sebatas dalam hal berkait, semi berkait, atau tidak berkait, namun bagaimana dan seperti apa huruf dikelola menjadi tanda di setiap fase perkembangan kebudayaan.
Mengimajinasikan Rasa
Demikian pula dengan desain sampul buku “Anatomi Buku”. Rasa krasan saya pun tidak sebatas mereka desain melalui konfigurasi obyek berupa susunan buku yang membentuk tubuh manusia. Tentu, bentuk tubuh tersebut merupakan sebuah abstraksi yang dari situ kita tidak mendapati detail anatomi seperti halnya tubuh manusia, namun bagian-bagian yang ikonik seperti kepala, tangan, kaki. Rasa krasan saya juga tertuju pada kesederhanaan komunikasi desain sampul buku tersebut. Saya sependapat bahwa dengan cara seperti itu desain buku berkomunikasi bukan kepada para desainer buku. Di sampul belakang buku dituliskan profil ringkas penulis buku, bahwa Iyan Wb menempuh pendidikan di Program Studi Editing, Unpad. Sedangkan teks di sampul belakang juga dituliskan “…sang penulis lebih menyukai istilah anatomi buku untuk mempertajam wawasan mencintai buku.” Saya rasa di situ terdapat hubungan antara istilah “anatomi buku” dengan pengalaman studi penulis (editing). Inilah yang saya maksud dengan rasa krasan yaitu menjumpai istilah yang berbeda dari desain buku. Secara ringkas pilihan tanda yang digunakan pun seperlunya: anatomi diwakili oleh tubuh manusia, dan buku diwakili oleh dirinya sendiri. Pembandingan dengan diri manusia merupakan cara yang barangkali paling mudah dalam menyampaikan pesan, dan itu pertama-tama ditujukan bagi para penulis, editor, dan mahasiswa jurusan apa pun seperti yang dituliskan di sampul belakangnya.
Bahasa Pengalaman
Desain kaos “JOGJA” dan desain sampul buku “Anatomi Buku” keduanya mengimajinasikan tubuh manusia: masyarakat kota, dan anatomi tubuh manusia. Kedua desain tersebut memiliki kemiripan yaitu polah serta gerak. Yang pertama diwakili oleh hasrat membangun, yang kedua diwakili oleh gerak animatik susunan/konfigurasi buku. Rasa krasan pun muncul oleh karena imajinasi yang tertuju pada diri saya, warga kota sekaligus penikmati buku. Bisa jadi kedua desain tersebut tidak memunculkan rasa krasan bagi yang lain, dan karenanya ia bisa berbeda makna bagi setiap pemerhati desain tersebut, meski kita sulit mengelak dari pesona atraktif serta kecepatan (ber)komunikasi pada kedua desain tersebut. Kecepatan tertuju pada usaha membandingkan (citra Jogja yang mentradisi dengan Jogja yang psudeo modern, serta buku dengan manusia), dan kedekatan tertuju pada anatomi tubuh kota maupun manusia.
Baik desain kaos “JOGJA” maupun desain sampul “Anatomi Buku”, bagi saya keduanya dikerjakan dengan kecintaan. Yang pertama mencintai kota, dan yang kedua lewat kecintaan dan pengalaman studi masing-masing akan memunculkan bahasa-bahasa yang barangkali lebih pas dalam menggambarkan apa yang selama ini kita mengerti dan rasakan, namun belum tentu kita pahami secara luas. Rasa-rasanya, waktu yang cukup lama bagi saya untuk kembali mengirim tulisan ke DGI tak lain kegelisahan saya sendiri, dan kedua desain di atas menjadi ruang untuk kembali menulis di sini. Ini saja yang ingin saya sampaikan, optimis desain grafis kita kian inspiratif dan memberi wawasan serta sudut pandang baru lewat pengalaman kita masing-masing. Dan, kita perlu menghargai berbagai pengalaman tersebut 🙂
Koskow
Yogyakarta, Desember 2017
Keterangan:
Krasan (bahasa Jawa) artinya betah (terjemahan bebas).
Foto oleh Koskow (Desember 2017)
If your creativity is not your passion, there won’t be passion in your creativity.
Be passionate… and never sell yourself cheap