Oleh: Agus Dermawan T
Seorang gadis Bali dalam bentukan yang stilistik sedang menyemprot pipinya dengan alat melukis air brush. Gadis Bali itu digambarkan lengkap dengan sumping dan hiasan kostum yang lain, hingga nampak seperti wajar-wajar saja. Tetapi jika diperhatikan dengan agak teliti, ada sesuatu yang ganjil. Lihatlah rambut gadis Bali itu. Ia bergaya punk. Gaya ketubuhan anak muda yang aneh, “rusak” sekaligus revolusioner dan menentang arus. Gaya ketubuhan yang dibawa kelompok muda di belahan Barat sana.
Gambar itu, yang ternyata adalah karya Tahjono Abdi, menjadi gambar sampul katalog dan poster pameran Ikatan Perancang Grafis Indonesia (IPGI), yane berlangsung di Galeri Utama TIM Jakarta. Pameran itu dibuka tanggal 22 Agustus lalu dan ditutup tanggal 31 yang akan datang.
Gambar sampul tersebut setidaknya menyiratkan beberapa isyarat, memendam beberapa makna. Perancang grafis Indonesia, yang setengah kepalanya masih berbau Barat, sedang membenahi diri, sedang mencari rancangan grafis yang memiliki kualitas kbusus dan wajah spesifik.
Sekitar 90 perancang grafis Indonesia muncul dalam pergelaran ini dengan melibatkan tak kurang dari 300 karya. Dari leaflet, booklet, buku laporan tabunan, brosur, sampul kaset, logo, ilustrasi, sampul buku sampai rancangan perangko atau uang. Setumpuk materi seni yang memang layak dipertunjukkan. Dan bagi perancangnya sendiri, yang selama ini selalu saja “tersembunyi”, memiliki arti penting. Setidaknya untuk menampakkan eksistensi hasil kerjanya yang telah diciptakan dengan proses panjang, tapi “tenggelam” dalam riuh rendahnya jenis rupa yang lain.
MENARIK PERHATIAN
Seni rancang grafis (produk terpakai) seperti yang dipamerkan ini memang sedikit menyeret nasib sial. Jika seni patung, lukis atau grafis murni seperti etsa atau litografi atau silk screen mendapat perhatian baik, maka seni rancang grafis yang termaksud tidak. Salah satu bukti dari hal itu ialah yang nampak pada program lembaga kesenian seperti Dewan Kesenian Jakarta atau TIM, umpamanya. Yang sejak berdirinya, 15 tahun lalu, belum pernah menyelenggarakan pameran rancangan grafis. Sementara menengok perkembangan seni ini dibelahan bumi sana sudah nampak begitu maju. Amerika, Jerman, Jepang, Kanada setiap tahun menyelenggarakan “festival” seni ini. Bahkan di banyak negara diterbitkan graphic annual. Kitab ini isinya mengekspos karya-karya rancang grafis produk terpakai yang terbaik. Dan senantiasa menarik perhatian.
Indonesia memang ketinggalan dalam aktivitas. Meski IPG! telah berusaha merangkak sekuat mungkin. Namun dalam kreativitas perancang-perancang grafis Indonesia toh memiliki prospek.
Sebagai amsal bisa disimak belasan rancangan kartu undangan yang ditempel di panil-panil pameran itu. Kecerdikan kemasan, keindahan wujud, kelembutan dan keharmonisan warna-warnanya sangat menarik perhatian. Rancangan-rancangan yang tersajikan sungguh bisa memancing cita estetik perancang kartu yang selama ini bercokol di perusahaan-perusahaan kartu konvensional.
Di dinding lain juga tergantung kalender-kalender yang muncul dengan sosok khusus. Kalender itu bisa hadir tak hanya sebagai penunjuk tanggal di rumah kita, tetapi juga sebagai hiasan yang memiliki daya serap. Pada bagian logo, yakni seni simplifikasi bentuk atau huruf untuk diwujudkan dalam simbol pribadi atau perusahaan, menampakkan daya tarik tersendiri. Kepintaran berkilah dalam bentuk, menampilkan keunikan wujud serta perwatakan perusahaan yang dilogokan.
Pada sisi lain, tak cuma rancangan sampul kaset, gambar perangko atau rancangan buku-buku indah saja yang bisa ditatap, tetapi juga kemasan barang-barang. Dari botol obat sampai bungkus-bungkus permen. Semua mengingatkan kepada kita, betapa kemasan-kemasan yang setiap hari kita sentuh itu, jika diperhatikan benar-benar, memiliki nilai seni yang tak enteng.
BOTOL KECAP
Rancangan grafis membuat “kehidupan pandangan” manusia menjadi indah dan menyenangkan. Seperti pada pasal sebuah botol kecap misalnya, yang tak akan pantas ditaruh di atas meja jika botol itu tanpa gambar atau cap yang asri.
Seni rancang grafis memang membuat kehidupan jadi berseri-seri.
Sumber: Harian “Kompas”, Jum’at, 26 Agustus 1983, hal. VI.
Designers need to think about others for the sake of improving the human existence. What we have received is a gracious blessing. Without it, we are nothing. Which is why we need to give it back.